Pemilihan Presiden Amerika Serikat
Trump Kalahkan Rekor Suara Populer Obama, Perkuat Spekulasi Pencalonan 2024 Jika Kali Ini Kalah
Donald Trump telah mengalahkan rekor suara populer Barack Obama yang dipecahkannya 12 tahun lalu sebagai presiden yang meraih suara terbanyak
TRIBUNNEWS.COM - Donald Trump telah mengalahkan rekor suara populer Barack Obama yang dipecahkannya 12 tahun lalu sebagai presiden yang meraih suara terbanyak dalam sejarah Amerika Serikat, sebelum Joe Biden.
Seperti yang dilansir Newsweek, Donald Trump telah memperoleh 69.538.777 suara saat ini, menurut Associated Press.
Jumlah itu melampaui 69.498.516 suara Obama pada tahun 2008 lalu.
Namun, Biden berhasil mencatat lebih banyak, dengan rekor 73.303.957 suara per Kamis (5/11/2020) malam waktu setempat.
Partai Demokrat sebagian besar menganggap pemilu 2020 sebagai referendum pada masa jabatan pertama Trump.
Baca juga: Joe Biden Pecahkan Rekor Obama untuk Suara Terbanyak yang Pernah Diberikan kepada Calon Presiden AS
Baca juga: Hasil Pilpres Amerika: Joe Biden Minta Pendukungnya untuk Sabar meski Yakin Menang
Demokrat "menghukumnya" karena tidak becus menangani pandemi yang telah menewaskan lebih dari 230.000 orang di Amerika serta memicu resesi terdalam sejak Great Depression.
Selain itu, Donald Trump sempat dimakzulkan tahun lalu atas tuduhan mencoba menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa pemerintah Ukraina menggali informasi pribadi Biden, meskipun saat itu ia akhirnya dibebaskan senat.
Setelah itu, Trump menghadapi liputan media yang negatif tentang karakter, perilaku, dan kebijakannya selama masa jabatannya.
Banyaknya kritik soal politik, ekonomi, membuat pakar berbicara tentang penolakan Trump secara drastis.
Meski begitu, bahwa Trump kini meraih suara populer lebih banyak dari yang ia dapatkan empat tahun lalu, memperkuat spekulasi pencalonan dirinya pada Pilpres 2024 mendatang, jika ia kalah saat ini.
Namun, kasus seperti itu terbilang jarang.
Biasany,a presiden menjabat dua periode berturut-turut.
Hanya ada satu presiden yang dipilih untuk masa jabatan kedua tidak berturut-turut, yaitu Grover Cleveland pada tahun 1893.
Menurut jajak pendapat baru-baru ini, banyak Partai Republik akan mendukung Trump untuk mencoba memenangkan Pilpres pada tahun 2024.
Jajak pendapat Washington Examiner / YouGov terhadap 1.200 pemilih terdaftar yang disurvei 30 Oktober menanyakan responden apa yang Trump lakukan jika dia kalah tahun ini.
Dari semua yang ditanya, 48 persen menyebut Trump "meninggalkan politik sepenuhnya".
Namun, di antara Partai Republik, jawaban paling populer adalah agar Trump tetap berpolitik dan mencalonkan diri lagi sebagai presiden pada tahun 2024, dengan 38 persen dari mereka memilih pilihan itu.
Mantan penasihat kampanye Trump juga telah memprediksi presiden akan mencalonkan diri lagi dalam empat tahun jika dia kalah dari Biden.
Bryan Lanza, yang menjabat sebagai wakil direktur komunikasi pada kampanye Trump 2016, mengatakan presiden masih menikmati dukungan luas di antara Partai Republik dan akan menghadapi sedikit perlawanan dari dalam partai jika dia memutuskan untuk mencalonkan diri pada 2024.
"Dia punya aparat, dia mendapat dukungan. Jika dia kalah dalam pemilu yang sangat ketat hari ini, dia bisa membuat klaim bahwa itu bukan pemilu yang adil dan bebas, media mencampuri pemungutan suara mereka, dan lainnya," katanya dalam wawancara dengan BBC.
"Saya pikir dia bisa mencalonkan diri lagi dan saya pikir Partai Republik akan mengalah dan membiarkannya terjadi."
Sekutu Trump juga mungkin menunjukkan kedekatan pemilihan, meskipun banyak jajak pendapat yang menunjukkan Biden memegang keunggulan kuat.
Trump juga memperoleh keuntungan dalam sejumlah demografi, sebagai alasan mengapa dia masih bisa bersaing di Pilpres 2024.
Sam Nunberg, yang merupakan ahli strategi pada kampanye Trump tahun 2016, mengatakan kepada New York Times, "Presiden Trump akan tetap menjadi pahlawan dalam pemilih Partai Republik."
"Kandidat presiden dari Partai Republik 2024 adalah Presiden Trump sendiri atau kandidat lain yang paling mirip dengannya."
Menurut jajak pendapat Edison Research, perolehan suara Trump naik dengan banyaknya pria dan wanita kulit hitam, pria dan wanita Latin, dan wanita kulit putih.
Para pemilih Latin membantu Trump memenangkan Florida.
Jumlah pemilih pada Pilpres 2020 diperkirakan menjadi yang tertinggi sejak 1900.
Namun, meskipun lebih banyak orang memilih Trump pada tahun 2020 daripada Obama pada tahun 2008, dia masih hampir pasti kehilangan suara populer untuk pemilihan keduanya.
Pada 2016, Hillary Clinton memenangkan suara populer dengan selisih hampir 3 juta, tetapi masih kalah dari Trump di Electoral College.
Clinton mendapat 48,2 persen dari semua suara sedangkan Trump 46,1 persen.
Namun, pada akhirnya suara Electoral College jatuh ke Trump, 304 untuk Trump dan 227 untuk Clinton.
Sementara itu, seorang calon presiden dari Partai Republik baru sekali memenangkan suara populer dalam delapan pemilihan terakhir.
Itu ketika George W. Bush menerima 62.040.610 suara pada tahun 2004 sedangkan lawannya, John Kerry memperoleh 59.028.444 suara.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)