50 Tahun perang Vietnam, mengapa AS kalah dalam pertempuran ini?
Pada peringatan 50 tahun sejak penarikan terakhir pasukan AS, kami mewawancarai dua ahli untuk menjelaskan mengapa AS kalah dalam…
Middup percaya bahwa secara umum, orang-orang yang memilih berperang di pihak komunis jauh lebih bertekad untuk menang dibandingkan orang-orang yang ditugaskan berperang pada pihak Vietnam Selatan.
"Ada penelitian yang dilakukan AS selama perang yang mengonfirmasi banyak interogasi terhadap tahanan komunis," kata Middup.
"Baik departemen pertahanan AS dan perusahaan Rand (sebuah think-tank yang terkait dengan militer AS) menghasilkan studi motivasi dan moral yang menyoroti mengapa orang-orang Vietnam Utara dan Viet Cong berperang."
"Kesimpulan yang mereka sepakati adalah bahwa mereka termotivasi karena merasa apa yang mereka lakukan adalah tindakan patriotik, yang menyatukan kembali negara itu di bawah satu pemerintahan."
Kemampuan pasukan komunis untuk terus bertahan meskipun banyak korban jiwa mungkin juga menjadi bukti kuatnya moral mereka.
Kepemimpinan AS terobsesi dengan jumlah. Jika mereka dapat membunuh musuh lebih cepat dari pergantian pasukan itu, komunis akan kehilangan keinginan untuk berperang.
Sekitar 1,1 juta pejuang Vietnam Utara dan Viet Cong terbunuh selama perang, namun komunis tampaknya bisa mengisi kepergian mereka hingga akhir perang.
Profesor Vu tidak yakin apakah utara memiliki moral yang lebih baik, tetapi dia mengakui bahwa indoktriknasi yang diterima pasukan utara telah "mempersenjatai" mereka.
"Mereka mampu membuat orang percaya pada penyebabnya. Berkat propaganda dan sistem pendidikan, mereka mampu mengubah orang menjadi peluru."
Baca juga:
- Tahun 1968 - tahun yang menghantui ratusan perempuan Vietnam
- Jenazah veteran Perang Vietnam yang 'hilang' disambut luar biasa di kota kelahirannya
- Taliban kuasai Kabul lagi, mengapa dikaitkan dengan jatuhnya Saigon 1975?
Pemerintah Vietnam Selatan tidak populer dan korup
Menurut Middup, masalah yang dihadapi selatan adalah kurangnya kredibilitas dan keterkaitan mereka dengan bekas kekuatan kolonial.
"Perpecahan antara Vietnam Utara dan Selatan selalu dibuat-buat, yang disebabkan oleh Perang Dingin," kata dia.
"Tidak ada alasan budaya, etnis, atau bahasa untuk membagi Vietnam menjadi dua."
Dia meyakini bahwa selatan didominasi oleh agama minoritas - Katolik.
Meskipun kelompok ini mewakili hanya sekitar 10-15% populasi pada saat itu (mayoritas masyarakat Vietnam beragama Buddha), banyak dari mereka di utara melarikan diri dari selatan karena takut akan penganiayaan, menciptakan apa yang oleh Middup disebut sebagai "massa yang kritis" dalam politik bernegara di selatan.
Dan para politisi di Selatan, seperti Presiden Ngo Dinh Diem, memiliki teman-teman Katolik yang kuat di AS, seperti Presiden John F Kennedy.
Dominasi oleh agama minoritas ini "membuat negara Vietnam Selatan tidak disukai oleh sebagian besar penduduknya yang beragama Buddha," kata Middup.
Menurut dia, ini memicu krisis legitimasi, dan pemerintahan yang dipandang oleh mayoritas orang Vietnam sebagai impor asing, warisan kolonialisme Prancis, seperti yang diperangi oleh umat Katolik dengan Prancis.
"Kehadiran setengah juta tentara AS menggarisbawahi fakta bahwa pemerintah ini bergantung pada orang asing dalam segala hal," tambah Dr Middup.
"Vietnam Selatan tidak pernah menjadi proyek politik yang dapat meyakinkan banyak orang bahwa negara itu layak untuk diperjuangkan hidup dan mati."
Hal ini, kata dia, menimbulkan pertanyaan apakah pasukan AS semestinya dikirim untuk menopang negara yang dia gambarkan sangat korup.
"Dari awal hingga kehancurannya, [Republik Vietnam] adalah negara yang sangat korup, yang diperparah oleh suntikan besar bantuan AS dari tahun 1960 hingga 1975. Itu benar-benar membuat ekonomi Vietnam Selatan terguncang," jelas dia.
"Pada dasarnya ini berarti bahwa tidak seorang pun bisa memperoleh jabatan apa pun, baik sipil maupun militer, tanpa menyuap."
Menurut Middup, ini memiliki konsekuensi besar bagi angkatan bersenjata.
"Artinya, AS tidak akan pernah bisa membangun tentara Vietnam Selatan yang andal dan kompeten," ujarnya.
"Jadi itu tidak terelakkan, dan diakui oleh Presiden Richard Nixon, bahwa ketika pasukan AS pergi pada suatu waktu yang tidak pasti di masa depan, negara Vietnam Selatan akan runtuh."
AS dan Vietnam Selatan menghadapi batasan yang tidak dihadapi utara
Profesor Vu tidak setuju bahwa kekalahan di selatan tidak dapat dihindari. Dia merasa bahwa pakar AS soal Vietnam biasanya mencari-cari alasan.
"Mereka ingin seseorang disalahkan atas kekalahan itu, dan yang paling mudah disalahkan adalah Vietnam Selatan," kata dia, sambil menambahkan bahwa kritik terhadap korupsi dan pilih kasih terhadap umat Katolik telah dilebih-lebihkan dalam laporan AS.
"Ada banyak korupsi, tapi tidak pada tingkat yang menyebabkan kekalahan dalam perang. Itu menyebabkan banyak inefisiensi dan unit militer tidak efektif, tapi secara keseluruhan, militer Vietnam Selatan bertempur dengan sangat baik," bantahnya.
Jadi Vu percaya bahwa akan lebih baik bagi selatan -yang kehilangan 200.000 hingga 250.000 tentara selama perang—untuk melakukan semua pertempuran, meskipun dengan senjata dan dana dari AS.
Pada akhirnya, menurut Vu, faktor penentunya adalah kemampuan pasukan utara bertahan dalam perang yang berlangsung sangat lama, yang tidak dapat ditandingi oleh pasukan selatan yang lebih liberal.
Karakter dari sistem politiknya membuat publik bercaya pada perang dan tidak mengetahui banyak soal korban yang berjatuhan.
"AS dan Vietnam Selatan sama sekali tidak mampu membentuk opini publik seperti yang bisa dilakukan komunis," kata Prof Vu.
"Meskipun kehilangan banyak tenaga, mereka masih bisa bergerak," sambungnya, sambil menambahkan bahwa taktik militer seperti bunuh diri, serangan "gelombang manusia" ada di utara, namun tidak di selatan.
Yang terpenting, tambahnya, dukungan keuangan dan militer untuk utara dari Uni Soviet dan China tidak goyah, tidak seperti yang dilakukan AS kepada selatan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.