Redenominasi Rupiah
Ekonom Nilai Redenominasi Rupiah Tak Mendesak, tapi Bisa Basmi Money Laundry hingga Korupsi
Ekonom menyampaikan bahwa manfaat redenominasi rupiah memang banyak, tapi hanya akan berdampak secara psikologis saja, tidak fundamental.
Ringkasan Berita:
- Ekonomi menilai wacana soal redenominasi rupiah itu tidak pernah menjadi prioritas utama, tetapi banyak manfaatnya jika diterapkan
- Manfaatnya bisa memudahkan administrasi dan transaksi ekonomi, mengurangi tindak pidana pencucian uang hingga korupsi
- Ekonom menilai manfaat diterapkannya redenominasi rupiah itu nanti hanya akan berdampak secara psikologis saja
Â
TRIBUNNEWS.COM - Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia, Teuku Riefky, mengatakan bahwa wacana kebijakan redenominasi rupiah tidak begitu mendesak untuk sekarang ini, tapi dia mengaku ada banyak manfaatnya jika diterapkan.
Rencana redenominasi rupiah itu diketahui sudah bergulir sejak era pemerintahan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2010 hingga pemerintahan era Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), kemudian kini kembali mencuat di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Secara sederhana, redenominasi adalah menyederhanakan nilai mata uang dengan mengurangi tiga angka nol di belakang nominal, tanpa mengubah daya belinya. Artinya, meskipun nominalnya terlihat lebih kecil, nilai atau kekuatan belinya masih tetap sama.
Contohnya, saat ini ada uang Rp20.000 untuk membeli sebuah roti, kemudian setelah redenominasi, nominal uang tersebut akan berubah menjadi Rp20, tapi tetap bisa dipakai untuk membeli roti dengan harga Rp20.000 tersebut.
Adapun, wacana ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2025–2029 yang ditetapkan pada 10 Oktober 2025.Â
Dalam beleid tersebut, penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi) menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan.Â
"RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027," tertulis dalam PMK 70/2025.
Menurut Riefky, wacana soal redenominasi rupiah itu tidak pernah menjadi prioritas utama, meskipun dia juga tidak memungkiri jika kebijakan tersebut diterapkan, maka akan banyak manfaatnya.
"Yang perlu digarisbawahi adalah kita enggak berada pada kondisi untuk melakukan redenominasi secara urgent, jadi urgensinya ini memang enggak pernah menjadi top priority, walaupun memang redenominasi ini memberikan beberapa benefit," ungkap Riefky, Rabu (12/11/2025), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Manfaat dari redenominasi rupiah itu, kata Riefky, bisa memudahkan dalam administrasi dan transaksi ekonomi.
Bahkan, bisa juga mengurangi adanya tindak pidana pencucian uang atau money laundry hingga memperkecil celah tindak pidana korupsi.
Baca juga: DPR Singgung Beban Utang Negara di Tengah Wacana Redenominasi Rupiah: Enggak Usah Buru-buru
"Jadi ada manfaatnya juga dari melakukan redenominasi ini. Pertama adalah kemudahan untuk melakukan transaksi dan proses administrasi, sehingga kemudian ini nanti dalam pencatatan dalam administrasi menjadi lebih sederhana."
"Biasanya kalau ada redenominasi itu, mata uang yang besar pun juga apa menjadi tidak valid, yang nominalnya sangat-sangat besar. Nah, ini di beberapa negara memang terlihat berdampak positif terhadap penurunan tindak pidana pencucian uang atau money laundry, ini juga memperkecil celah korupsi yang biasa menggunakan cash dengan nominal yang sangat besar," papar Riefky.
Namun, menurut Riefky, manfaat diterapkannya redenominasi rupiah itu nanti hanya akan berdampak secara psikologis saja.
Sementara secara fundamental, tidak akan berpengaruh pada kekuatan ekonomi negara, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, defisit anggaran, defisit anggaran berjalan, dan lainnya.
"Tapi memang kalau kita lihat dari redenominasi itu sendiri, biasanya manfaatnya ini lebih ke arah psikologis, bukan ke arah fundamental," ujarnya.
"Jadi memang kalau ekonomi kita fundamentalnya sedang bagus, redenominasi pun ini enggak akan membuat lebih bagus. Begitu pun saat fundamental ekonomi kita tertekan, redenominasi pun juga enggak akan membuat kondisi fundamentalnya menjadi lebih bagus. Ini memang efek psikologis saja di pasar dan transaksi ekonomi masyarakat," sambung Riefky.
Oleh karena itu, menurut Riefky, redenominasi tidak dianggap sebagai hal yang mendesak, apalagi di tengah berbagai persoalan ekonomi negara yang terjadi saat ini.
"Sehingga dalam konstelasi seluruh permasalahan ekonomi saat ini, memang redenominasi tidak memiliki urgensi yang sangat tinggi," ucapnya.
Kebijakan Redenominasi Rupiah Wewenang Siapa?
Keputusan terkait kebijakan redenominasi rupiah ini merupakan wewenang dari Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter.
Hal tersebut sebelumnya disampaikan oleh Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa.
Dia menegaskan bahwa keputusan soal redenominasi nanti akan diputuskan oleh BI berdasarkan kondisi ekonomi yang dinilai tepat, bukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Dengan ini, Purbaya pun meminta agar publik tidak salah paham dan menilai seolah-olah Kementerian Keuangan yang mendorong pelaksanaan redenominasi.Â
Namun, Purbaya memastikan bahwa kebijakan redenominasi rupiah belum akan dijalankan dalam waktu dekat.
“Itu kebijakan bank sentral dan dia nanti akan diterapkan sesuai dengan kebutuhan pada waktunya, tapi enggak sekarang, enggak tahun depan,” ujar Purbaya usai acara studium generale dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-71 Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Senin (10/11/2025).
“Itu kebijakan Bank Sentral, bukan Menteri Keuangan, kan Bank Sentral sudah kasih pernyataan tadi. Jadi jangan gua yang digebukin, gue digebukin terus,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa redenominasi membutuhkan waktu dan persiapan yang lebih lama.
Untuk saat ini, kata Perry, BI lebih fokus menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Kami saat ini lebih fokus jaga stabilitas dan dorong pertumbuhan ekonomi. Fokus kami seperti itu, apalagi redenominasi butuh timing dan persiapan lebih lama,” kata Perry dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu.
(Tribunnews.com/Rifqah)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.