Makanan Korea yang berasal dari 1.700 tahun lalu
Dari daerah pegunungan di Gyeonggi-do, seorang biksuni bernama WooKwan Sunim merintis gerakan kuliner kuil yang memiliki akar sejarah…
Membuat acar atau fermentasi adalah teknik pengawetan kuno yang diangkat menjadi bentuk seni di kuil ini. Rasa pedas dan umami berlimpah.
Khasiat penyembuhan yang diklaim berasal dari kimchi sekarang terkenal di seluruh dunia. Sayuran apa pun bisa menjadi kimchi, bukan hanya kubis. Dan WooKwan juga mengubah banyak tanaman menjadi teh.
Misalnya, bunga kering artichoke liar Yerusalem diubah menjadi teh. Adapun umbi artichoke diasamkan, diubah menjadi sejenis kimchi, atau dikeringkan menjadi camilan renyah.
Tidak ada yang terbuang dalam proses persiapan maupun dalam proses konsumsi. "Kami hanya mengisi mangkuk kami dengan apa yang kami butuhkan. Kami makan setiap butir nasi terakhir," kata WooKwan.
Budaya makanan lambat seperti masakan kuil Korea merupakan sisa-sisa terakhir dari era produksi makanan pra-komersial.
Namun meski pola makan seperti itu jelas punya manfaat, perkembangan konstruksi akhir-akhir ini kian merambah hutan di sekitar Gameun sehingga pencarian tanaman liar dan pertanian organik semakin menantang.
Pembangunan lapangan golf baru di sini, atau gudang di sana, menyudutkan satwa liar yang tersisa ke ruang yang semakin kecil dan tidak terhubung.
"Gorani (rusa air) terus datang dan memakan semua sayuran kami,” kata WooKwan.
Akibatnya, biksuni itu hanya bisa menanam tanaman dengan aroma harum, seperti rosemary, wijen, dan mint, yang biasanya tidak disentuh rusa. Banyak bahan-bahan lain harus diambil dari pertanian lokal sebagai gantinya.
Pot-pot tembikar yang diisi dengan bahan fermentasi juga tidak kebal. "Suatu hari, seekor gorani (rusa air Korea) membuka penutup salah satu pot dan memakan semua gochujang," kata WooKwan merujuk pasta cabai merah. "Artinya gochujang saya sangat bagus," candanya.
"Saya pikir alam dan manusia tidak terpisah, tapi terhubung. Penting untuk dipahami bahwa hubungan ini dibuat melalui hati dan pikiran," kata WooKwan merujuk prinsip "tidak membunuh dan menghormati kehidupan" yang menjadi landasan masakan kuil Korea.
Pada 2018, WooKwan merilis buku masak berbahasa Inggris pertamanya, WooKwan's Korean Temple Food.
Di dalamnya, dia menjembatani kesenjangan antara Timur dan Barat, terkadang memasukkan bahan-bahan yang tidak biasa dimakan di Korea, seperti kubis Brussel, artichoke, dan alpukat.
Bersama dengan beberapa biksuni lainnya, dia terus memperkenalkan masakan kuil Korea ke khalayak dunia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.