Bagaimana Jepang Hadapi Sejarah Kelam Perang Dunia II
Seiring dengan peringatan 78 tahun menyerahnya Jepang pada Perang Dunia ke-II, negara ini dipaksa untuk menyelesaikan konflik sejarah…
Kuil Yasukuni juga memperingati kematian 1.000 penjahat perang yang bertanggung jawab atas beberapa kekejaman paling mengerikan yang dilakukan di Pasifik, termasuk 14 penjahat perang "Kelas A" yang dihukum dan dieksekusi oleh Sekutu.
Rezim militer kekaisaran Jepang juga telah membunuh sedikitnya jutaan orang di seluruh wilayah Asia Pasifik selama Perang Dunia ke-II, di mana beberapa ahli berpendapat setidaknya tentara Jepang telah membunuh lebih dari 10 juta orang.
Kekejaman saat Perang Dunia ke-II oleh Jepang juga termasuk pada persoalan kasus pemerkosaan massal, perbudakan seksual, pembantaian dan kelaparan para tawanan perang, kanibalisme, eksperimen perang biologis, serta pembunuhan sejumlah warga sipil.
Tiongkok mengatakan bahwa pasukan Jepang telah membunuh 300.000 warga Tiongkok dalam Pembantaian Nanjing pada tahun 1937 (pengadilan Sekutu pascaperang menetapkan jumlah korban tewas sebanyak 142.000 orang). Namun, beberapa politisi dan cendekiawan konservatif Jepang menyangkal adanya aksi pembantaian tersebut.
Jepang kehilangan sekitar 2,5 sampai 3 juta nyawa, baik warga sipil maupun tentara, selama Perang Dunia ke-II berlangsung.
Sejarah perang Jepang dirasa sensitif secara politik
Selama pidatonya, PM Kishida tidak membahas tentang agresi Jepang di Asia selama Perang Dunia ke-II.
Para kritikus melihat tidak adanya referensi tentang agresi Jepang di seluruh Asia pada paruh pertama tahun 1900-an, atau pun para korbannya, sebagai sebuah upaya untuk menutupi kebrutalan Jepang di masa perang.
Pada saat upacara di Aula Budokan, Kaisar Jepang Naruhito mengungkapkan "penyesalan mendalam" atas rasa sakit dan penderitaan para korban pada masa kekejaman perang.
"Dengan merefleksikan masa lalu kita dan mengingat perasaan penyesalan yang mendalam, saya sungguh-sungguh berharap bahwa dampak akibat perang ini tidak akan pernah terulang lagi," katanya.
Yoichi Shimada, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Prefektur Fukui, turut memberikan penghormatannya di sebuah kuil yang dekat dengan rumahnya di wilayah Jepang tengah pada hari Senin (14/08).
"Saya berharap bahwa Kishida mungkin tahun ini dapat pergi ke Yasukuni, tetapi bukan hal yang mengejutkan jika dia tidak ke sana," kata Shimada, seraya menambahkan bahwa, "sangat disayangkan bahwa tindakan seorang pemimpin yang memberikan penghormatan dengan cara seperti ini telah dipolitisasi oleh negara lain." (kp/yf)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.