Serba-serbi tradisi 'pernikahan hantu' di Cina
Ada yang sampai membunuh agar mendapatkan jenazah untuk dijual kepada keluarga yang menjalankan tradisi 'pernikahan hantu' yaitu menikahkan orang yang meninggal dalam keadaan lajang.
Pada tahun 2006 pemerintah sudah menetapkan hukum yang melarang perdagangan mayat, tapi para perampok tetap saja berkeliaran menggali kuburan.
Tahun lalu, seorang pria yang ditangkap di Liangcheng, Mongolia mengatakan kepada polisi bahwa ia membunuh perempuan korbannya untuk menjual mayatnya kepada keluarga yang mencari pasangan pengantin hantu.
Mengapa ini terjadi?
Alasan melakukan tradisi ini berbeda dari wilayah ke wilayah. Di beberapa kabupaten di Cina, seperti Shanxi, tempat terjadinya kasus pembunuhan terbaru, banyak sekali pria muda lajang bekerja di pertambangan batubara, yang memiliki angka kematian yang tinggi.
Pernikahan hantu dilakukan sebagai bentuk kompensasi emosional bagi keluarga yang ditinggalkan. Mencari mempelai perempuan yang sudah meninggal adalah sesuatu yang bisa mereka lakukan untuk anak laki-laki mereka yang mati muda saat mencari nafkah.
Makam dikelilingi hiasan kertas agar almarhum merasa nyaman di alam baka.
Tapi rasio perbandingan jenis kelamin juga signifikan. Pada tahun 2014 hasil sensus menunjukkan bahwa perbandingan angka kelahiran adalah 115 anak laki-laki untuk setiap 100 anak perempuan.
Tapi Dr Huang percaya ada juga alasan budaya yang lebih mendasar.
Banyak orang Cina percaya bahwa kemalangan akan menimpa mereka, jika keinginan orang meninggal belum terpenuhi. Menggelar pernikahan hantu dinilai sebagai sarana untuk menenteramkan orang yang sudah menemui ajal.
"Ideologi dasar di balik pernikahan hantu adalah bahwa mendiang melanjutkan hidup mereka di akhirat," kata Dr Huang. "Jadi, jika seseorang tidak menikah semasa hidupnya, mereka masih harus dinikahkan setelah kematiannya."
Apakah ini terjadi di tempat lain?
Sebagian besar kasus ini ditemukan di bagian utara dan tengah Cina, seperti wilayah-wilayah Shanxi, Shaanxi dan provinsi Henan. Tapi Szeto Fat-ching, ahlifeng shui di Hong Kong, juga menegaskan tradisi kuno ini masih hidup di kalangan masyarakat Cina di Asia Tenggara.
Di Taiwan, jika seorang perempuan lajang meninggal, keluarganya akan menaruh bungkusan atau paket yang berisi uang tunai, uang kertas dan seikat rambut.
Di Taiwan, jika seorang perempuan lajang meninggal, keluarganya menaruh bungkusan atau paket berwarna merah yang berisi uang tunai, uang kertas, seikat rambut, dan kuku, di tempat terbuka. Lalu mereka menunggu sampai ada pria yang mengambil bungkusan tersebut.
Pria pertama yang mengambil bungkusan itu berarti terpilih sebagai pengantin pria dan jika ia menolak untuk menikahi jenazah pengantin perempuan, maka ia diyakini akan dirundung nasib sial.
Ritual-ritual pernikahannya mirip, tetapi tidak seperti di Cina daratan, tidak perlu menggali tulang belulang.
Pengantin pria juga sering diperbolehkan untuk menikahi perempuan biasa -yang masih hidup- di kemudian hari, tetapi istri yang dinikahinya sebagai mayat harus diperlakukan sebagai istri utama.
Tahun lalu sebuah video pernikahan arwah dari Taichung di Taiwan, beredar viral, setelah seorang pria 'menikahi' almarhumah pacarnya dalam sebuah upacara yang rumit.
Betapa pun inti dari ritual-ritual ini adalah dilema universal manusia tentang bagaimana berurusan dengan kehilangan dan duka cita.