Mahkamah Konstitusi tolak gugatan PSI terkait batas usia capres-cawapres 35 tahun, apa pertimbangan hakim MK?
Mahkamah Konstitusi menolak gugatan syarat batas usia minimal capres-cawapres yang diajukan oleh Partai Solidaritas. MK merinci berbagai…
Sejumlah pakar hukum tata negara menilai MK tidak semestinya mengabulkan permohonan tersebut. Mereka merujuk prinsip kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang selama ini telah dijalankan MK dalam berbagai perkara pengujian undang-undang sebelumnya.
Apa makna prinsip hukum tersebut? Apa dampaknya jika hakim konstitusi mengabaikannya? Dan pertanyaan mendasar lainnya, mengapa peraturan pemilu di Indonesia kerap bergonta-ganti dan digugat ke pengadilan?
Prinsip kebijakan hukum terbuka diperkenalkan pertama kali oleh MK, kata ahli tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Tidak hanya sekali, sejak dibentuk pada tahun 2003, para hakim konstitusi telah menerapkan prinsip ini dalam sejumlah putusan.
Jika MK mengabaikan prinsip ini dalam perkara batas usia capres-cawapres, Feri menilai para hakim konstitusi dapat diduga melanggar etik.
“Apa alasan mereka mengambil pertimbangan berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya?” kata Feri via telepon.
“Kalau sekarang mereka sekarang memberikan tafsir berbeda, itu merupakan bentuk pelanggaran etik.
“Hakim yang cara berpikir hukumnya berubah-ubah adalah hakim yang punya masalah etik karena perubahan tafsir pasti basisnya kepentingan,” ujar Feri.
Dalam catatan Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, kebijakan hukum terbuka selama ini dipakai MK dalam mempertimbangkan gugatan terhadap aturan batas usia pejabat, mulai dari hakim konstitusi, hakim ad-hoc, perangkat desa, pimpinan KPK, dan kepala daerah.
Dalam putusan berbagai perkara itu, kata Bivitri, MK menyebut pengaturan batas usia minimum merupakan sebuah kebijakan. Konsekuensinya, regulasi menyangkut batas usia harus dibuat oleh pembuat undang-undang, yaitu DPR dan presiden.
Bivitri berkata, dalam bahasa hukum, persoalan batas usia bukanlah persoalan konstitusional. Merujuk banyak preseden sebelumnya, para hakim konstitusi semestinya konsisten menggunakan prinsip kebijakan hukum terbuka pada perkara batas usia capres-cawapres.
Kalaupun para hakim konstitusi merasa batas usia capres-cawapres perlu diubah, Bivitri menilai MK semestinya membuat putusan agar “perubahan itu dilakukan setelah pemilu 2024 dan dilakukan oleh pembentuk undang-undang”. MK, menurutnya, mesti berhati-hati karena isu politik dalam gugatan yang dilakukan oleh PSI ini begitu kuat.
Dorongan agar MK berhati-hati dalam perkara batas usia capres-cawapres ini didasarkan pada putusan hakim konstitusi soal masa jabatan pimpinan KPK, Mei lalu.
Bivitri menyebut MK mengabaikan prinsip kebijakan hukum terbuka karena mengubah masa jabatan komisioner KPK dari empat menjadi lima tahun.
Meski begitu, Bivitri menyebut putusan MK pada kasus masa jabatan pimpinan lembaga antirasuah semestinya tidak bisa diterapkan pada perkara batas usia capres-cawapres. Alasannya, kata dia, adalah perbedaan konteks dua perkara ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.