Konflik Palestina Vs Israel
Hujan di Gaza Jadi Ancaman, Pengungsi: Selain karena Perang, Anak-anak Bisa Mati Kedinginan
Nasib anak-anak dan para pengungsi di Gaza semakin mengkhawatiakan setelah hujan sebagai tanda memasuki musim dingin, mengguyur pada Selasa kemarin.
Penulis:
Pravitri Retno Widyastuti
Editor:
Wahyu Gilang Putranto
Tak hanya kelaparan, mereka juga diintai risiko kesehatan karena sistem pembuangan limbah rusak.
"Jika Anda ingin bicara soal ruangan (tempat mengungsi), kami tidur miring karena tidak ada cukup ruang untuk berbaring telentang," kata Rashed, dikutip dari ABC News.
"Jika bicara soal pangan, kami berharap bisa mendapat beberapa potong roti per hari untuk dimakan."
"Jika bicara soal kesehatan, sistem pembuangan limbah di sekilah rusak. Jika ingin bicara soal penyakit, di sini ada cacar air, kudis, dan kutu. Kami putus asa," beber dia.
Baca juga: Mayat Berserakan di Halaman, Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza Terpaksa Kuburkan 179 Pasien Secara Massal
Di salah satu sekolah di Deir al-Balah, Khaled Filfel, seorang ayah berusia 42 tahun, sendirian dan stres karena kebutuhan yang sangat spesifik.
Anaknya yang disabilitas membutuhkan popok, namun sejak eskalasi militer meningkat, Filfel tak lagi bisa mendapatkan popok.
“Putri saya yang berusia 21 tahun adalah penyandang disabilitas dan saya tidak bisa membelikan popok untuknya,” ucapnya
Badan pengungsi PBB, UNWRA, sebelumnya mempunyai rencana darurat untuk menampung 1.500 pengungsi di setiap sekolah, kata direktur badan tersebut di Gaza, Thomas White, kepada BBC.
Rata-rata sekolah yang berubah menjadi tempat penampungan sekarang menampung 6.000 orang – total 670.000 orang di 94 tempat penampungan di wilayah selatan.
“Kami kewalahan dengan jumlah tersebut,” kata White.
"Ada banyak orang di mana-mana. Sanitasi sangat buruk, rata-rata ada sekitar 125 orang per toilet, sekitar 700 orang per unit kamar mandi."
"Anda bisa merasakan kelembapan dari begitu banyak orang yang berdesakan di sekolah-sekolah ini, Anda bisa mencium bau kemanusiaan yang sangat banyak," urainya.
Untuk menghindari ruang kelas dan halaman sekolah yang padat di Deir al-Balah, beberapa pengungsi berjalan kaki singkat ke pantai dan menghabiskan siang hari di sana.
Banyak keluarga pengungsi yang mencuci diri dan pakaiannya di laut.
“Bisa dibilang kita sudah kembali ke zaman kegelapan,” kata Mahmoud al-Motawag, pengungsi berusia 30 tahun.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.