Rodrigo Duterte Ditangkap
Sikap Anti-AS Rodrigo Duterte dan Polemik Keabsahan Penangkapan oleh ICC
Yang menjadi pertanyaan banyak orang apakah ICC murni bertindak untuk kepentingan dunia ataukah hanya kepanjangan tangan Amerika saja ?
Penulis:
Hasiolan Eko P Gultom
Sikap Anti-AS Rodrigo Duterte dan Polemik Keabsahan Penangkapan oleh ICC
TRIBUNNEWS.COM - Sidang perdana mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte di Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) di Den Haag, Belanda, pada Jumat (14/3/2025) kembali memanaskan polemik seputar keabsahan penangkapannya.
Pada sidang perdana itu, Duterte cuma muncul lewat video di depan para hakim dan cuma hanya tampil sebentar.
Baca juga: Wapres Filipina Sara Duterte Terbang ke Den Haag, Upaya Membela Ayahnya di ICC
Duterte ditangkap atas tuduhan pembunuhan terkait dengan "perang narkoba" mematikan, yang dia pimpin saat menjabat sebagai orang nomor satu di negaranya.
Penangkapan pria berusia 79 tahun itu dilakukan ICC pada Selasa (11/3/2025) dan langsung membawanya ke markas Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag, Belanda.
Hal yang menarik, penangkapan Duterte ini ramai disebut-sebut menambah daftar pemimpin negara yang ditangkap lantaran kebijakannya anti-Barat dan menjauh dari Amerika Serikat.
Benarkah?
Sebelum ini, ICC juga memerintahkan penangkapan kepada Vladimir Putin, PM Israel Benyamin Netanyahu, Pemimpin Libya Moammar Khadafi dan mantan Presiden Sudan Omar Bashir.
Namun ICC tak pernah mampu menangkap kepala negara yang masih menjabat itu.
ICC baru bisa menangkap pelaku jika suatu negara menangkap dan menyerahkan sendiri pelaku ke peradilan internasional tersebut.
Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang masuk dalam daftar tangkap oleh ICC – hingga kini masih melenggang di negaranya karena negara tersebut tak bersedia bekerja sama dengan ICC.
Operasi Anti-Narkoba dan Sikap Anti-Barat
Duterte, semasa menjabat sebagai Presiden Filipina (2016 – 2022) dikenal sebagai pemimpin yang kontroversial dengan kebijakan keras terhadap narkoba yang menuai kecaman global dan akhirnya membuatnya berhadapan dengan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC).
Mantan Wali Kota Davao membangun citranya sebagai pemimpin tegas dengan pendekatan hukum yang keras, yang membawanya ke puncak kekuasaan.
Davao telah menjadi salah satu kota teraman di Asia di bawah kekuasaan keluarga Duterte, yang keluarganya mendapat dukungan luas secara lokal dan nasional.
Kebijakan luar negeri Duterte memiliki pendekatan luar negeri yang dianggap bertentangan dengan hukum di negara barat.
Bahkan sejak awal pemerintahannya, ia cenderung menjauh dari Amerika Serikat, sekutu lama Filipina.
Hal ini terlihat dari keputusannya untuk menolak keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA) tahun 2016 yang memenangkan Filipina dalam sengketa Laut China Selatan.
Semasa menjabat sebagai Presiden Filipina, Rodrigo Duterte kerap melontarkan pernyataan keras soal Amerika Serikat (AS).
Duterte bersumpah tidak akan pernah mengunjungi AS, yang disebutnya ‘menjijikkan’.
Komentar keras ini disampaikan Duterte saat melampiaskan kemarahan pada Komisi HAM Kongres AS yang mengecam kampanye dan perang anti-narkobanya.
Serangkaian pembunuhan dalam operasi antinarkoba selama ia menjabat sebagai presiden Filipina sejak 2017 mengundang perhatian ICC.
Jaksa Penuntut Pengadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ICC) Karim Khan buka suara setelah mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte mendekam di penjara ICC, Rabu (12/3).
Khan mengatakan fakta bahwa perintah penangkapan dari ICC telah dilakukan “sangat penting untuk para korban. Itu amat penting, untuk para korban.”
Tidak hanya Duterte, ICC juga pernah mengeluarkan surat perintah penangkapan kepada pejabat tinggi negara lainnya. Namun, beberapa di antaranya masih jadi buronan karena belum ditangkap.
Yuridiksi ICC
Yang menjadi pertanyaan banyak orang apakah ICC murni bertindak untuk kepentingan dunia ataukah hanya kepanjangan tangan Amerika saja ?
Filipina bukan pihak dalam Statuta Roma dan ICC tidak memiliki yurisdiksi di sana.
Sebagian besar negara ASEAN, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Singapura, tidak mengakui yurisdiksi ICC.
Sejak awal menjabat Presiden Filipina, Duterte bertekad menjauhkan diri dari AS yang merupakan sekutu Filipina.
Terutama setelah pemerintahan Presiden AS sebelumnya, Barack Obama, mengkritik kampanye melawan narkoba yang digaungkannya.
Dalam berbagai kesempatan Duterte menyatakan dia tidak akan pergi ke Amerika Serikat “seumur hidup” dan bahkan akan berusaha keras untuk tidak terbang melewati negara itu seperti yang disampaikannya saat ia menghadiri pertemuan puncak Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Peru.
“Sepanjang saya menjabat, ataupun setelah menjabat, saya tidak akan pergi ke Amerika, ” tegas Duterte kepada wartawan setempat, seperti dilansir AFP.
“Saya telah melihat Amerika dan sungguh menjijikkan. Ada banyak pelanggaran HAM,” sebutnya, merujuk pada kiprah tentara AS di Timur Tengah.
Duterte juga mengecam Amerika Serikat yang terus mengeksploitasi ketergantungan Manila untuk memaksa negara itu tetap tunduk pada rancangan Washington sendiri alih-alih mengamankan kepentingan Filipina.
Pakar: Bisakah ICC Terapkan Penangkapan Duterte ke Putin dan Netanyahu?
Mengutip Antara, Prof Eddy Pratomo SH MA, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila dan Guru Besar Hukum Internasional UNDIP, menjelaskan, memang saat ini ada pertanyaan terkait aspek hukum bagaimana ICC bisa menjangkau Duterte pada saat yang bersangkutan tidak menjabat lagi sebagai kepala negara dan Filipina sudah tidak menjadi pihak pada Statuta Roma.
Menurutnya, ICC menerapkan prinsip retroaktif dengan memberlakukan Statuta Roma selama periode tahun 2011-2019 pada waktu Filipina masih menjadi pihak pada statuta tersebut.
Prinsip ini merupakan teori hukum internasional baru yang mengandalkan prinsip retroaktif.
"Filipina telah menjadi anggota ICC sejak 1 November 2011 tetapi kemudian pada tahun 2018 pada saat Duterte berkuasa negara tersebut menarik diri dari Statuta Roma yang mulai berlaku pada 17 Maret 2019. Meskipun demikian, ICC tetap bersikukuh dan berpandangan bahwa ICC memiliki yurisdiksi terhadap Filipina saat negara itu masih menjadi negara pihak dari November 2011 hingga Maret 2019 dan kasus yang didakwakan kepada Duterte adalah pada periode pada saat Filipina masih menjadi pihak pada Statuta Roma," kata penjelasan Prof Eddy dikutip dari Antara.
Dalam kasus Duterte sesuai prinsip universal dalam hukum, tambahnya, yang bersangkutan tetap perlu mendapatkan hak untuk membela diri serta didampingi penasehat hukum dan diproses sesuai dengan due process of law.
"Namun terdapat hal yang lebih penting lagi dan merupakantantangan berat bagi ICC, yaitu apakah kasus yang terjadi pada Duterte dapat secara adil dan fair bisa juga diterapkan terhadap pemimpin dunia lain yang diduga juga telah melakukan pelanggaran pidana internasional seperti pemimpin Israel Benyamin Netanyahu dan Presiden Rusia Vladimir Putin," kata Prof Eddy.
Dia menambahkan, menjadi pelajaran bagi negara lain, termasuk Indonesia, adalah bahwa RI sejak awal telah mempertimbangkan secara bijak terkait dengan politik hukum Indonesia bahwa RI tidak akan mengakui yurisdiksi ICC karena dalam sistem hukum nasional sudah memiliki Pengadilan HAM Adhocuntuk mengadili kejahatan HAM berat di Indonesia.
"Dengan demikian Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kewenangan hukum/yurisdiksi nasional, yaitu National Exhaustive Legal Proceeding tersebut," katanya.
(oln/afp/antara/*)
Rodrigo Duterte Ditangkap
Putra Rodrigo Duterte Berjanji Akan Lawan ICC, Sebut Ayahnya Ditahan secara Ilegal |
---|
Sidang Perdana Kejahatan Kemanusiaan Rodrigo Duterte Dimulai di ICC |
---|
Tangis dan Penantian, Keluarga Korban Perang Narkoba Duterte Tak Menyerah Berjuang Tuntut Keadilan |
---|
Ditahan ICC, Duterte Tetap Calonkan Diri Jadi Wali Kota Davao di Pemilu 2025 |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.