Mahkamah Konstitusi tolak gugatan PSI terkait batas usia capres-cawapres 35 tahun, apa pertimbangan hakim MK?
Mahkamah Konstitusi menolak gugatan syarat batas usia minimal capres-cawapres yang diajukan oleh Partai Solidaritas. MK merinci berbagai…
PSI adalah partai yang dibentuk tahun 2014 dan pertama kali mengikuti pemilu pada tahun 2019. Dalam pertarungan pertamanya, PSI gagal mendapatkan kursi di DPR, tapi menempatkan kader mereka di beberapa badan legislatif daerah.
Jelang dimulainya tahapan pemilihan presiden-wakil presiden 2024, PSI belum menyatakan secara terbuka akan bergabung dengan koalisi tertentu.
Walaupun keberadaan mereka tak berdampak apapun pada capaian presentase kursi DPR (presidential threshold) capres-cawapres, gugatan mereka terhadap batas minimal usia ini dianggap politis sejumlah kalangan.
Penyebabnya, Gibran Rakabuming disebut beberapa petinggi partai politik berpotensi disandingkan dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Namun desas-desus mengenai hubungan antara gugatan ke MK dan wacana pencalonan Gibran ini dibantah Ketua DPP PSI, Dedek Prayudi. Permohonan PSI agar MK menurunkan batas minimal capres-cawapres ini, kata dia, semata-mata karena “partisipasi politik anak muda yang rendah”.
“Jadi ide ini pertama kali muncul pada tahun 2022, saat itu bulan Desember akhir tahun. Ini kami khawatir karena partisipasi politik anak-anak muda di Indonesia itu begitu rendah," kata Dedek kepada pers di Jakarta, Selasa lalu.
Pada hari yang sama, petinggi Gerindra menyebut kepastian partainya memasangkan Gibran dengan Prabowo akan ditentukan putusan para hakim konstitusi soal gugatan batas usia ini.
“Kami tunggu keputusan di MK,” kata Sekretaris Jenderal Gerindra, Ahmad Muzani.
‘Ada yang salah dalam pengaturan pemilu Indonesia’
Sejak Orde Baru berakhir, Indonesia telah menggelar lima pemilu, dimulai pada tahun 1999. Dalam setiap penyelenggaraan pemilu tersebut, undang-undang yang dijadikan dasar penyelenggaraannya selalu berubah.
Menurut mantan Komisioner KPU, Hadar Navis Gumay, jika putusan MK awal pekan depan mengubah batas usia capres-cawapres, tren perubahan regulasi pada setiap pemilu akan kembali terulang. Fenomena ini, kata Hadar, menunjukkan sesuatu yang keliru dalam politik-hukum pemilu di Indonesia.
“Ini adalah tren yang tidak umum di banyak negara demokratis,” ujar Hadar yang kini menjadi dosen dan peneliti senior di lembaga kajian Negrit.
Setelah Orde Baru jatuh, regulasi pemilu didasarkan pada UU 3/1999. Pada pemilu berikutnya, regulasi itu tidak lagi digunakan karena DPR dan pemerintah membuat tiga peraturan baru, masing-masing tentang pemilihan presiden dan wakil presiden dan dua beleid mengenai pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pada pemilu 2009, tiga regulasi tidak berlaku karena muncul perubahan baru terhadap ketiganya. Perubahan regulasi juga terjadi pada pemilu 2014, kecuali pada aturan tentang pemilihan presiden-wakil presiden. Adapun pada pemilu 2019, peraturan pada periode sebelumnya kembali tidak berlaku karena seluruh aturan tentang pemilu disatukan dalam UU 7/2017 tentang Pemilu.
“Perubahan ini cerminan ketidakpuasan para aktor politik, setelah ikut pemilu merasa perlu mengubah aturan karena hitung-hitungan politik tertentu,” kata Hadar.
Pada persiapan pemilu 2024, Hadar menyebut regulasi nyaris kembali diganti, tapi upaya itu tak berlanjut karena banyak kalangan menyayangkan UU 7/2017 tentang Pemilu yang baru satu kali digunakan.
Meski demikian, jika dalam putusannya pekan depan MK mengubah batas usia capres-cawapres, Hadar menyebut perubahan regulasi pemilu 2024 berganti melalui jalur pintas, yaitu peradilan konstitusi, bukan lewat mekanisme pembentukan undang-undang di parlemen.
Namun bisakah Indonesia memiliki regulasi pemilu yang kuat dan tak mudah diganti demi kepentingan tertentu? Menurut Hadar, hal itu bisa tercapai jika DPR dan pemerintah mengeveluasi lalu mengundang seluruh kelompok untuk menyusun regulasi yang komprehensif.
“Semuanya harus berkomitmen untuk menyusun aturan yang lengkap dan tuntas sehingga undang-undang yang dihasilkan ideal, mencakup semua isu, dan jauh dari kepentingan kelompok tertentu,” kata Hadar.
“Proses ideal itu tidak pernah terjadi. Selama ini hanya dicita-citakan, tapi jelang pemilu, di waktu yang mepet, aturan dibuat untuk mengatur hal-hal sensitif seperti keterpilihan, untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. Itulah kenapa selalu muncul niat mengubah aturan pemilu pada periode berikutnya,” ucap Hadar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.