Rabu, 19 November 2025

Pertumbuhan Ekonomi

Kejanggalan Pertumbuhan Ekonomi RI 5,12 Persen: Ada Telepon Langsung dari Istana ke Kantor BPS?

Dana Moneter Internasional (IMF), dalam laporan World Economic Outlook Update edisi Juli 2025, memproyeksikan ekonimi RI pada angka 4,8%. 

|
Tribunnews/Irwan Rismawan
PERTUMBUHAN EKONOMI - Pedagang melayani pembeli di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen, disampaikan BPS ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan investasi yang menjadi sumber utama penggerak ekonomi nasional. 

Achmad menyampaikan, keraguan publik terhadap anomali data ini mengerucut pada dua kemungkinan yang sama-sama meresahkan, yang harus dibedah dengan nalar kritis.

Opsi pertama adalah kemungkinan adanya inkompetensi dan kesalahan metodologis yang tidak disengaja. 

"Kita harus berani bertanya, apakah metodologi BPS, yang mungkin dirancang untuk struktur ekonomi beberapa dekade lalu, masih relevan?," ucapnya.

Menurutnya, ekonomi telah bertransformasi secara drastis. Bagaimana BPS menangkap nilai tambah dari jutaan pelaku ekonomi digital, gig workers, atau transaksi e-commerce lintas batas yang tidak tercatat dalam survei konvensional? 

Bisa jadi, Achmad menyebut, kerangka survei dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang ada saat ini memiliki kelemahan inheren. 

Ia mungkin memberikan bobot yang berlebihan (over-represent) pada sektor-sektor yang datanya mudah didapat dari laporan administratif pemerintah, seperti konstruksi proyek negara dan belanja aparatur. 

Sebaliknya, ia secara signifikan meremehkan (under-represent) dinamika sektor swasta, UMKM, dan sektor informal yang justru sedang berjuang paling keras. 

Jika ini masalahnya, maka angka 5,12?alah produk dari sebuah sistem pengukuran yang usang atau cacat, yang menghasilkan potret ekonomi yang terdistorsi, indah di permukaan namun keropos di dalam.

Opsi kedua, Achmad menyampaikan, yang lebih suram dan menakutkan adalah adanya intervensi dan manipulasi data yang disengaja. 

"Ini adalah sebuah kemungkinan yang tidak bisa lagi dikesampingkan dalam iklim politik yang penuh tekanan, di mana angka menjadi segalanya," tutur Achmad.

Ia melihat, angka pertumbuhan ekonomi bukan lagi sekadar statistik, ia adalah rapor politik, komoditas pencitraan, dan justifikasi kebijakan. 

Sehingga, kata Achmad, ketika sebuah rezim menempatkan legitimasi dan citra keberhasilannya pada angka-angka tertentu, maka independensi lembaga statistik seperti BPS berada di bawah ancaman terbesar. 

"Pertanyaan mengenai adanya "pesanan" atau intervensi untuk "memoles" data agar terlihat baik menjadi sebuah keniscayaan," tuturnya.

"Kita tidak perlu bukti adanya telepon langsung dari Istana ke kantor BPS," sambung Achmad.

Lebih lanjut Ia mengatakan, tekanan bisa datang secara halus melalui alokasi anggaran, pemilihan pimpinan, atau sekadar "pemahaman" tak tertulis bahwa data yang "baik" akan membuat semua pihak senang. 

Halaman 2/4

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved