Selasa, 9 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Manajemen Pertahanan dalam Bayang Perintah Eksekutif Presiden AS: 'Department of War'

Trump ubah Departemen Pertahanan jadi Departemen Perang, dorong militer AS ofensif, picu perlombaan senjata global

|
Editor: Glery Lazuardi
ISTIMEWA
Hikmat Zakky Almubaroq  

Hikmat Zakky Almubaroq 

Kaprodi S2 Manajemen Pertahanan Unhan RI 

Akademisi dan Pakar di Bidang Manajemen Pertahanan  

TRIBUNNEWS.COM -  Bayangkan sebuah kompleks perumahan yang dijaga oleh seorang satpam  (petugas keamanan).

Suatu hari, pemilik kompleks memerintahkan satpam itu untuk tak lagi sekadar berjaga, tapi juga memukul duluan siapa pun yang dianggap mengancam.  

Sang satpam pun berubah peran bak preman berseragam.

Analogi ini menggambarkan situasi terkini di kancah global: Presiden Amerika Serikat Donald Trump baru saja meneken  perintah eksekutif yang  mengembalikan namaDepartment of Defense (Departemen Pertahanan) menjadi “Department of War” (Departemen Perang)[1].  

Dunia internasional pun tersentak, langkah ini tidak sekadar pergantian istilah, melainkan sinyal perubahan paradigma mendasar dalam manajemen pertahanan negara adidaya tersebut.

Perintah eksekutif Trump pada 5 September 2025 itu menghidupkan kembali istilah Department of War yang pernah digunakan AS hingga pasca Perang Dunia II[1].  

Di era 1947, Presiden Harry Truman memilih mengganti nama Departemen Perang  menjadi Departemen Pertahanan untuk menegaskan tujuan militer Amerika adalah memelihara perdamaian, bukan penaklukan.

“Tugas militer tidak diarahkan untuk perang – bukan untuk penaklukan – melainkan untuk perdamaian,” tegas Truman saat itu[2].  

Pergantian nama oleh Trump kini ibarat membawa Pentagon mundur ke filosofi era Perang Dunia II, dengan penekanan terbuka pada kata “Perang”.

Kebijakan ini dipandang banyak pengamat sebagai pelepasan norma tatanan dunia pasca-1945 yang semula menjunjung retorika damai (meski pada kenyataannya AS kerap terlibat konflik)[3].  

Dengan kata lain, Washington secara eksplisit mengedepankan “etos pejuang” dan kesiapan menyerang lebih dulu, alih-alih sekadar bertahan[4]. 

Perintah Eksekutif ‘Department of War’ dan Maknanya 

Perubahan nama Pentagon lewat perintah eksekutif Presiden AS ini sarat muatan retoris. Trump menyatakan langkah ini “sangat penting, karena soal sikap... ini tentang kemenangan”[5].

Bagi Trump, kata “Pertahanan” dirasa terlalu pasif; ia ingin militer AS juga berani ofensif. “Defense is too defensive... we want to be offensive too if we have to,” ujarnya[6].  

Menteri Pertahanan AS (yang kini berganti titel menjadi Secretary of War) Pete Hegseth bahkan bersorak mendukung: “Kami akan maju menyerang, tidak hanya bertahan. Maksimal pada daya gempur, tak lagi terikat legalitas yang lunglai,” katanya garang[7]. 

Pesan yang tersirat jelas: militer AS di bawah komando politik saat ini didorong mengedepankan postur pre-emptive strike (pukul dulu) dan overt aggression sebagai bagian dari manajemen pertahanannya. 

Langkah rebranding ini bukan sekadar urusan kosmetik nama, melainkan cerminan perubahan strategi pertahanan. Dari segi sejarah, Departemen Pertahanan AS dibentuk pada 1949 dengan semangat mencegah perang di era senjata nuklir[8].  

Kini, dengan menghidupkan kembali semangat Departemen Perang, Washington secara simbolis mengakui bahwa fungsi militer mereka bukan lagi sekadar penjaga keamanan (satpam) dunia, tetapi juga petarung aktif yang siap melancarkan serangan terhadap musuh-musuhnya.

Kebijakan ini sejalan dengan langkah-langkah Trump sebelumnya, seperti parade militer besar-besaran di Washington dan pembatalan kebijakan penggantian nama pangkalan militer yang dianggap terlalu “politik benar”[9][10]. 

Semua ini menandakan pergeseran budaya strategis menuju penekanan pada kekuatan militer ofensif (“warrior ethos” menurut Hegseth[4]). 

Bagi komunitas internasional, perubahan sikap AS ini menimbulkan pertanyaan serius. Jika sang “polisi dunia” kini bergaya bak “preman”, siapa yang akan menjamin ketertiban global? Selama ini, meski sering dikritik, peran AS sebagai hegemon dianggap menstabilkan melalui aliansi dan deterrence.

Namun ketika retorika resmi Pentagon berubah menjadi “Departemen Perang”, kekhawatiran muncul bahwa pendekatan militeristik akan makin dominan.  

Diplomasi dan jalur damai bisa terpinggirkan oleh logika “menang perang” yang dikedepankan. Negara-negara lain tentu akan membaca sinyal ini dan mungkin terpacu mengikuti jejak memperkuat postur militer masing-masing. Risiko perlombaan senjata dan eskalasi konflik pun meningkat.
Dampak Global: Perlombaan Senjata di Eropa hingga Asia 

Langkah AS tersebut datang di tengah trek global yang memang sudah menuju peningkatan tajam belanja militer. Menurut data terbaru SIPRI, belanja militer dunia tahun 2024 mencapai rekor US$2,718 triliun – naik 9,4 persen dari tahun sebelumnya dan merupakan kenaikan tertinggi sejak akhir Perang Dingin[11].  

Kenaikan drastis ini terjadi merata di semua kawasan, dipicu oleh berbagai krisis keamanan. Di Eropa, perang di Ukrainamemasuki tahun ketiga telah mendorong lonjakan anggaran pertahanan banyak negara. Belanja militer di Eropa (termasuk Rusia) naik 17 persen pada 2024, melewati level tertinggi di era akhir Perang Dingin[12][13]. 

Jerman misalnya, meningkatkan anggaran militernya 28 persen menjadi US$88,5 miliar pada 2024, terbesar di Eropa Barat, sebagai bagian dari dana khusus €100 miliar pascainvasi Rusia ke Ukraina[13]. 

Amerika Serikat sendiri tetap menjadi negara dengan pengeluaran militer terbesar di dunia, jauh melampaui yang lain. Tahun 2024, anggaran militer AS mencapai sekitar US$997 miliar(sekitar 37?ri total belanja militer global)[14].  

Porsi ini bahkan setara 66?ri seluruh belanja militer NATO[14]. Anggaran raksasa tersebut tidak hanya besar secara nominal, namun juga mencerminkan prioritas baru: sebagian besar dana difokuskan untuk memodernisasi kemampuan militer dan arsenal nuklir AS demi menjaga keunggulan strategis atas Rusia dan China[14][15].  

Dengan kata lain, Washington tengah mempersiapkan diri untuk kompetisi kekuatan besar (great power competition) secara frontal.

Tren serupa terjadi di belahan dunia lain. China, sebagai kekuatan militer terbesar kedua, terus menaikkan bujet pertahanannya secara signifikan. Pada 2024, Tiongkok mengalokasikan sekitar US$314 miliar untuk militernya, meningkat 7 persen dibanding tahun sebelumnya – menandai hampir 30 tahun kenaikan berturut-turut[16].  

Belanja China kini mencakup separuh dari total belanja militer di kawasan Asia & Oseania[16]. Peningkatan kapasitas militer Beijing (termasuk modernisasi PLA, penguatan siber dan nuklirnya) telah memicu reaksi berantai di antara negara-negara tetangganya. Jepang, yang selama ini relatif membatasi militer pasca Perang Dunia II, merasa terancam dan mulai meninggalkan sikap pasifnya.  

Tahun 2024, Jepang melonjakkan belanja militernya 21 persen hingga mencapai ~US$55 miliar, kenaikan terbesar sejak 1952[17]. Demikian pula Taiwan meningkatkan anggaran pertahanannya sekitar 1,8% menjadi US$16,5 miliar pada 2024, melanjutkan tren peningkatan dua digit di tahun-tahun sebelumnya[18].  

Bahkan negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Filipinadilaporkan giat memodernisasi alutsista menghadapi ketegangan Laut Cina Selatan (meski data kuantitatifnya tak sebesar para raksasa). 

Para peneliti pertahanan memperingatkan bahwa situasi ini berpotensi menciptakan spiral perlombaan senjata yang berbahaya, di mana aksi satu negara memicu reaksi negara lain secara berkelanjutan.  

“Negara-negara besar di Asia-Pasifik menggelontorkan sumber daya pada kemampuan militer canggih; dengan berbagai sengketa yang belum terselesaikan dan tensi yang meningkat, investasi ini berisiko menyeret kawasan pada spiral perlombaan senjata yang membahayakan,” ujar Nan Tian, peneliti senior SIPRI, dalam laporan tahunannya[19].  

Hal senada disampaikan SIPRI untuk level global: pemerintah di seluruh dunia kini memprioritaskan keamanan militer, namun risiko jangka panjangnya adalah spiral aksi-reaksiyang bisa mengganggu stabilitas internasional[20].  

Artinya, langkah AS mengedepankan “Department of War” dikhawatirkan akan mendorong negara lain kian agresif, mempercepat laju perlombaan senjata yang sudah panas baik di Eropa, Timur Tengah, maupun Indo-Pasifik. 

Implikasi Regional dan Indonesia

Di tingkat regional Asia-Pasifik, dampak perubahan postur pertahanan AS ini sangat relevan. Kawasan kita sudah menjadi ajang rivalitas strategis antara AS dan China.

Kebijakan Pentagon yang lebih agresif bisa berarti peningkatan aktivitas militer AS di sekitar kita: misalnya patroli “kebebasan navigasi” di Laut China Selatan yang lebih gencar, pengerahan aset tempur canggih ke pangkalan di Pasifik Barat, dan dorongan bagi sekutu-sekutu AS di Asia (Jepang, Korea Selatan, Australia) untuk lebih aktif secara militer.  

Ini bisa memanaskan suhu keamanan regional. Bagi China, retorika Department of War tentu akan dilihat sebagai ancaman langsung, sehingga Beijing mungkin semakin mempercepat ekspansi militernya.

Kita bisa membayangkan dinamika aksi-reaksi antara dua raksasa ini terjadi di halaman belakang Asia: Semakin AS unjuk kekuatan, semakin China merasa perlu unjuk gigi, dan sebaliknya. Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, berisiko terhimpit di tengah tarikan kepentingan dua kubu tersebut. 

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di ASEAN tidak kebal terhadap dinamika ini. Selama ini, posisi Indonesia dikenal menganut politik luar negeri bebas-aktif, menghindari aliansi militer formal dengan blok mana pun.

Namun, di tengah meningkatnya ketegangan global dan regional, tekanan bagi Indonesia untuk memperkuat pertahanannya sendiri makin besar. Data SIPRI menunjukkan bahwa dalam sedekade terakhir, belanja pertahanan Indonesia (baik per kapita maupun proporsi terhadap PDB) tergolong terendah di antara enam ekonomi berkembang utama di Asia Tenggara[21].  

Ini berarti kapasitas militer kita relatif tertinggal dibanding, misalnya, Singapura, Malaysia, atau Vietnam, apalagi jika dibandingkan kekuatan militer besar Asia. Alutsista TNI banyak yang sudah menua, dan program modernisasi Minimum Essential Force (MEF) kita beberapa kali tersendat pendanaan. 

Menyadari hal itu, pemerintah Indonesia belakangan mulai mengambil langkah nyata untuk mengejar ketertinggalan. Menjelang akhir 2023, Presiden Joko Widodo menyetujui kenaikan anggaran pertahanan hingga 20% untuk tahun 2024, sebuah lonjakan signifikan demi mempercepat upgrade hardware militer seiring perkembangan geopolitik[22][23].  

Dengan kenaikan ini, bugdet pertahanan naik dari sekitar $20,7 miliar menjadi $25 miliar[24]. Menkeu Sri Mulyani menyatakan tambahan anggaran ini diperlukan mengingat kondisi alutsista Indonesia yang banyak uzur serta meningkatnya ancaman di tengah dinamika geo-politik dan geo-keamanan yang kian kompleks[25].  

Meski demikian, ia menambahkan bahwa total belanja militer untuk periode 2020-2034 diproyeksikan sekitar $55 miliar, masih sesuai rencana jangka panjang fiskal[26].

Artinya, pemerintah berusaha menaikkan kemampuan militer namun tetap menjaga keseimbangan dengan kemampuan ekonomi. Perlu dicatat, sebagian pendanaan modernisasi ini akan mengandalkan pinjaman luar negeri[27], yang mengindikasikan adanya batas fiskal yang dihadapi. 

Di bawah koordinasi Menteri Pertahanan waktu itu bapak Prabowo Subianto, Indonesia mulai menandatangani sejumlah kontrak pembelian alat utama sistem senjata (alutsista) strategis. Misalnya, akuisisi 42 jet tempur Rafale dari Prancis senilai US$8,1 miliar, pembelian 12 UAV tempur dari Turki senilai $300 juta, serta 12 jet Mirage 2000-5 bekas seharga $800 juta[28].  

Indonesia juga sepakat membeli pesawat angkut dan helikopter dari Boeing dan Lockheed Martin (AS), serta kapal penyelamat kapal selam dari Inggris[29]. Langkah-langkah ini menandakan keseriusan pemerintah memperkuat TNI.

Meski demikian, belanja besar ini tentu saja harus diimbangi manajemen pertahanan yang baik serta strategi yang jelas agar bisa menjamin deterrence effect berjalan efektif.

Apalagi, lingkungan keamanan regional begitu dinamis, misalnya potensi konflik di Laut Natuna Utara, sengketa di Laut Cina Selatan, ancaman terorisme maritim, hingga proxy war dan artificial intelligence, serta kekuatan besar di kawasan. Indonesia dituntut sigap dan cermat menyikapi setiap perkembangan. 

Rekomendasi Kebijakan untuk Indonesia
Menghadapi bayang-bayang “Department of War” dan perlombaan senjata global-regional, Indonesia perlu melakukan penyesuaian strategis dalam manajemen pertahanan nasional.  

Beberapa langkah kebijakan yang dapat dipertimbangkan antara lain: 

1. Memperkuat Deterrence dan Postur Pertahanan 

Indonesia perlu meningkatkan daya tangkal militer yang kredibel. Kenaikan anggaran pertahanan sudah dicanangkan hingga $25 miliar[24]; yang krusial adalah alokasi efektif untuk modernisasi alutsista yang paling dibutuhkan (misal: sistem pertahanan udara berlapis, kapal patroli maritim canggih, pertahanan bawah laut, pesawat tempur multiguna, dan teknologi cyber warfare).

Program Minimum Essential Force harus dilanjutkan dan dituntaskan dengan skala prioritas yang jelas dan terukur, agar TNI mampu mengamankan kedaulatan wilayah dari ancaman aktual maupun potensial. 

2. Peningkatan Kemandirian Industri Pertahanan

Di tengah ketidakpastian pasokan global (terutama jika rivalitas memburuk, akses alutsista bisa dipolitisasi), Indonesia wajib mendorong kemandirian industri pertahanan.

Ini mencakup alih teknologi dari pembelian alutsista (offset), peningkatan kapasitas BUMN strategis seperti PT Pindad, PAL, DI, serta kolaborasi riset dengan mitra internasional. Dengan industri pertahanan lebih mandiri, Indonesia dapat memastikan kesiapan militer tanpa terlalu bergantung pada negara lain yang sikapnya bisa berubah sesuai kepentingan mereka. 

3. Diplomasi Pertahanan dan Netralitas Aktif

Menyikapi rivalitas AS–China, Indonesia harus lincah dalam diplomasi. Prinsip politik luar negeri bebas-aktif harus diterjemahkan dalam tindakan konkret: memperkuat kerjasama keamanan regional di bawah payung ASEAN (misalnya lewat ADMM dan ADMM-Plus untuk dialog pertahanan), mendorong Kode Etik Laut China Selatanagar segera terwujud, serta meningkatkan interaksi dengan semua kekuatan besar secara berimbang. Indonesia sebaiknya menghindari terseret ke blok militer mana pun, namun tetap proaktif menawarkan diri sebagai bridge builder dan honest broker dalam sengketa internasional. Inisiatif diplomasi pertahanan seperti latihan militer bersama multilateral, pertukaran perwira, maupun mediasi konflik regional akan meneguhkan posisi Indonesia sebagai pemimpin yang berpengaruh di ASEAN. 

4. Reformasi Manajemen Pertahanan

Di tingkat domestik, perbaikan tata kelola pertahanan tak kalah penting. Integrasi tri-matra (darat, laut, udara) dalam perencanaan strategis harus ditingkatkan agar tercapai sinergi optimal di lapangan.

Penguatan peran Kementerian Pertahanan dalam perumusan kebijakan jangka panjang, didukung koordinasi intelijen yang solid (BAIS, BIN), akan memastikan respon ancaman yang cepat dan tepat. Transparansi anggaran dan akuntabilitas pengadaan wajib dijaga untuk mencegah inefisiensi atau korupsi yang melemahkan pertahanan. Selain itu, pembangunan pertahanan nirmiliter (ketahanan siber, energi, pangan, dan infrastruktur vital) perlu mendapat porsi dalam manajemen pertahanan menyeluruh, mengingat perang masa kini juga menyasar domain non-fisik. 

5. Peningkatan Kemampuan Aliansi Strategis

Walau Indonesia tidak bersekutu secara resmi, membuka opsi kerjasama strategis terbatas dapat menguntungkan. Misalnya, memperdalam latihan bersama dengan negara-negara sahabat, partisipasi aktif dalam operasi penjaga perdamaian PBB, dan menjajaki perjanjian keamanan non-aliansi (seperti strategic partnershipdengan negara netral lainnya).

Tujuannya bukan mengikat Indonesia ke pakta pertahanan, tetapi untuk memperluas akses informasi, teknologi, dan dukungan internasional saat dibutuhkan. Dengan jejaring pertahanan yang luas namun fleksibel, Indonesia dapat lebih percaya diri menghadapi situasi krisis tanpa harus bergantung pada satu negara adidaya. 

Penutup 

Dunia tengah memasuki era baru yang penuh ketidakpastian, di mana retorika perang kembali mengemuka bahkan di jantung negara yang paling berpengaruh. Keputusan Presiden AS mengubah Departemen Pertahanan menjadi Departemen Perangadalah penanda zaman bahwa pendekatan keras dan militeristik kian mendominasi.

Bagi Indonesia, perkembangan ini bagai dua sisi mata uang: di satu sisi, bisa berarti situasi keamanan global makin rawan dan menuntut kesiagaan ekstra; di sisi lain, membuka kesempatan bagi kita untuk unjuk peran sebagai penyeimbang yang mengutamakan perdamaian.
Indonesia perlu membaca perubahan ini dengan seksama dan merespons dengan strategi yang tepat.

Manajemen pertahanankita harus sigap beradaptasi – memperkuat kemampuan militer dan deterrence nasional, sekaligus menjalankan diplomasi cerdas guna mencegah konflik terbuka di kawasan. Ibarat pepatah, si vis pacem, para bellum – jika menginginkan damai, bersiaplah untuk perang.  

Artinya, dengan kekuatan pertahanan yang tangguh dan pengelolaan strategis yang lincah, Indonesia dapat mencegah perang itu sendiri. Kita harus menjadi satpamyang sigap dan disegani, tanpa perlu berubah menjadi preman. Ketika guncangan datang, negeri ini akan berdiri kokoh melindungi kepentingan nasionalnya, sembari terus menyerukan perdamaian dan stabilitas bagi tatanan dunia yang lebih aman. 

Referensi:
• Stewart, Phil. “Trump orders return to the US 'War Department'.” Reuters, 5 Sept 2025[1][7].
• Barrow, Bill. “Trump’s push to change Department of Defense to 'War Department'...” AP News, 5 Sept 2025[2][3].
• Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI). “World military expenditure reaches $2718 billion in 2024...” Press Release, 28 April 2025[11][14].
• SIPRI. “Global military spending surges amid war, rising tensions...” Press Release, 22 April 2024[20][30].
• SIPRI. “Trends in World Military Expenditure, 2024.” Fact Sheet, April 2025[16][19].
• Reuters. “Indonesia approves 20% rise in defence budget by 2024.” 30 Nov 2023[24][21].
• Reuters. “Trump says 2026 G20 summit will be held at his Miami golf club.” 6 Sept 2025[31][32]. (Sebagai konteks pernyataan ofensif Trump).
 
[1] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [31] [32] Trump orders return to the US 'War Department' | Reuters
https://www.reuters.com/world/us/trump-orders-return-us-war-department-2025-09-05/
[2] [3] Trump's push to change Department of Defense to 'War Department' would turn back the clock to WWII
https://www.wral.com/story/trumps-push-to-change-department-of-defense-to-war-department-would-turn-back-the-clock-to-wwii/22146687/
[11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] Unprecedented rise in global military expenditure as European and Middle East spending surges | SIPRI
https://www.sipri.org/media/press-release/2025/unprecedented-rise-global-military-expenditure-european-and-middle-east-spending-surges
[20] [30] Global military spending surges amid war, rising tensions and insecurity | SIPRI
https://www.sipri.org/media/press-release/2024/global-military-spending-surges-amid-war-rising-tensions-and-insecurity
[21] [22] [23] [24] [25] [26] [27] [28] [29] Indonesia approves rise of 20% in defence spending through 2024 | Reuters
https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesia-approves-20-rise-defence-budget-by-2024-2023-11-30/

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan