Rabu, 3 September 2025

Mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah: Bank Indonesia Tidak Perlu Cetak Uang

Burhanuddin menilai, Badan Anggaran DPR keliru dalam mempersepsikan tentag kebutuhan uang beredar.

Penulis: Choirul Arifin
KOMPAS.COM
Mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Anggaran DPR RI beberapa waktu lalu mengusulkan kepada pemerintah dan Bank Indonesia (BI) agar mencetak uang baru senilai hingga Rp 600 triliun.

Alasannya, seperti disampaikan Ketua Badan Anggaran MH Said Abdullah, untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia yang terdampak oleh pandemi virus Corona atau Covid-19.

Menanggapi hal tersebut, mantan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah menegaskan, BI tidak perlu mencetak uang.

Burhanuddin menegaskan, selama ini BI memang mencetak uang untuk kebutuan transaksi masyarakat setiap tahunnya, sesuai dengan perencanaan atau proyeksi pertumbuhan ekonomi serta target-target nflasi yang dikehendaki pemerintah.

Kemudian, didapatkan angka tertentu, lalu BI mengorder ke Perum Peruri untuk mencetak uang.

Baca: DPR Bingung, Kemenhub Buka Kembali Layanan Transportasi, Padahal Kasus Corona Masih Tinggi

"Namun dengan prinsip independensi BI, tidak boleh ada pihak mana pun yang bisa memaksakan kehendak tentang apa yang harus dilakukan maupun tidak dilakukan oleh BI, baik itu dari pemerintah maupun DPR," ujar Burhanuddin dalam wawancara dengan Tribunnews, Rabu malam, 6 Mei 2020.

Baca: Kemenhub Akan Bolehkan Transportasi Beroperasi Lagi, Bantah Disebut Relaksasi

Burhanuddin Abdullah mengingatkan, kalaupun BI akan menambah uang beredar, soal jumlahnya berapa, jenis pecahan uangnya apa saja yang akan diedarkan, hal tersebut sepenuhnya merupakan hak atau diskresi penuh BI.

"Itu sepenuhnya merupakan diskresi BI, bukan pihak lain. Tidak boleh ada pihak lain yang boleh iktu campur," ujar Burhanuddin Abdullah.

Burhanuddin menduga, Badan Anggaran DPR RI keliru dalam mempersepsikan tentag kebutuhan uang beredar. "Pengertian mencetak uang itu bukan dengan cetak uang kertas.

DPR mungkin untuk memudahkan pikirin saja, meminta BI mencetak uang. BI bisa menjawab nggak bisa begitu.

"Nggak begtiu cara mencetak uang. Menambah uang beredar bukan dengan cara begitu bukan dengan tambah uang kertasnya, bukan seperti itu. Mencetak uang itu biayanya juga mahal," tandasnya.

Upaya meningkatkan uang beredar, lanjut Burhanuddin, ada mekanisme yang selama ini dijalankan BI. Misalnya, bank-bank punya uang dolar berlebih, lalu di-swap ke BI, bank kemudian terima uang rupiah, oleh bank bisa disalurkan ke kredit.

Lalu, masyarakat yang mendapatkan kredit dari perbankan, bisa menyimpan uangnya di bank pula. "Itu cara menambah uang beredar. Jadi di DPR ada mispersepsi. Namanya mencetak uang bukan seprti itu," beber Burhanuddin Abdullah.

Dia menambahkan, di Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang saat ini berlaku, BI diizinkan membeli surat berharga negara yang diterbitkan Pemerintah langsung di pasar primer.

"Di UU yang lama, selama ini BI tidak boleh membeli surat berharga negara (SBN) di pasar primer. Harus beli di pasar skunder. Di pasar primer yang boleh beli adalah invesor asing atau perbankan dan kemudian baru BI membeli dari mereka," ungkapnya.

Halaman
12
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan