Sabtu, 16 Agustus 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Merdeka dengan Kaki Terbelenggu

Kebebasan bicara seakan dibungkam dengan menghilangnya para aktivis yang vokal menyuarakan ketidakadilan yang terjadi sekitarnya.

Editor: Suut Amdani
Dok. Xavier Quentin Pranata
XAVIER QUENTIN - Xavier Quentin Pranata adalah kolumnis dan penulis buku. (Dok pribadi untuk Tribunnews.com) 

Oleh Xavier Quentin Pranata, kolumnis dan penulis buku. Lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 4 Juli 1960, dan telah menulis lebih dari 60 buku. Pendidikan terakhir S3 di Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia, Yogyakarta.

SESEORANG melihat seekor gajah sirkus raksasa di kandangnya di sebuah sirkus.

Dia melihat gajah jumbo itu terikat di sebuah tiang. Menariknya, rantai yang mengikat talinya kecil sekali.

Dia percaya dengan sekali sentak, rantai itu akan putus dan dia bisa melarikan diri dengan bebas.

Mengapa gajah perkasa itu tidak  melarikan diri?

Jika saja dia bisa menoleh ke belakang, atau memiliki kemampuan menerawang masa lalu seperti Wednesday, dia akan melihat betapa mirisnya perilaku manusia terhadap gajah kecil.

Gajah yang diambil paksa dari induknya itu ditempatkan di sebuah kandang dengan rantai yang kuat di kakinya.

Baca juga: Bendera One Piece Jelang HUT RI ke-80 Jadi Sorotan Internasional, Amnesty Sentil Pemerintah

Setiap kali dia ingin meloloskan diri, rasa sakit yang menyengat dirasakan kakinya.

Kakinya yang masih kecil dan lemah tidak bisa memutuskan rantai yang besar dan kuat.

Karena bertahun-tahun dia gagal memutuskan rantai itu, bahkan malah membuat kakinya terluka dan bengkak, tidak tidak lagi mencoba melepaskan diri.

Kapok adalah kata dalam bahasa Jawa  yang cocok untuk mengambarkan dirinya. Bahasa kerennya, trauma.

Setelah bertahun-tahun, meskipun rantai—bahkan tali kecil—yang diikatkan di kakinya gampang sekali diputuskan dengan sekali sentak, tetapi pengalaman traumatis di masa lalu itu terus membelenggu.

Persis seperti percobaan di akuarium. Akuarium yang cukup besar dibagi dua dengan dipisahkan selembar kaca tembus pandang. 

Di satu sisi diletakkan ikan barakuda, sedangkan di sisi lain ditaruh ikan sarden.

Setiap kali hendak mengejar dan  menerkam ikan saraden itu, mulutnya terbentur kaca transparan itu.

Karena berkali-kali gagal dan malah menyebabkan moncongnya cedera dan sakit luar biasa, barakuda itu tidak lagi berani mengejar ikan salmon yang berkeliaran, bahkan saat pembatas kaca itu dilepaskan.

Demikian jugalah yang dirasakan sebagian penduduk Indonesia.

Kita telah hidup di zaman merdeka, bahkan sudah 80 tahun, namun, trauma penjajah masih saja menjajah otak kita.

Kebebasan bicara seakan dibungkam dengan menghilangnya para aktivis yang vokal menyuarakan ketidakadilan yang terjadi sekitarnya.

Kasus Munir yang meninggal dalam penerbangan ke Belanda pun membuat banyak orang kuatir.

Apa belanggu yang mengikat kaki kita? Di bidang ekonomi, suara wong cilik nyaris tak terdengar.

Mereka yang berani menyuarakan haknya bisa jadi malah kehilangan pekerjaan yang sudah didambakannya sekian lama.

Menariknya, mereka jadi semakin kreatif menggemakan ketidakadilan lewat parodi, sindiran sampai cerita antah berantah.

Di bidang politik, mereka yang berani menentang penguasa—di tataran mana pun—takut dikriminalisasi dengan alasan yang dicari-cari.

Siapa sih yang tidak punya kesalahan secuil pun selama hidupnya.

Kesalah itulah yang bisa menjadikannya orang yang tersandera.

Saling sandera menjadi ungkapan sinis yang sering kita dengar di café mewah di hotel berbintang maupun warung kopi pinggir  jalan.

Bukankah “Murka raja adalah seperti pesan kematian, tetapi orang bijaksana akan dapat menenangkannya.”

Ungkapan ‘silent is golden’ dipakai untuk menyembunyikan rasa takutnya.

Ada yang justru memakai ayat atau ucapan bijak seorang raja: “Orang bijak melihat malapetaka lalu menyembunyikan diri, tetapi orang yang tidak berpengalaman berjalan terus dan mendapat celaka.”

Amnesti dan abolisi tidak gampang diterima setiap orang kan?

Rasa takut untuk menyuarakan keadilan karena kita tidak tahu siapa teman siapa lawan.

Raja Salomo mengingatkan “Dalam pikiran pun janganlah engkau mengutuki raja, dan dalam kamar tidur janganlah engkau mengutuki orang kaya, karena burung di udara mungkin akan menyampaikan ucapanmu, dan segala yang bersayap dapat menyampaikan apa yang kauucapkan.”

Di bidang sosial, apalagi. Namanya saja media sosial. Apa yang kita tulis dan ucapkan dia medsos punya jejak digital.

Jika orang yang kita singgung tersinggung, undang-undang ITE bisa menjerat kita. 

Lalu, apa kita tetap diam saja di tengah ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan?

Tentu saja tidak. Saya kagum dengan kedalaman pepatah Indonesia, khususnya Jawa.

Pertama, ngono yo ngono ning ojo ngono. Begitu ya begitu namun jangan begitu.

Membingungkan? Tidak. Artinya kita boleh saja bersuara, berekspresi, berdemonstrasi namun jangan sampai di luar biatas, apalagi sampai melakukan tindakan anarkis. 

Kedua, mikul dhuwur mendhem jero. Artinya menjunjung tinggi-tinggi, memendam dalam-dalam.

Jadi dalam menyampaikan aspirasi, kita tetap menjaga adab dan susila, serta menyimpan dalam hati dan tidak membongkar aib orang lain secara sembrono.

Ketiga, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Kita perlu menghormati adat istiadat, budaya dan kebiasaan masyarakat di mana kita tinggal.

Saya punya  pengalaman menarik. Saat masih tinggal di negara empat musim, saya orang Asia minoritas di tengah masyarakat kulit putih.

Suatu kali datang orang dari Indonesia ke rumah saya. Kami ngobrol sampai malam. Suara kami terdengar tetangga. Dengan sopan dia menegur kami.

Keesokan harinya, saya samperin rumahnya dan meminta maaf dengan tulus. Dengan tangan lebar dia menerima permintaan maaf saya. 

Untuk memperingati HUT Indonesia ke-80 ini, marilah kita bijak berkomunikasi agar tidak berantem dengan dulu dhewe.

Camkan ucapan Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan