Ekonom Pertanyakan Data Pertumbuhan Ekonomi BPS 5,12 Persen, Tidak Ada Momentum Ramadan
Ekonom INDEF mempertanyakan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2025 sebesar 5,12 persen.
Penulis:
Nitis Hawaroh
Editor:
Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mempertanyakan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2025 sebesar 5,12 persen padahal di saat yang sama tidak ada momentum pendorongnya.
Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II mencapai 5,12 persen secara year on year. Angka itu tumbuh dibandingkan triwulan I sebesar 4,87 persen.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan, data yang dikeluarkan oleh BPS dianggap sebagai anomali. Padahal di triwulan kedua ini tidak ada momentum Ramadan atau salah satu pendorong daya beli masyarakat.
"Terkait dengan triwulan II ini kita lihat bahwa tidak ada sebetulnya momentum Ramadan. Seperti di triwulan I. Dan pertumbuhannya di triwulan pertama ini tentu saja lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya 4,87 persen tetapi secara mencengangkan di triwulan II 5,12 persen."
"Ini menjadi salah satu pertanyaan padahal tidak ada momentum Ramadan," kata Andry saat Media Briefing secara virtual, Rabu (6/8/2025).
Bahkan Andry menduga, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II ada window dressing atau semacam perubahan terkait dengan data. Di satu sisi, beberapa ekonom memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan II berada dikisaran di bawah 5 persen.
"Dan sepertinya ada intervensi terkait dengan data di triwulan II ini," jelasnya.
Menurut Andry, ada ketidaksesuaian data kinerja industri nasional yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan II seperti pengolahan, pertanian, kehutanan dan perikanan, perdagangan besar dan eceran, konstruksi serta pertambangan.
Data BPS menunjukkan pertumbuhan di industri pengolahan 5,68 persen, pertanian 1,65 persen, perdagangan 5,37 persen, konstruksi tumbuh 4,98 persen dan pertambangan tumbuh 2,03 persen.
Padahal menurut pada Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur, kinerja industri masih pada tahap kontraksi yakni 49,2 atau di bawah batas aman 50.
"Nah ini kembali lagi kita patut bertanya dan BPS patut menjelaskan terkait dengan apa itu mekanisme ataupun pengambilan data? Karena tidak cukup mencerminkan kondisi real di lapangan," tutur dia.
Pada pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto yang menerapkan kebijakan efisiensi anggaran, kata Andry turut berkontribusi pada penurunan kinerja industri akomodasi dan makan minum dalam negeri.
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi RI 5,12 Persen di Kuartal II 2025, Begini Respon Hipmi
"Kita tahu bahwa efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah, bagaimana banyak sekali kita ASN dan juga pemerintah daerah tidak melakukan kunjungan ke daerah-daerah. Kita tahu bahwa dengan restriksi tersebut dan juga efisiensi yang dilakukan pemerintah, pertumbuhan dari penyediaan akomodasi itu menurun, tetapi ini sangat mencengangkan," ucapnya.
Pertumbuhan ekonomi sebuah negara biasanya diukur melalui Produk Domestik Bruto (PDB) atau pendapatan nasional riil, dan mencerminkan seberapa besar aktivitas ekonomi meningkat dari tahun ke tahun.
Pertumbuhan ekonomi ditandai oleh tren naiknya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita, bertambahnya produksi barang dan jasa, berkurangnya tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta meningkatnya daya beli masyarakat.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat menilai angka pertumbuhan ekonomi yang diumumkan BPS bertolak belakang dengan proyeksi suram yang telah disuarakan hampir seluruh lembaga kredibel, dari IMF dan Bank Dunia yang memproyeksikan di kisaran 4,7-4,8 persen, hingga para ekonom domestik yang melihat langsung lesunya denyut nadi perekonomian.
Baca juga: Bagaimana Bisa Banyak PHK dan Daya Beli Lemah Tapi Pertumbuhan Ekonomi RI Capai 5,12 Persen?
Adapun rinciannya, Dana Moneter Internasional (IMF), dalam laporan World Economic Outlook Update edisi Juli 2025, memproyeksikan angka 4,8 persen.
Senada dengan itu, Bank Dunia melalui Global Economic Prospects edisi Juni 2025 bahkan memberikan estimasi yang lebih konservatif di angka 4,7 persen.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia memberikan rentang proyeksi antara 4,7 persen hingga 5,1 persen, di mana angka realisasi BPS justru melampaui batas atas skenario paling optimis sekalipun.
Pemerintah sendiri, melalui Kementerian Keuangan, menargetkan pertumbuhan di kisaran 5,0?lam asumsi APBN.
Sementara itu, lembaga riset independen seperti INDEF dan LPEM FEB UI juga memberikan proyeksi yang jauh di bawah realisasi, masing-masing di angka 4,8?n 4,95%.
"Konsensus yang solid ini menunjukkan bahwa para analis, baik global maupun domestik, melihat sinyal pelemahan yang nyata, sebuah sinyal yang tampaknya diabaikan oleh angka tunggal BPS," kata Achmad kepada Tribunnews, Rabu (6/8/2025).
Menurutnya, narasi resmi BPS yang coba dibangun bahwa sebuah "tsunami fiskal" dari belanja pemerintah mampu menjadi penyelamat tunggal, terdengar simplistis dan tidak memadai.
Ia menyebut, atas hal itu muncul pertanyaan fundamental yang kini menggantung di benak publik adalah, benarkah daya ungkit belanja pemerintah sedahsyat itu hingga mampu meniadakan dampak gabungan dari lesunya konsumsi, mandeknya investasi swasta, dan anjloknya ekspor?
"Kecurigaan yang beralasan ini secara sah membuka kembali kotak pandora yang selama ini coba ditutup rapat. Kemungkinan adanya kelemahan fundamental dalam metodologi BPS, baik yang terjadi karena ketidaksengajaan maupun kesengajaan," paparnya.
Dugaan Ada Intervensi Istana
Achmad menyampaikan, keraguan publik terhadap anomali data ini mengerucut pada dua kemungkinan yang sama-sama meresahkan, yang harus dibedah dengan nalar kritis.
Opsi pertama adalah kemungkinan adanya inkompetensi dan kesalahan metodologis yang tidak disengaja.
"Kita harus berani bertanya, apakah metodologi BPS, yang mungkin dirancang untuk struktur ekonomi beberapa dekade lalu, masih relevan?," ucapnya.
Menurutnya, ekonomi telah bertransformasi secara drastis. Bagaimana BPS menangkap nilai tambah dari jutaan pelaku ekonomi digital, gig workers, atau transaksi e-commerce lintas batas yang tidak tercatat dalam survei konvensional?
Bisa jadi, Achmad menyebut, kerangka survei dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang ada saat ini memiliki kelemahan inheren.
Ia mungkin memberikan bobot yang berlebihan (over-represent) pada sektor-sektor yang datanya mudah didapat dari laporan administratif pemerintah, seperti konstruksi proyek negara dan belanja aparatur.
Sebaliknya, ia secara signifikan meremehkan (under-represent) dinamika sektor swasta, UMKM, dan sektor informal yang justru sedang berjuang paling keras.
Jika ini masalahnya, maka angka 5,12?alah produk dari sebuah sistem pengukuran yang usang atau cacat, yang menghasilkan potret ekonomi yang terdistorsi, indah di permukaan namun keropos di dalam.
Opsi kedua, Achmad menyampaikan, yang lebih suram dan menakutkan adalah adanya intervensi dan manipulasi data yang disengaja.
"Ini adalah sebuah kemungkinan yang tidak bisa lagi dikesampingkan dalam iklim politik yang penuh tekanan, di mana angka menjadi segalanya," tutur Achmad.
Ia melihat, angka pertumbuhan ekonomi bukan lagi sekadar statistik, ia adalah rapor politik, komoditas pencitraan, dan justifikasi kebijakan.
Sehingga, kata Achmad, ketika sebuah rezim menempatkan legitimasi dan citra keberhasilannya pada angka-angka tertentu, maka independensi lembaga statistik seperti BPS berada di bawah ancaman terbesar.
"Pertanyaan mengenai adanya "pesanan" atau intervensi untuk "memoles" data agar terlihat baik menjadi sebuah keniscayaan," tuturnya.
"Kita tidak perlu bukti adanya telepon langsung dari Istana ke kantor BPS," sambung Achmad.
Lebih lanjut Ia mengatakan, tekanan bisa datang secara halus melalui alokasi anggaran, pemilihan pimpinan, atau sekadar "pemahaman" tak tertulis bahwa data yang "baik" akan membuat semua pihak senang.
"Angka yang melenceng jauh dari semua perkiraan bisa menjadi indikasi adanya upaya sistematis untuk merekayasa realita demi kepentingan politik sesaat, dengan mengorbankan kebenaran dan kredibilitas jangka panjang," paparnya.
Pemerintah Bantah Lakukan Pemolesan
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membantah pemerintah memoles pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 menjadi lebih bagus.
Ketika ditemui di kantornya pada Selasa (5/8/2025) malam, Airlangga menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal II berkat konsumsi konsumen tumbuh tinggi sekitar 4,97 persen dan ini mewakili 54 persen dari pertumbuhan ekonomi.
"Kemudian investasi tumbuh 6,99 persen. Kemudian transaksi di eceran meningkat. Uang elektronik 6,26 persen. Kemudian marketplace tumbuh quarter to quarter 7,5 persen," kata Airlangga.
"Kemudian dari perjalanan akibat kita membuat kebijakan, baik itu pesawat, kereta api, maupun jalan tol, itu perjalanan wisatawan nusantara tumbuh 22,3 persen. Wisatawan mancanegara tumbuh 23,32 persen," ujarnya.
Lalu, ia mengatakan bahwa secara tahunan, jumlah lapangan pekerjaan yang tercipta dari Februari 2024 ke Februari 2025 itu mendekati 3,6 juta.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
pertumbuhan ekonomi
Ramadan
Airlangga Hartarto
INDEF
Badan Pusat Statistik
intervensi istana
SDG08-Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi
Kejanggalan Pertumbuhan Ekonomi RI 5,12 Persen: Ada Telepon Langsung dari Istana ke Kantor BPS? |
![]() |
---|
Dewan Ekonomi Nasional Sebut Judi Online Dapat Memangkas Pertumbuhan Ekonomi Nasional |
![]() |
---|
DPR: Pertumbuhan Ekonomi 5,12 Persen Tunjukkan Kembalinya Kepercayaan Publik dan Investor |
![]() |
---|
Bagaimana Bisa Banyak PHK dan Daya Beli Lemah Tapi Pertumbuhan Ekonomi RI Capai 5,12 Persen? |
![]() |
---|
Pertumbuhan Ekonomi Triwulan II 2025 di Level 5,12 Persen Dipengaruhi Faktor Musiman |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.