Tribunners / Citizen Journalism
Musik Religi: Antara Pasar, Jiwa, dan Keabadian Makna
Musik religi bukan sekadar hiburan musiman, tapi napas spiritual yang layak hidup sepanjang waktu—bukan hanya saat hari raya.
Musik sebagai Jalan Spiritualitas
Dalam tradisi Islam dan banyak kebudayaan dunia, musik adalah bagian dari perjalanan spiritual. Jalaluddin Rumi menulis, “Musik adalah suara pintu surga ketika dibuka dan ditutup.” Di tangan para sufi, musik menjadi dzikir yang memimpin jiwa menuju ketenangan.
Seniman musik religi, pada dasarnya, juga sedang menempuh jalan spiritual itu—menyatukan bunyi, bahasa, dan doa. Namun, jalan ini penuh ujian.
Dalam masyarakat yang serba visual dan komersial, musik yang mengajak merenung kalah cepat dibanding musik yang mengajak bergoyang. Spiritualitas menjadi terasing di tengah festival digital.
Filsuf Martin Buber dalam I and Thou menyatakan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan tidak bisa bersifat “aku–itu”, melainkan “aku–Engkau” yang penuh dialog dan kesadaran.
Musik religi sejati hidup di ruang “aku–Engkau” itu: ruang perjumpaan antara seniman dan Tuhan, antara karya dan pendengar, dalam getaran rasa yang tulus.
Seniman di Persimpangan
Bagi banyak musisi, dilema ini terasa nyata. Di satu sisi, mereka ingin berkarya dengan makna. Di sisi lain, ada realitas industri yang menuntut efisiensi dan popularitas. Tidak sedikit musisi religi yang harus beralih ke genre lain untuk bertahan hidup.
Maestro musik kontemporer Indonesia, Slamet Abdul Sjukur, pernah mengatakan, “Musik bukan soal bunyi, tetapi soal niat.” Kalimat ini menjadi napas penting bagi seniman religi: bahwa kebermaknaan musik tidak ditentukan oleh seberapa banyak ia didengar, tetapi seberapa dalam ia dirasakan.
Meski terhimpit, masih banyak seniman yang setia menjaga kesakralan musik religi. Mereka menulis, menyanyi, dan mencipta bukan untuk pasar, tetapi untuk menemukan ketenangan batin.
Karya mereka mungkin tidak viral, tetapi menyentuh hati dengan cara yang sunyi seperti doa yang tidak perlu tepuk tangan untuk menjadi tulus.
Menghidupkan Ekologi Musik Religi
Agar musik religi tidak terus terjebak dalam siklus musiman, perlu dibangun ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan. Perguruan tinggi seni, lembaga kebudayaan, dan media publik dapat menjadi ruang penting bagi riset, dokumentasi, dan pengembangan musik spiritual lintas tradisi.
Pemerintah dapat menginisiasi program pendanaan riset dan produksi untuk karya musik bernilai religius dan kultural. Lembaga keagamaan juga dapat membuka ruang dialog kreatif antara iman dan seni yang bukan sekadar ruang ritual, tetapi juga ruang estetika dan perenungan.
Selain itu, media massa memiliki tanggung jawab moral untuk tidak sekadar menampilkan musik religi sebagai hiburan musiman, melainkan sebagai bagian dari literasi spiritual bangsa. Musik religi dapat menjadi jembatan antara generasi, tradisi, dan nilai-nilai kebangsaan yang damai dan inklusif.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
| Whisnu Santika Pastikan Lagu 'Yalla Habibi' Bukan Hasil Jiplakan |
|
|---|
| Di Sela KMI 2025, Pelaku Seni Tradisional Sampaikan Aspirasi ke Wamenbud soal Majukan Musik Daerah |
|
|---|
| Konferensi Musik Indonesia Digelar, Dorong Peningkatan Kesejahteraan Pekerja Industri Kreatif Musik |
|
|---|
| Sedih Musisi Berseteru Soal Royalti, Addie MS Rekam Ulang Lagu 'Indonesia Raya' Tanpa Bayaran |
|
|---|
| Peran Musik Klasik dalam Pemulihan Trauma Perundungan dan Peningkatan Kognitif Anak |
|
|---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.