Kamis, 18 September 2025

Pemblokiran Rekening

Soal PPATK Blokir Rekening Bank, Celios:  Pemerintah Senang Buat Kebijakan Bikin Masyarakat Murka

PPATK memblokir rekening bank yang tidak aktif atau dormant selama tiga bulan hingga 12 bulan.

|
dok. FMB
PEMBLOKIRAN REKENING BANK - Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda. PPATK memblokir rekening bank yang tidak aktif atau dormant selama tiga bulan hingga 12 bulan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, melayangkan kritik keras terhadap kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait penghentian sementara atau pemblokiran rekening dormant. 

Celios adalah lembaga riset independen di Indonesia yang fokus pada isu-isu ekonomi makro, keadilan fiskal, transisi energi, ekonomi digital, dan kebijakan publik. 

Menurutnya, kebijakan tersebut menyalahi hak-hak konsumen dan berpotensi merugikan masyarakat, terutama di kalangan menengah ke bawah.

"Pemerintah membuat kebijakan yang selalu membuat masyarakat murka. Termasuk kebijakan terkait penghentian sementara rekening dormant," ujar Nailul dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews, Kamis (31/7/2025).

Baca juga: YLKI Sebut Langkah PPATK Blokir Rekening Nganggur Tak Pertimbangkan Hak Konsumen

Ia menjelaskan, dari sudut pandang konsumen, rekening merupakan hak milik pribadi sehingga pembekuan atau penutupan harus melalui persetujuan pemilik rekening.

"Tanpa persetujuan konsumen, PPATK melakukan hal yang ilegal," tegasnya.

Meski dalam Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) diatur bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat memblokir rekening atas indikasi transaksi mencurigakan, Huda menilai itu bukan menjadi kewenangan PPATK.

"Itu yang harus dipahami oleh PPATK terkait hak warga negara," tambahnya.

Lebih lanjut, Huda menilai penyalahgunaan rekening terjadi karena lemahnya sistem dan pengawasan yang tidak maksimal. Ia mencontohkan banyak rekening tidak aktif karena pemiliknya tengah mencari kerja atau berada di wilayah pedesaan tanpa akses ke ATM dan merchant.

"Bisa saja karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), atau tidak ada pemasukan, akhirnya rekeningnya tidak ada transaksi. Saat ini, waktu mencari pekerjaan bisa sampai 8 bulan. Masyarakat di pedesaan kadang hanya transaksi setahun sekali. Masa harus dipaksa transaksi tiap tiga bulan? Itu pola pikir sesat," kritiknya.

Selain itu, menurutnya, pemblokiran juga menimbulkan beban biaya tambahan, baik langsung maupun tidak langsung, bagi masyarakat. Mulai dari biaya transportasi, waktu, hingga kerugian akibat transaksi yang tertunda.

"Apakah PPATK atau perbankan mau menanggung kompensasi? Transaksi yang tertunda juga bisa berdampak pada roda ekonomi," katanya.

Yang lebih disesalkan, lanjutnya, justru rekening aktif yang potensial disalahgunakan seperti untuk judi online tidak tersentuh. "Yang pasif dibekukan, yang aktif dibiarkan. Seharusnya yang diberantas itu mafia jual beli rekening, bukan rekeningnya," tegas Huda.

Secara hukum, ia mengingatkan bahwa dalam UU No. 8 Tahun 2010, pemblokiran hanya bisa dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim. Bahkan dalam UU P2SK sekalipun, wewenang hanya diberikan kepada OJK, bukan PPATK.

"PPATK harus belajar menempatkan diri. Yang bisa dilakukan PPATK hanyalah meminta perbankan menunda transaksi yang mencurigakan, bukan membekukan rekening secara sepihak," jelasnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan