Konflik Palestina Vs Israel
Menanggapi Trump, Hamas: Nyawa Sandera Israel Ada di Tangan Netanyahu
Menanggapi pernyataan Presiden AS Trump soal pemindahan sandera Israel, Hamas sebut nasib nyawa sandera Israel ada di tangan PM Israel Netanyahu.
Penulis:
Yunita Rahmayanti
Editor:
Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Kelompok Palestina, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), menanggapi pernyataan sekutu Israel, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, yang menuduh kelompok tersebut menggunakan para tahanan Israel sebagai perisai manusia terhadap serangan Israel.
Hamas menganggap pernyataan Trump sebagai bias terang-terangan terhadap propaganda Israel.
"Pernyataan presiden AS mengenai serangan tentara pendudukan di Gaza dan kondisi tahanan Zionis merupakan bias yang jelas terhadap propaganda Zionis (Israel)," kata Hamas dalam pernyataannya pada Selasa (16/9/2025) pagi.
Hamas menekankan pernyataan Trump mengenai serangan tentara pendudukan Israel di Jalur Gaza merupakan standar ganda yang mengabaikan kejahatan pembersihan etnis dan kematian sekitar 65.000 warga sipil tak berdosa di Jalur Gaza, yang sebagian besar adalah wanita dan anak-anak.
"Pemerintah AS tahu bahwa penjahat perang (Perdana Menteri Israel) Benjamin Netanyahu sedang berupaya menghancurkan semua peluang tercapainya kesepakatan yang berujung pada pembebasan tahanan," kata Hamas.
Hamas mengatakan Netanyahu juga berupaya untuk menggagalkan kesepakatan yang dapat mengakhiri perang genosida di Jalur Gaza.
"Pemerintah AS tahu bahwa Netanyahu sedang menghancurkan semua peluang tercapainya kesepakatan yang akan mengakhiri perang brutal pemusnahan di Jalur Gaza," lanjutnya.
Hamas yakin AS tahu bahwa Netanyahu sedang menyabotase peluang tercapainya kesepakatan, yang terbaru melalui upaya pembunuhan delegasi negosiasinya saat mereka sedang membahas proposal yang diajukan Trump.
Serangan tersebut diluncurkan ke Doha, Qatar, pada 9 September lalu, yang menargetkan para pemimpin Hamas.
Hamas menganggap Washington bertanggung jawab atas peningkatan perang pemusnahan yang brutal melalui dukungan dan kebijakan penipuannya untuk menutupi kejahatan perang pendudukan.
"Nasib para tahanan tentara pendudukan di Jalur Gaza ditentukan oleh pemerintahan teroris Netanyahu," kata Hamas, seraya menambahkan, "Penjahat perang Netanyahu bertanggung jawab penuh atas nyawa para tahanannya di Jalur Gaza."
Baca juga: 79 Negara Anggota Liga Arab dan OKI Bersatu di Doha, Kecam Serangan Israel ke Qatar
Hamas menegaskan bahwa penghancuran sistematis dan kampanye genosida yang dilancarkan Israel terhadap Kota Gaza juga mengancam nyawa para tentara Israel yang ditangkap, lapor Al Jazeera.
Pernyataan Trump Terhadap Hamas
Pada hari Senin, Trump menulis dalam pernyataannya bahwa ia menuduh Hamas menggunakan para tahanan Israel sebagai perisai manusia.
"Saya baru saja membaca laporan berita bahwa Hamas telah memindahkan para sandera ke luar negeri untuk digunakan sebagai perisai manusia melawan serangan darat Israel. Saya harap para pemimpin Hamas memahami apa yang akan mereka hadapi jika mereka melakukan hal seperti itu," tulisnya di media sosial Truth Social pada hari Senin.
Presiden AS itu menggambarkannya sebagai kekejaman kemanusiaan yang jarang kita lihat sebelumnya.
Dalam pernyataannya, Trump mendesak Hamas untuk tidak membiarkan hal ini terjadi, atau semua taruhan akan batal.
Ia juga mendesak Hamas untuk segera membebaskan semua tahanan.
Hal ini terjadi setelah Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio menyatakan harapannya pada hari Senin bahwa Qatar akan terus memainkan peran yang konstruktif dan positif dalam mengakhiri perang di Gaza.
Ia juga memberi tahu para pejabat senior Israel bahwa kunjungannya ke Qatar, yang dijadwalkan pada hari Selasa, bertujuan untuk melanjutkan negosiasi.
"Kami berharap Qatar dan negara-negara Teluk lainnya akan berkontribusi secara konstruktif untuk mengakhiri perang ini, yang merupakan kepentingan terbaik mereka sendiri," kata Marco Rubio, yang melanjutkan kunjungan ke Israel yang dimulai pada hari Minggu (14/9/2025).
Dalam konferensi persnya, Marco Rubio mengisyaratkan penolakan AS terhadap rencana negara-negara yang ingin mengakui negara Palestina di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
"Pengakuan ini tidak membawa kita lebih dekat pada pembentukan Negara Palestina," katanya pada hari Minggu, seperti diberitakan Sky News.
Menurut pernyataan itu, masa depan Palestina terutama Jalur Gaza tidak dapat dicapai selama masih ada Hamas.
Sementara itu Netanyahu mengakui serangan Israel terhadap Qatar adalah keputusan Israel, dalam upaya menepis desas-desus mengenai keterlibatan AS.
Ia mengklaim serangan Israel yang menargetkan pemimpin Hamas di Doha, Qatar, tidak gagal dan Israe sedang menunggu hasilnya.
Perdana Menteri Israel juga mengatakan Israel menargetkan gedung-gedung tinggi di Kota Gaza dan menuduh Hamas menggunakan bangunan tersebut sebagai benteng.
Mengenai perluasan operasi darat untuk menduduki Kota Gaza, Netanyahu menyerukan kepada warga Palestina untuk segera pergi dari kota itu.
Update Serangan Israel di Jalur Gaza
Sejak Oktober 2023, serangan Israel telah menewaskan setidaknya 64.905 warga Palestina dan melukai lebih dari 164.926 orang, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza pada hari Senin.
Selain itu, lebih dari 2.497 orang tewas dan 18.182 lainnya terluka ketika berusaha mencari bantuan sejak 27 Mei. Akibat blokade bantuan, 425 orang meninggal karena kelaparan, termasuk 145 anak-anak, berdasarkan laporan Anadolu Agency.
Israel terus melakukan serangan udara dan darat di Jalur Gaza dan menyalahkan Hamas, yang pada 7 Oktober 2023 meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa dengan menyerang Israel selatan dan menawan sekitar 250 orang.
Menurut Hamas, aksi itu adalah bentuk perlawanan atas pendudukan Israel di tanah Palestina sejak 1948 dan upaya perebutan kompleks Masjid Al-Aqsa.
Sejak akhir 2023 hingga awal 2025 sempat terjadi beberapa kali pertukaran tahanan, tetapi Israel menyebut masih ada sekitar 50 sandera yang ditahan di Gaza.
Sebagai balasan, Israel menutup seluruh akses ke Jalur Gaza dan menggempur wilayah itu tanpa henti, membuat banyak warga mengungsi.
Untuk meredakan krisis dan kecaman internasional, pada Mei 2025 Israel dan AS membentuk Gaza Humanitarian Foundation (GHF) untuk menyalurkan bantuan di beberapa wilayah Gaza, seperti Rafah, Khan Younis, dan Wadi Gaza.
Namun, tentara Israel dilaporkan menyerang warga yang sedang mengantre bantuan di pos GHF.
Awal September, Israel melancarkan operasi besar untuk merebut Kota Gaza, yang dianggap sebagai basis pertahanan Hamas.
Serangan juga diperluas ke luar negeri, termasuk membom sebuah gedung di Qatar yang dituduh sebagai markas Hamas.
Para pemimpin Hamas selamat, tetapi enam orang tewas, termasuk lima warga sipil dan seorang petugas keamanan Qatar.
Sementara itu, mediator Qatar dan Mesir masih berupaya untuk menengahi Israel dan Hamas untuk mencapai kesepakatan yang diharapkan dapat mengakhiri perang genosida di Jalur Gaza.
Hamas tetap dengan tuntutan awalnya meski serangan dan tekanan, serta tidak ada indikasi bahwa mereka akan melemahkan posisi mereka.
Menurut laporan Reuters dan Al Jazeera, Hamas menuntut kesepakatan untuk gencatan senjata permanen, penarikan pasukan Israel dari Gaza, pertukaran sandera Israel dengan ribuan tahanan Palestina, penyaluran bantuan kemanusiaan tanpa hambatan, rekonstruksi Jalur Gaza, serta jaminan politik dan keamanan.
Sementara Israel masih bersikukuh pada syarat penyerahan senjata dan pembebasan sandera secara penuh, dan menganggap pemimpin Hamas di Qatar sebagai target atau hambatan.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.