Herry Wirawan, pemerkosa 13 santriwati tetap dihukum mati usai kasasi ditolak MA
Mahkamah Agung memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang sebelumnya juga memvonis Herry Wirawan dengan hukuman mati.
Hakim kemudian menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap Herry karena telah melanggar Pasal 81 ayat (1), ayat (3), ayat (5) jo Pasal 76D Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hakim juga memerintahkan agar sembilan anak dari para korban tersebut dirawat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan nantinya dikembalikan kepada keluarga apabila korban sudah siap secara mental dan kejiwaan.
Sedangkan biaya restitusi atau ganti rugi terhadap korban sebesar Rp331 juta akan dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPPA) karena Herry telah dijatuhkan vonis seumur hidup.
Vonis tersebut lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum agar Herry dihukum mati, dengan hukuman pidana tambahan berupa pengumuman identitas dan kebiri kimia, hukuman denda Rp500 juta, serta membayar restitusi kepada korban.
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan pidana lainnya tidak bisa dijatuhkan kepada terdakwa yang telah divonis hukuman seumur hidup. Begitu juga dengan pidana tambahan kebiri kimia yang tidak mungkin dilaksanakan apabila vonis yang dijatuhkan berupa penjara seumur hidup.
"Tidak mungkin setelah terpidana mati menjalani eksekusi mati atau menjalani pidana seumur hidup dan terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia, lagipula pasal 67 KUHP tidak memungkinkan dilaksanakan pidana lain apabila sudah pidana mati atau seumur hidup," kata hakim.
Sedangkan salah satu pertimbangan hakim sehingga menetapkan vonis seumur hidup adalah kondisi para korban yang trauma setiap kali melihat Herry maupun hanya mendengar suara Herry, sehingga kontak dalam bentuk apa pun dikhawatirkan memicu trauma korban kembali.
Baik Jaksa Penuntut Umum maupun kuasa hukum terdakwa hingga Selasa siang (15/02) belum memutuskan apakah akan menerima putusan hakim tersebut atau mengajukan banding.
Sementara itu, Direktur dan Konselor Women's Crisis Center Pasundan Durebang, Ira Imelda menyatakan hal yang paling penting dilaksanakan saat ini adalah memastikan bahwa pemulihan korban berjalan baik dan ada jaminan perlindungan bahwa kejahatan serupa tidak berulang lagi.
"Kami berharap agar hak korban-korban diperhatikan, seperti restitusi dan pemulihan. Jadi bukan hanya pemidanaan," kata Ira.
Sebelumnya diberitakan, sedikitnya 13 santri perempuan menjadi korban kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan HW, pengampu suatu pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat, sejak 2016 hingga 2021.
Para santri yang menjadi korban kekerasan seksual rata-rata berusia 13-16 tahun, dengan beberapa di antaranya telah melahirkan bayi. Bahkan, salah satu korban telah melahirkan dua anak.
Kasus itu pertama kali dilaporkan kepada kepolisian Mei silam, namun baru diketahui publik ketika sidang ketujuh dengan agenda mendengar keterangan saksi di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa lalu (07/12).
Herry pemilik dan pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru dituduh telah melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak di bawah umur.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.