Minggu, 28 September 2025

Beras Oplosan

Ombudsman: Oplos Beras Itu Praktik yang Lazim, Lumrah Terjadi Sejak Dulu

praktik pengoplosan atau pencampuran beras sebenarnya adalah hal yang wajar dan sudah berlangsung sejak lama.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
BERAS OPLOSAN - Petugas menunjukkan barang bukti saat konferensi pers hasil penyidikan perkara dugaan beras oplosan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (1/8/2025). Dittipideksus Bareskrim Polri melalui Satgas Pangan Polri menetapkan Direktur Utama Food Station Karyawan Gunarso, Direktur Operasional Food Station Ronny Lisapaly dan Kepala Seksi Quality Control Food Station sebagai tersangka kasus dugaan beras oplosan atau beras yang tidak memenuhi standar mutu dan kualitas. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

Pemalsuan label itu juga seperti misalnya yang dicantumkan adalalah campuran pandan wangi 70 persen dan cilamaya 30 persen, tetapi kenyataannya 50-50.

Baca juga: Lonjakan Pembeli di Pasar Tradisional Imbas Kasus Beras Oplosan, Pedagang: Alhamdulillah Ramai

Kata Pemerintah Soal Boleh Campur Beras

Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menjelaskan bahwa praktik mencampur beras memang ada berupa pencampuran butir patah dengan butir kepala.

Namun pencampuran tersebut harus sesuai standar mutu yang telah ditetapkan pemerintah.

"Kalau beras itu pasti dicampur. Kenapa dicampur? Karena ada butir utuh dan butir patah. Nah kalau beras premium itu butir utuhnya dicampur dengan butir patah sampai 15 persen," kata Arief.

"Bukan dioplos dengan beras busuk terus diaduk. Ini karena kualitas adalah kualitas. Ini yang harus dijaga," jelasnya.

Terkait itu, kelas mutu beras premium telah diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 2 Tahun 2023.

Untuk beras premium harus memiliki kualitas antara lain memiliki butir patah maksimal 15 persen, kadar air maksimal 14 persen, derajat sosoh minimal 95 persen, butir menir maksimal 0,5 persen, total butir beras lainnya (butir rusak, butir kapur, butir merah/hitam) maksimal 1 persen, butir gabah dan benda lain harus nihil.

Tidak jauh berbeda, dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 6128:2020 beras premium non organik dan organik harus mempunyai komponen mutu antara lain butir patah maksimal 14,50 persen; butir kepala minimal 85,00 persen; butir menir maksimal 0,50 persen; butir merah/putih/hitam maksimal 0,50 persen; butir rusak maksimal 0,50 persen; butir kapur maksimal 0,50 persen; benda asing maksimal 0,01 persen, dan butir gabah maksimal 1,00 per 100 gram.

"Kalau istilah oplosan itu cenderung berkonotasi negatif. Seperti misalnya minyak seharga Rp 15.000, tapi dicampur dengan minyak seharga Rp 8.000, lalu dijual dengan harga Rp 15.000. Nah itu maksudnya oplos," ungkap dia.

"Di beras, kita punya batas maksimal beras patah 15 persen. Apabila butir utuh tadi dicampur dengan 15 persen butir patah, itulah beras premium dan memang begitu standar mutunya. Jadi pencampuran beras tapi tidak melampaui standar mutu itu biasa dan lumrah," tambah Arief.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan