Pro kontra nyamuk Wolbachia di Bali - Apakah aman dan bagaimana dampak jangka panjang?
Pelepasan nyamuk Wolbachia yang ditujukan untuk menangani kasus Demam Berdarah (DBD) di Kota Denpasar dan Kabupaten Buleleng, Bali,…
Kemudian pada 2021 panel ahli dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga merekomendasikan penggunaan teknologi ini.
"Jadi menurut saya teknologi ini aman karena evidence-nya mengatakan begitu sehingga risikonya bisa kita abaikan."
Apakah nyamuk Wolbachia berbahaya dan bisa menimbulkan penyakit?
Salah satu yang dikhawatirkan dari penyebaran nyamuk Wolbachia yakni bisa menimbulkan penyakit lain seperti penyakit radang otak Japanese Encephalitis.
Dokter Riris Andono Ahmad menjelaskan nyamuk aedes aegypti menularkan virus dengue yang menyebabkan penyakit DBD, cikungunya, dan yellow fever.
Adapun penyakit Japanese Encephalitis berasal dari nyamuk culex.
"Kebetulan di Bali memang daerah endemik Japanese Encephalitis karena reservoir dari virus JE adalah babi," ungkapnya.
"Di Bali populasi babi relatif tinggi. Pada hewan babi, virus Japanese Encephalitis tidak menyebabkan gangguan apapun, tapi ketika ada banyak populasi babi, virusnya bersikulasi ya otomatis ada penularan virus Japanese Encephalitis di Bali."
"Jadi sumbernya berbeda."
Yang terjadi justru, ungkapnya, penggunaan fogging atau pengasapan dengan bahan insektisida -yang mencemari lingkungan- tidak lagi diperlukan setelah adanya nyamuk Wolbachia.
Di Yogyakarta saat ini kegiatan fogging nyamuk turun 80%.
Apakah bakteri Wolbachia bisa ditularkan melalui gigitan?
Merujuk pada penelitian sejak 2011, bakteri Wolbachia hanya bisa bertahan hidup pada sel serangga.
Ketika uji coba nyamuk Wolbachia dilakukan di Yogyakarta, tim peneliti mengamati dampak pada manusia.
Kata Dokter Riris Andono Ahmad, manusia yang terpapar gigutan nyamuk Wolbachia tidak menunjukkan respons kekebalan terhadap bakteri Wolbachia.
"Karena bakteri Wolbachia hanya bisa hidup di dalam sel serangga, begitu keluar dari sel akan mati."
"Jadi kalau nyamuk Wolbachia menggigit manusia, yang akan masuk ke sel manusia cairan ludahnya saja dan cairan ludah bukan sel. Jadi ya tidak mungkin masuk ke tubuh manusia, itu secara teoritis."
Untuk memastikan, tim melakukan penelitian rutin di Sleman, Yogyakarta, dengan cara mengambil sampel darah warga untuk mengecek antibodi mereka.
Hasilnya, tidak ada antibodi Wolbachia.
Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini memahami kekahwatiran masyarakat yang menolak pelepasan nyamuk Wolbachia.
Pengalaman serupa, kata dia, juga terjadi di Bantul dan Sleman saat pertama kali dilakukan.
Menurutnya, pemerintah daerah dan para ahli di sana mesti memberikan penjelasan yang utuh ke masyarakat tentang program ini.
Agar tidak ada dugaan pemerintah menyembunyikan sesuatu.
"Sebab setiap teknologi bari akan menimbulkan kekhawatiran, teknologi ini kalau dipikir counter intuitive [bertentangan secara intuitif]. Umumnya kita membunuh nyamuk, tapi malah menyebarkan..."
"Sosialisasi yang baik akan menjawab keraguan masyarakat."
Apa yang akan dilakukan Pemprov Bali?
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, I Wayan Widia, mengaku tidak tahu sampai kapan penundaan program ini dilakukan.
Yang pasti, pihaknya akan melakukan sosialisasi kembali.
Dia juga berkata Dinkes Provinsi Bali sudah memperoleh rekomendasi dari Kementerian Kesehatan mengenai program Wolbachia.
Kendati pihaknya juga tidak ingin melakukan kegiatan apabila situasi tidak kondusif.
"Karena adanya pro dan kontra, kita kan tidak ingin juga terjadi keributan di bawah, kita mengharapkan pelaksanaan kegiatan ini bisa kondusif dan berjalan aman."
Terkait video viral yang meresahkan masyarakat, Wayan Widia berkomentar:
"Kita tidak bisa juga menyalahkan video itu. Kita perlu juga melakukan kajian apakah benar seperti itu. Nah untuk itu mungkin nanti para ahlinya yang bisa menjawab, yang menggagas daripada kegiatan ini."
Di Bali, program pelepasan nyamuk Wolbachia ditangani Yayasan Save The Children.
Direktur Humanitarian dan Resiliensi Save the Children Indonesia, Fadli Usman, mengatakan pihaknya akan terus berkoordinasi dengan pemda, lembaga kemasyarakatan dan budaya, serta pemangku kepentingan lainnya terkait dengan keberlangsungan program penanganan DBD ini.
Dengan begitu, ada partisipasi masyarakat secara sukarela untuk mendukung Bali Bebas Dengue.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.