Kamis, 28 Agustus 2025

Krisis Myanmar

Analis Sebut Kudeta Myanmar karena Ambisi Pribadi Panglima Militer yang Merasa Hilang Rasa Hormat

Sudah sepekan Myanmar di bawah kekuasaan langsung militer pasca kudeta pada Senin (1/2/2021).

Penulis: Ika Nur Cahyani
Editor: Sri Juliati
Lillian SUWANRUMPHA / AFP
Seorang migran Myanmar memegang poster dengan gambar Kepala Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima angkatan bersenjata Myanmar, saat mereka mengambil bagian dalam demonstrasi di luar kedutaan Myanmar di Bangkok pada 1 Februari 2021, setelah itu. Militer Myanmar menahan pemimpin de facto negara itu Aung San Suu Kyi dan presiden negara itu dalam kudeta. 

Pengganti Jenderal Ne Win dijuluki "Jagal Rangoon" karena penindasan brutal terhadap demonstrasi pro-demokrasi massal di ibu kota saat itu selama akhir 1980-an.

Min Aung Hlaing, yang terpilih sebagai panglima tertinggi saat transisi demokrasi pada 2011 bertanggung jawab atas kekerasan terhadap etnis Rohingya.

Baca juga: Ajudan Suu Kyi Ditangkap saat Anggota Parlemen Mengadakan Pertemuan Simbolik

Baca juga: Kudeta Myanmar: Internet Diblokir, Aksi Protes Turun ke Jalan

Wanita etnis Rohingya menangis di atas kapal yang mengangkut ke lokasi pengungsian. Banyak dari pengungsi adalah ibu dan anak-anak yang meninggalkan kampung mereka di Myanmar untuk menghindari pembunuhan oleh tentara Myanmar.
Wanita etnis Rohingya menangis di atas kapal yang mengangkut ke lokasi pengungsian. Banyak dari pengungsi adalah ibu dan anak-anak yang meninggalkan kampung mereka di Myanmar untuk menghindari pembunuhan oleh tentara Myanmar. (CNN)

Sekitar 720.000 orang melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh setelah tindakan keras pada 2016 dan 2017.

PBB mengatakan serangan militer memiliki 'niat genosida', namun hal ini dibantah militer dengan mengatakan mereka menargetkan teroris.

Pada 2019, Amerika Serikat memberi sanksi kepada Min Aung Hlaing atas pelanggaran HAM terkait etnis Rohingya.

Militer Myanmar dilaporkan sangat kaya. Mereka mengendalikan jaringan perusahaan dengan hubungan ke industri pertambangan batu giok dan ruby, tembakau, bir, manufaktur, pariwisata, perbankan, dan transportasi.

Tahun lalu, penyelidikan Amnesty International menemukan bahwa hampir setiap unit militer memiliki saham di Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL).

Kemudian laporan PBB pada 2019 mengatakan bahwa militer menggunakan bisnis untuk mendukung operasi terhadap kelompok etnis.

(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan