Klinik transgender Dili: nasib LGBT di Timor Leste lebih baik dibanding di Indonesia?
Sebuah klinik di Dili melayani transgender dan dikelola transgender, mulai dari staf, relawan, hingga penyuluh kesehatannya. Bagaimana nasib
"Kondom itu nomor satu, sebagai seks aman untuk mencegah HIV," tegas Zina Bello.
Tak sampai setengah jam, tes HIV sudah memberikan hasil bagi Rihanna: negatif. Ia bersorak kegirangan.
"Saya tahu tempat ini dari teman-teman yang sudah pernah ke sini," kata Rihanna kemudian. "Dan saya senang ke sini karena di sini yang memberikan konseling adalah seorang transgender, Zina. Dia melakukannya dengan baik. Jadi saya merasa aman di sini," tambahnya.
Klinik C4 itu memang menjadi rujukan utama bagi kalangan transgender dan gay di Timor Leste, karena penyuluhnya di sana -dokter, menurut julukan popular para pasiennya- adalah seorang transgender.
"Ada banyak klinik lain menawarkan layanan yang sama. Tapi mereka ragu. Karena kurang bisa terbuka pada dokter-dokter itu. Mereka kurang nyaman untuk memicarakan sesuatu yang dirahasiakan. Tapi dengan saya, mereka merasa nyaman," kata Zina.
"Di sini mereka merasa bebas, leluasa, karena ditangani oleh saya, sesama transgender, orang dari komunitas mereka sendiri. Jadi sebagai sesama transgender, bisa saling berbagi, saling tahu satu sama lain."
Zina Belo adalah satu dari dua transgender yang menjadi penyuluh kesehatan di Timor Leste. Satunya lagi bertugas di Baucau, sebuah kota sekitar 100 km dari Dili.
Dulu ada seorang transgender lain yang menjadi penyuluh, namun, kata Zina, sudah mengundurkan diri.
Zina sendiri, selain di klinik ini juga menjadi relawan di beberapa klinik lain, dan di organisasi penyuluhan HIV/AIDS yang dikelola kementerian kesehatan Timor Leste.
Klinik C4 didirikan tahun 2017, sebagai bagian dari CODIVA kepanjangan dari Coalition for diversity and action, koalisi untuk aksi keberagaman. CODIVA sudah terlebih dahulu berdiri sejak 2015 untuk memperjuangkan kesetaraan hak LGBT di Timor Leste.
Kesetaraan hak bagi LGBT dijamin konstitusi Timor Leste, pandangan tradisional di masyarakat Katolik yang kuat masih tidak sepenuhnya menerima LGBT secara positif.
Romiaty Barreto, pengelola klinik ini mengatakan, ia sendiri mengalami diskriminasi semacam itu beberapa tahun lalu, semasa ia masih bekerja sebagai seorang guru SMP.
"Saat itu, saya belum berpakaian sebagai perempuan. Tapi banyak rekan guru yang sering mengejek saya, mengapa saya perilaku saya seperti perempuan. Saya akhirnya tidak tahan, dan berhenti," Romy berkisah.
- Dapatkah pariwisata menopang Timor Leste?
- Aparat Arab Saudi tangkap sejumlah pria terkait video ‘pernikahan gay’ di Mekah
- Pencambukan gay di Aceh berlangsung dalam sorakan
Namun keputusan itu membawa berkah tersendiri. Romy kemudian bertekad untuk bekerja di bidang yang membantu komunitas LGBT.