Sabtu, 6 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

APBN Surplus 2028 vs Utang Rp 700 Triliun: Antara Visi dan Realita

Perdebatan defisit vs surplus: Visi APBN surplus 2028 Prabowo diuji kapasitas pajak, belanja, dan strategi utang.

Editor: Glery Lazuardi
ISTIMEWA
Syahrir Ika (Peneliti Ahli Utama BRIN) 

Syahrir Ika

Peneliti Ahli Utama BRIN 

TRIBUNNEWS.COM - Perdebatan mengenai kebijakan anggaran defisit (deficit budget policy) telah berlangsung hampir seabad. John Maynard Keynes dalam The General Theory of Employment, Interest and Money (1936) menekankan bahwa pada masa resesi, pemerintah justru perlu berani defisit untuk mendorong konsumsi dan menyerap pengangguran. Defisit dilihat sebagai “alat stabilisasi.”

Namun, Richard Musgrave melalui The Theory of Public Finance (1959) mengingatkan bahwa defisit yang berlangsung terus-menerus berisiko menimbulkan beban bunga dan kerentanan fiskal. Karena itu, dalam jangka panjang APBN harus kembali seimbang atau bahkan surplus.

Dari perdebatan tersebut lahir tiga paradigma kebijakan fiskal:

1. Balanced Budget Policy – menuntut anggaran seimbang setiap tahun.

2. Deficit Budget Policy – membolehkan defisit untuk mendukung pertumbuhan (Keynes, 1936).

3. Surplus Budget Policy – menekankan keberlanjutan fiskal (literatur fiscal sustainability era 1990-an).

Di Indonesia, defisit dalam dua dekade terakhir dianggap wajar selama tidak melampaui ambang batas UU Keuangan Negara: defisit maksimal 3 persen PDB dan utang maksimal 60% PDB. Namun, visi Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai APBN surplus pada 2028 mencoba keluar dari pakem tersebut.

Visi Pemimpin: Dari “Tidak Mungkin” Menjadi “Mungkin”

Sejarah menunjukkan bahwa visi besar seorang pemimpin dapat mengubah realitas ekonomi:

Franklin D. Roosevelt (1933): melalui New Deal, ia memulihkan Amerika dari Depresi Besar lewat defisit besar-besaran.

Lee Kuan Yew (1960-an): menjadikan Singapura pusat finansial dunia melalui disiplin fiskal dan investasi SDM.

Helmut Kohl (1990-an): membuktikan reunifikasi Jerman tidak menghancurkan fiskal berkat reformasi pajak dan efisiensi.

Ketiganya menegaskan hal yang sama: visi hanya berhasil jika didukung konsistensi kebijakan, kapasitas kelembagaan, dan disiplin fiskal.

Belajar dari Argentina: Jalan Cepat tapi Mahal

Contoh terbaru datang dari Argentina. Presiden Javier Milei sejak 2023 menerapkan austeritas ekstrem: memangkas belanja publik 30?lam setahun, menghapus subsidi energi, hingga memotong belanja pensiun. Hasilnya, pada 2024 Argentina mencatat surplus fiskal 1,8% PDB untuk pertama kali dalam satu dekade, disertai penurunan inflasi tajam.

Namun, harga sosialnya mahal: daya beli merosot, jaring pengaman sosial hilang, dan protes massal merebak. Argentina berhasil menyehatkan fiskal dengan “terapi kejut,” tetapi kesejahteraan rakyat terguncang.

Pelajaran bagi Indonesia jelas: disiplin fiskal penting, tetapi harus ditempuh secara bertahap dan berkeadilan sosial.

Visi Prabowo: APBN Surplus 2028

Presiden Prabowo menargetkan APBN surplus pada 2028. Padahal, pada 2025 pemerintah masih berencana menarik utang baru sekitar Rp700 triliun untuk menutup defisit. Sekilas, target ini tampak kontradiktif.

Per akhir 2024, utang Indonesia mencapai Rp8.300 triliun atau 39% PDB—masih relatif aman dibanding banyak negara. Masalahnya terletak pada struktur fiskal: meski Indonesia memiliki aset publik lebih dari Rp14.000 triliun (BUMN, dana pensiun, asuransi, DPK perbankan), likuiditas kas negara tetap tipis. Sovereign Wealth Fund (SWF) kita—Danantara—baru berdiri dan kapasitas likuidnya belum kuat.

Pertanyaannya: mungkinkah defisit yang lebar berubah menjadi surplus dalam 3–4 tahun?

Tiga Tantangan Utama

1. Kapasitas Penerimaan Negara

Tax ratio Indonesia hanya 10–11% PDB, jauh di bawah rata-rata G20 (20–25%). Tanpa reformasi pajak, target surplus hampir mustahil.

2. Kualitas Belanja Negara

Belanja masih didominasi gaji, subsidi, dan birokrasi. Belanja produktif—pendidikan, riset, digitalisasi—masih minim. Reprioritisasi mutlak diperlukan. Riset dan inovasi adalah kunci kemajuan berkelanjutan.

3. Strategi Pengelolaan Utang

Penarikan utang Rp700 triliun per tahun tidak masalah bila dialokasikan untuk investasi produktif. Tetapi bila hanya menutup defisit rutin, akan menjadi beban generasi berikut.

Strategi Alternatif yang Mendesak

Untuk mencapai surplus tanpa mengguncang stabilitas sosial, pemerintah perlu:

1. Reformasi Pajak Progresif – perkuat basis pajak digital, karbon, dan high wealth individual.

2. Penguatan SWF Domestik – konsolidasikan aset BUMN, dana pensiun, dan asuransi agar lebih likuid.

3. Green & Digital Fiscal Policy – arahkan belanja ke energi terbarukan dan transformasi digital.

4. Efisiensi Subsidi – bukan dihapus, melainkan ditargetkan tepat sasaran berbasis data. Subsidi ke BUMN monopolis seperti Pertamina dan PLN perlu dikaji ulang agar manfaat dirasakan langsung oleh konsumen akhir.

5. Diplomasi Fiskal Global – manfaatkan posisi geopolitik Indonesia untuk memperbesar ruang fiskal, seperti strategi negara Nordik.

6. Reformasi Tata Kelola BUMN – kebijakan Presiden Prabowo meniadakan tantiem direksi dan komisaris BUMN adalah langkah awal yang tepat. Langkah berikutnya: membatasi jumlah komisaris, serta menata ulang take-home pay pejabat publik yang merangkap jabatan, guna mengurangi kesenjangan pendapatan.

Penutup: Antara Visi dan Realita

Visi APBN surplus 2028 dapat menjadi loncatan sejarah fiskal Indonesia. Namun, ia berisiko sekadar menjadi slogan politik jika tidak disertai disiplin fiskal, reformasi pajak, serta inovasi pembiayaan yang berkeadilan.

Belajar dari Roosevelt, Lee Kuan Yew, hingga Milei, jelas bahwa visi besar selalu diuji realita. Kini, Presiden Prabowo memiliki pilihan: menjadikan surplus 2028 sebagai momentum menuju Indonesia Emas, atau membiarkannya lenyap ditelan defisit rutin.

Kuncinya adalah keberanian menyeimbangkan visi politik dengan realitas ekonomi.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan