Konflik Rusia Vs Ukraina
Mengapa Beberapa Negara Ingin Tetap Bersahabat dengan Rusia di Tengah Invasi Moskow ke Ukraina?
Sejumlah ahli dan mantan pejabat AS membeberkan alasan mengapa beberapa negara tetap ingin bersahabat dengan Rusia di tengah invasi Moskow ke Ukraina.
Penulis:
Pravitri Retno Widyastuti
Editor:
Sri Juliati
"Negara-negara Teluk ini ingin mempertahankan aliansi OPEC dengan Rusia karena membuat OPEC lebih kuat sebagai pengelola pasar," terang Wald.
Baca juga: Lagi, Jenderal Kelima Rusia Dilaporkan Tewas di Tangan Tentara Ukraina
"Mereka melihat jauh (ke masa dapan) atas masalah Ukraina dan tidak ingin merusak hal baik yang telah mereka lakukan."
Negara-negara Teluk Arab, yang menampung pasukan AS, telah secara konsisten mendukung Amerika Serikat selama beberapa dekade.
Tapi, tanggapan mereka terhadap perang di Ukraina mencerminkan bagaimana kepentingan mereka mulai menyimpang dari Washington, kata para ahli.
Pembunuhan kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, oleh tim pembunuh Saudi pada 2018 lalu, telah memunculkan ketegangan permanen pada hubungan AS-Saudi.
Sementara itu, Emirat frustrasi karena pemerintahan Biden tidak memberlakukan sanksi keras terhadap pasukan Houthi yang didukung Iran setelah serangkaian serangan di UEA.
Negara-negara Teluk juga mewaspadai upaya Gedung Putih untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015, khawatir pemulihan perjanjian itu dapat meningkatkan saingan berat mereka di Teheran.
4. Turki

Di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan, Turki memiliki hubungan yang kontradiktif dengan Rusia.
Kedua pemerintah menemukan kesamaan di beberapa bidang, bahkan saat mereka berkonflik di bidang lainnya.
Turki, anggota NATO, mendukung Dewan Keamanan PBB yang mengecam invasi rusia ke Ukraina, tapi tidak menjatuhkan sanksi pada Moskow atau menutup wilayah udaranya untuk pesawat Rusia.
Di Libya dan Azerbaijan, Turki telah mendukung kelompok-kelompok yang memerangi pasukan yang didukung Rusia.
Tetapi, Erdogan dan Putin telah menjalin hubungan persahabatan, dan Turki telah membeli rudal anti-pesawat S-400 buatan Rusia dan membuat kesepakatan energi dengan Moskow.
Turki juga meminta Rusia untuk membantunya mempertahankan tekanan pada kelompok-kelompok Kurdi di Suriah, karena Ankara khawatir akan munculnya negara Kurdi di perbatasan.
Di Ukraina, pemerintah di Kyiv telah menggunakan pesawat tak berawak buatan Turki untuk melawan konvoi lapis baja Rusia.
Turki telah menyebut invasi Rusia sebagai “perang,” yang memungkinkannya untuk menutup Selat Bosphorus (di bawah Konvensi Montreux 1936) – yang menghubungkan ke Laut Hitam – untuk kapal perang.
Namun, keputusan itu tidak berarti angkatan laut Rusia tak bisa sama sekali berlayar ke Laut Hitam.
Tindakan Turki, bagaimanapun, dapat menghambat Rusia untuk memasok pasukannya.
Ketika mencoba untuk menyeimbangkan antara Rusia, Ukraina, dan NATO, Ankara telah muncul sebagai mediator potensial, bersama dengan Israel, dalam upaya menemukan penyelesaian yang dinegosiasikan untuk perang.
Erdogan telah menawarkan bantuan dialog antara Moskow dan Kyiv sejak April tahun lalu, menjadi tuan rumah bagi Zelenskyy untuk pembicaraan dan kemudian melakukan perjalanan ke kota Sochi di Rusia pada bulan September untuk bertemu dengan Putin.
Awal bulan ini, Turki menjadi tuan rumah pembicaraan tatap muka pertama antara pejabat Rusia dan Ukraina di kota selatan Antalya, di mana para menteri luar negeri membahas kemungkinan gencatan senjata 24 jam.
5. China

Reaksi China terhadap perang di Ukraina dapat memicu konflik dan bentrokan yang lebih besar antara Moskow dan Barat.
China menggambarkan dirinya netral terhadap "krisis" di Ukraina, tapi media pemerintahannya menggemakan propaganda Rusia.
Juga, telah mendukung pandangan Moskow bahwa perang di Ukraina terjadi karena ekspansi NATO sejak berakhirnya Perang Dingin.
Selama bertahun-tahun, hubungan Rusia dan China terus meningkat, terutama sejak Presiden Xi Jinping berkuasa.
Kedua negara itu memiliki kesamaan dalam permusuhan mereka pada AS, terhadap demokrasi secara lebih luas, serta tatanan dunia berbasis aturan yang dibuat AS dan sekutu Eropanya usai Perang Dunia II.
Di sela-sela Olimpiade Musim Dingin Beijing, Xi dan Putin mengatakan dalam sebuah pernyataan bersama, bahwa kemitraan antara mereka "tidak berbatas" dan tidak ada "bidang kerja sama yang dilarang."
"Pada dasarnya apa yang kita lihat adalah bahwa dua kekuatan otoriter, Rusia dan China, beroperasi bersama," kata Jens Stoltenberg, sekretaris jenderal NATO, pada 15 Februari.
Sejak pemerintah AS dan Eropa memberlakukan sanksi terhadap Moskow setelah invasi, ekspor China ke Rusia telah melonjak, termasuk peralatan listrik, kendaraan, dan mesin.
Sementara, Moskow mengirim produk minyak bumi dan kayu ke CHina.
Tetapi, tak jelas apakah China bersedia mengirim perangkat keras militer Rusia untuk mengisi stok yang habis.
Perang telah mempersulit ambisi China di Eropa, pasar utama dalam rencana jangka panjang Beijing.
Pengaruh perang di Ukraina terhadap global bisa berdampak besar bagi ekonomi China, yang sudah tersendat sebelum invasi Rusia.
Meskipun India dan negara-negara lain tampaknya siap untuk terus berdagang dengan Rusia dan menahan diri untuk tak mengkritik Moskow secara terbuka, hanya China yang punya kekuatan untuk memberi bantuan pada Moskow karena sanksi-sanksi Barat menekan ekonominya.
"Ini adalah kelompok (negara) yang membantu Rusia di sana-sini. Tapi, pertanyaan besarnya sebenarnya adalah China," ujar Barry Pavel, mantan pejabat senior Pentagon yang saat ini menjadi wakil presiden senior di Dewan Atlantik.
Seperti dalam kasus lain, termasuk dengan Iran atau Korea Utara, China dapat memutuskan untuk menutup mata terhadap sanksi Barat tanpa secara eksplisit menentangnya, menurut Pavel.
Ia menyebut pendekatan Korea Utara sebagai "dua langkah", dengan China melakukan bantuan "di belakang layar untuk membantu teman Anda."
Para ahli tidak setuju China dapat mengurangi dampak sanksi keuangan yang telah menyebabkan jatuhnya rubel Rusia dan mendorong spekulasi bahwa sektor perbankan Rusia pada akhirnya bisa runtuh.
Tidak peduli bagaimana China merespons, ekonomi Rusia “sangat menderita,” kata Pavel.
6. Afrika Selatan

Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyalahkan NATO atas perang di Ukraina dan mengatakan ia menolak seruan untuk mengutuk Rusia.
Para pemimpin politik Afrika Selatan mempertahankan kesetiaan mereka pada Moskow sejak era Perang Dingin, ketika Uni Soviet melatih dan mempersenjatai para aktivis anti-apartheid, sementara AS mendukung rezim apartheid selama bertahun-tahun.
Afrika Selatan termasuk di antara dua lusin negara Afrika yang menolak bergabung dalam pemungutan suara Dewan Keamanan PBB yang menyesalkan tindakan Rusia di Ukraina.
Rusia telah menjalin hubungan di seluruh benua melalui perjanjian kerja sama militer tanpa perjanjian hak asasi manusia, dan tentara bayaran Rusia telah dikaitkan dengan konflik di Republik Afrika Tengah dan Mali.
“Mayoritas umat manusia (yang bukan kulit putih) mendukung pendirian Rusia di Ukraina,” Letnan Jenderal Muhoozi Kainerugaba, putra Presiden Uganda Yoweri Museveni, mengatakan dalam sebuah tweet.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)