Rabu, 17 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

FCTC, Tata Niaga Tembakau, dan Kebijakan Nasional

Berbeda dengan kebanyakan rezim internasional di bidang ekonomi yang melibatkan badan-badan dunia seperti IMF

Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto FCTC, Tata Niaga Tembakau, dan Kebijakan Nasional
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Uum (52), seorang bandar lapangan menjemur tembakau mole di pekarangan rumahnya di Desa Tanjungwangi, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (26/8/2012). Ketua Kelompok Tani Tembakau Nanjungwangi ini mengeluhkan harga tembakau mole pada musim panen tahun ini merosot menjadi Rp 18.000 - 20.000 per kg, jauh dari tahun sebelumnya Rp 50.000 - Rp 60.000 per kg. Merosotnya harga tersebut diduga ulah permainan tengkulak. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN

TRIBUNNEWS.COM - Berbeda dengan kebanyakan rezim internasional di bidang ekonomi yang melibatkan badan-badan dunia seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia, yang umumnya didasarkan pada spirit liberalisasi, Konvensi Internasional tentang Pengawasan Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC),  justru berkarakter anti liberalisasi: FCTC mengharuskan pembatasan, baik dalam hal produksi, perdagangan maupun konsumsi. Sebagai sebuah rezim internasional untuk mengontrol hal-hal terkait produk tembakau, FCTC justru menggunakan instrumen ekonomi dan non ekonomi sebagai strategi untuk menekan konsumsi.

Pentingnya pengaturan terkait produk tembakau sudah barang tentu didasarkan pada argumen kesehatan. Dengan adanya FCTC, masalah rokok dan produk turunannya tidak lagi dipandang sebagai problem ekonomi, perdagangan dan sosial, melainkan direduksi semata-mata sebagai problem kesehatan. Ironisnya, cara pandang “reduksionis” yang menjadi dasar filosofis dibentuknya FCTC sebagai konvensi internasional untuk mengontrol tembakau diterima oleh kebanyakan pihak sebagai sesuatu yang taken for granted.

Bila kacamata sedikit digeser ke arah sudut pandang ekonomi, akan kita sadari bahwa pada dasarnya kebanyakan negara, baik negara maju maupun negara berkembang, enggan bahkan cenderung menghindari untuk mengambil langkah pengendalian tembakau, terutama karena kekhawatiran akan hilangnya lapangan pekerjaan bagi petani tembakau dan jutaan pekerja pada industri rokok, serta berkurangnya pendapatan negara yang diperoleh dari pajak industri rokok, serta meningkatnya penyelundupan tembakau/rokok ke pasar domestik (Jay, 2004). 

FCTC adalah suatu konvensi atau traktat (treaty), yaitu suatu bentuk hukum internasional dalam pengendalian masalah tembakau, yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum (internationally legally binding instrument) bagi negara-negara yang telah meratifikasinya. Sasaran FCTC adalah membentuk agenda global bagi regulasi tembakau, dengan tujuan mengurangi perluasan penggunaan tembakau dan mendorong penghentiannya. Ketentuan-ketentuan FCTC dibagi menjadi langkah-langah untuk mengurangi permintaan atas produk tembakau dan langkah-langkah untuk mengurangi pasokan produk tembakau.

Sebagai kerangka perjanjian (evidence-based treaty) pertama yang dinegosiasikan di bawah pengawasan WHO, FCTC mewakili pergeseran paradigma dalam mengembangkan pendekatan hukum terkait dengan penanganan kandungan adiktif dengan mempertimbangkan pengurangan di sisi permintaan (demand reduction) sekaligus sisi penawaran produk tembakau (WHO, 2003). FCTC adalah suatu perjanjian internasional tentang tembakau yang bersifat menyeluruh. Perjanjian ini mengatur produksi, penjualan, distribusi, iklan, dan perpajakan tembakau. Kesemuanya dimaksudkan untuk menekan penggunaan tembakau.

Secara umum, 38 pasal dalam FCTC mencakup aturan tentang permintaan pengurangan konsumsi produk rokok (Pasal 6-14); kebijakan harga dan pajak untuk mengurangi permintaan terhadap rokok; dan mengatur kebijakan non-harga, dengan alasan perlindungan terhadap asap rokok. Selain itu, konvensi internasional ini juga membuat aturan yang berkaitan dengan kandungan produk rokok, aturan tentang keterbukaan produk rokok, kemasan dan label produk rokok, edukasi (komunikasi, pelatihan serta kesadaran publik), iklan rokok, promosi, dan sponsor, dan kebijakan pengurangan permintaan.

Selain itu diatur pula hal-hal menyangkut pengurangan suplai (Pasal 15-17); perdagangan rokok secara ilegal; penjualan kepada dan oleh anak-anak di bawah umur; provisi yang mengatur tentang dukungan terhadap alternatif kegiatan yang menguntungkan (economically viable); serta mekanisme untuk kerjasama ilmiah dan teknis serta pertukaran informasi diatur dalam Pasal 20-22.

Dalam rangka menyukseskan seluruh agenda FCTC di atas, WHO menyediakan dana yang sangat besar untuk membantu negara-negara di dunia, khususnya negara berkembang dan miskin, untuk mempermulus ratifikasi FCTC dan menerapkan kontrol produk tembakau di dalam negeri. WHO juga meminta badan-badan dunia lainnya yang berada dibawah PBB seperti ILO dan FAO serta lembaga keuangan internasional seperti IMF dan World Bank dalam mendukung kampanye pengawasan tembakau dan rokok. Selain itu terdapat dukungan dana melimpah seperti dari Michael Bloomberg dan Bill & Melinda Gates Foundation dan aneka perusahaan farmasi multinasional.

Meskipun FCTC telah disahkan dan diratifikasi oleh sejumlah besar negara, namun hingga saat ini tidak ada hasil yang signifikan sebagaimana yang diharapkan, bahkan sebaliknya aktifitas perdagangan tembakau dan produk olahannya terus mengalami peningkatan. Data yang berhasil dihimpun oleh Dana Moneter Internasional (IMF - International Monetary Fund) menyebutkan jumlah perokok pada tahun 2004 mencapai 1,1 miliar. Jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 1,6 miliar perokok pada tahun 2025, dengan kecenderungan menurun di negara maju, namun jumlahnya meningkat di negara berkembang dan miskin (Jay, 2004). Namun, sampai saat ini negara-negara maju masih menjadi konsumen rokok terbesar di dunia, di tengah gencarnya upaya pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan.

FCTC dan instrumen anti tembakau lainnya menjadi politis karena justru menguntungkan perusahaan besar dan negara maju, namun pada sisi lain meningkatkan ketergantungan negara miskin dan petani kecil. Selain itu negara-negara besar juga tidak sungguh-sungguh menjalankan konvensi ini. AS merupakan salah satu negara yang tidak meratifikasi FCTC. Ketika perjanjian itu disiapkan untuk diratifikasi, Presiden George W. Bush tidak serius untuk membawa FCTC ke Senat AS untuk dipertimbangkan, sehingga menggagalkan partisipasi AS dalam pelaksanaan Kerangka Konvensi. Dalam bukunya The Cigarette Century, Allan Brandt, seorang finalis Penghargaan Pulitzer, mengatakan, keengganan Bush untuk memperjuangkan ratifikasi FCTC  menjadi bagian dari keengganan pemerintahnya untuk meratifikasi beberapa konvensi internasional yang penting, yang hadir seiring dengan munculnya kecenderungan unilateralisme Amerika (Brandt, 2007).

Selain itu, AS telah berupaya untuk mengubah ketentuan-ketentuan tertentu dari FCTC, tetapi dengan keberhasilan yang terbatas. Di antara ketentuan menentang berhasil adalah larangan wajib pada distribusi sampel tembakau bebas (yang sekarang opsional), definisi sempit istilah "kecil" mengenai penjualan tembakau (yang sekarang mengacu dengan hukum domestik atau nasional) dan keterbatasan luas mengenai iklan rokok, promosi dan sponsor (yang dipandang sebagai melanggar kebebasan berbicara, dan sekarang tunduk pada pembatasan konstitusional). Dalam ketentuan gagal ditentang oleh AS persyaratan untuk peringatan label yang akan ditulis dalam bahasa negara dimana produk tembakau yang dijual, dan larangan pada uraian menipu dan menyesatkan seperti "tar rendah" atau "ultra-ringan", yang mungkin melanggar perlindungan merek dagang.  

Kebijakan Pengendalian Tembakau di Indonesia

Kebijakan kontrol tembakau tidak pernah menjadi prioritas kebijakan kesehatan publik pemerintah sebelum tahun 1990an (Achadi, et.al, 2005: 337). Menteri Kesehatan di masa Suharto menyatakan secara terbuka bahwa pemerintah tidak memiliki niatan untuk mengatur tembakau dalam payung hukum. Konsekuensinya, industri tembakau tumbuh subur di masa Suharto.

Pergantian kepemimpinan dari Suharto ke B.J. Habibie di tengah kekacauan politik dan ekonomi pada Mei 1998 membawa angin perubahan dalam isu kontrol tembakau. Pemerintahan BJ Habibie mendirikan Forum Komunikasi Nasional dibawah naungan Badan Obat dan Makanan, Kementrian Kesehatan sebagai wadah konsolidasi antara LSM dan staf pemerintah dalam isu kontrol tembakau. Lebih lanjut, regulasi pemerintah pertama untuk kontrol tembakau ditetapkan tahun 1999.

Peraturan Pemerintah Nomor 81/1999 mengatur mengenai larangan iklan di media elektronik serta kewajiban mencantumkan peringatan kesehatan dalam iklan. Pasal aturan produk menetapkan level maksimum tar dan nikotin sebesar 1,5 mg (tar) dan 20 mg (nikotin). Hal lainnya yang diatur dalam PP tersebut adalah larangan merokok di tempat umum tertentu, misalnya fasilitas kesehatan, tempat mengajar dan yang dekat dnegan anak-anak, serta transportasi publik. Peraturan pemerintah juga membatasi penjualan rokok melalui vending machine di tempat yang mudah dijangkau anak-anak di bawah umur sekaligus melarang pembagian sampel rokok gratis. Pelanggaran pasal tentang iklan dan peringatan kesehatan dikenai sanksi khusus

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan