Jumat, 8 Agustus 2025

Ekonom Pertanyakan Data Pertumbuhan Ekonomi BPS 5,12 Persen, Tidak Ada Momentum Ramadan

Ekonom INDEF mempertanyakan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2025 sebesar 5,12 persen.

Penulis: Nitis Hawaroh
Editor: Choirul Arifin
KOMPAS.COM/Desy Kristi
DATA PERTUMBUHAN EKONOMI - Aktivitas bongkar muat kontainer di Terminal Peti Kemas PT IPC Pelindo II Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mempertanyakan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2025 sebesar 5,12 persen padahal di saat yang sama tidak ada momentum pendorongnya. 

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai angka pertumbuhan ekonomi yang diumumkan BPS bertolak belakang dengan proyeksi suram yang telah disuarakan hampir seluruh lembaga kredibel, dari IMF dan Bank Dunia yang memproyeksikan di kisaran 4,7-4,8 persen, hingga para ekonom domestik yang melihat langsung lesunya denyut nadi perekonomian.

Baca juga: Bagaimana Bisa Banyak PHK dan Daya Beli Lemah Tapi Pertumbuhan Ekonomi RI Capai 5,12 Persen?

Adapun rinciannya, Dana Moneter Internasional (IMF), dalam laporan World Economic Outlook Update edisi Juli 2025, memproyeksikan angka 4,8 persen. 

Senada dengan itu, Bank Dunia melalui Global Economic Prospects edisi Juni 2025 bahkan memberikan estimasi yang lebih konservatif di angka 4,7 persen. 

Dari dalam negeri, Bank Indonesia memberikan rentang proyeksi antara 4,7 persen hingga 5,1 persen, di mana angka realisasi BPS justru melampaui batas atas skenario paling optimis sekalipun. 

Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Keuangan, menargetkan pertumbuhan di kisaran 5,0?lam asumsi APBN. 

Sementara itu, lembaga riset independen seperti INDEF dan LPEM FEB UI juga memberikan proyeksi yang jauh di bawah realisasi, masing-masing di angka 4,8?n 4,95%. 

"Konsensus yang solid ini menunjukkan bahwa para analis, baik global maupun domestik, melihat sinyal pelemahan yang nyata, sebuah sinyal yang tampaknya diabaikan oleh angka tunggal BPS," kata Achmad kepada Tribunnews, Rabu (6/8/2025).

Menurutnya, narasi resmi BPS yang coba dibangun bahwa sebuah "tsunami fiskal" dari belanja pemerintah mampu menjadi penyelamat tunggal, terdengar simplistis dan tidak memadai. 

Ia menyebut, atas hal itu muncul pertanyaan fundamental yang kini menggantung di benak publik adalah, benarkah daya ungkit belanja pemerintah sedahsyat itu hingga mampu meniadakan dampak gabungan dari lesunya konsumsi, mandeknya investasi swasta, dan anjloknya ekspor?

"Kecurigaan yang beralasan ini secara sah membuka kembali kotak pandora yang selama ini coba ditutup rapat. Kemungkinan adanya kelemahan fundamental dalam metodologi BPS, baik yang terjadi karena ketidaksengajaan maupun kesengajaan," paparnya.

Dugaan Ada Intervensi Istana

Achmad menyampaikan, keraguan publik terhadap anomali data ini mengerucut pada dua kemungkinan yang sama-sama meresahkan, yang harus dibedah dengan nalar kritis.

Opsi pertama adalah kemungkinan adanya inkompetensi dan kesalahan metodologis yang tidak disengaja. 

"Kita harus berani bertanya, apakah metodologi BPS, yang mungkin dirancang untuk struktur ekonomi beberapa dekade lalu, masih relevan?," ucapnya.

Menurutnya, ekonomi telah bertransformasi secara drastis. Bagaimana BPS menangkap nilai tambah dari jutaan pelaku ekonomi digital, gig workers, atau transaksi e-commerce lintas batas yang tidak tercatat dalam survei konvensional? 

Bisa jadi, Achmad menyebut, kerangka survei dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang ada saat ini memiliki kelemahan inheren. 

Halaman
123

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan