Seminggu Menjabat, PM Baru Jepang Ajak AS Teken Kesepakatan Mineral Tanah Jarang Miliaran Dolar
PM Jepang Sanae Takaichi teken kesepakatan 550 miliar dolar AS dengan Trump untuk kerja sama mineral tanah jarang dan energi nuklir.
Ringkasan Berita:
- Seminggu menjabat, PM Jepang Sanae Takaichi meneken kesepakatan strategis senilai 550 miliar dolar AS dengan Presiden AS Donald Trump.
- Jepang dan AS sepakat membangun pasar tanah jarang dan reaktor nuklir generasi baru, guna mengamankan pasokan bahan penting untuk teknologi dan energi global.
- Kesepakatan ini menjadi langkah nyata kedua negara untuk mengurangi ketergantungan pada China yang masih menguasai lebih dari 90 persen pemrosesan tanah jarang dunia.
TRIBUNNEWS.COM - Sepekan setelah resmi menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi langsung membuat gebrakan besar di panggung internasional.
Terbaru Takaichi secara resmi menandatangani kesepakatan kerja sama strategis senilai 550 miliar dolar AS dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa (28/10/2025) di Istana Akasaka, Tokyo.
Penandatanganan yang berlangsung megah di bawah lampu gantung berlapis emas itu menjadi simbol kemitraan baru antara dua kekuatan ekonomi dunia.
Dengan adanya perjanjian baru ini, Jepang dan AS sepakat untuk membangun pasar tanah jarang yang mandiri dan berkelanjutan.
Menjadi langkah strategis kedua negara dalam mengamankan pasokan tanah jarang (rare earth elements), bahan penting yang digunakan untuk pembuatan mobil listrik, turbin angin, hingga pesawat tempur.
Mengingat tanah jarang selama ini menjadi isu sensitif dalam rantai pasok global. Karena itu, kendali atas pasokan dan pemrosesan mineral langka ini menjadi faktor strategis dalam persaingan ekonomi dan geopolitik dunia.
“Kerja sama ini bukan hanya soal investasi ekonomi, tetapi tentang masa depan energi dan keamanan global,” ujar Takaichi dalam konferensi pers setelah penandatanganan, mengutip dari Al Jazeera.
Dalam dokumen kerjasama, kedua negara juga menyatakan minat bersama untuk mengembangkan reaktor tenaga nuklir generasi baru dan reaktor modular kecil (SMR).
Rencananya proyek ini akan melibatkan sejumlah perusahaan besar seperti Mitsubishi Heavy Industries dan Toshiba Group.
Langkah ini dinilai sebagai sinyal kuat bahwa Jepang siap kembali memainkan peran utama dalam industri energi global setelah bencana Fukushima pada 2011 yang sempat memukul reputasi tenaga nuklirnya.
Bagi Jepang, kesepakatan dengan AS menjadi peluang untuk mengembalikan perannya di pasar ekspor teknologi nuklir.
Baca juga: PM Jepang Sanjung Trump, Sebut Pemimpin AS Layak Dapat Hadiah Nobel Perdamaian
Takaichi menegaskan bahwa kerja sama tersebut merupakan bagian dari strategi nasional Jepang dalam mengembangkan energi bersih dan memperkuat keamanan energi.
Sementra Trump dalam sambutannya menegaskan bahwa kerja sama ini merupakan langkah nyata Amerika Serikat untuk memperkuat posisi ekonominya dan mengurangi dominasi China di sektor teknologi tinggi.
“Kita tidak bisa membiarkan satu negara mengendalikan pasokan bahan penting dunia. Kesepakatan ini adalah awal dari era baru kerjasama strategis antara Amerika Serikat dan Jepang,” ujar Trump.
Jepang Siap Saingi Dominasi China di Pasar Mineral Global
Selama lebih dari dua dekade, China mendominasi pasar tanah jarang global. Negara itu mengendalikan sekitar 60 persen produksi dan lebih dari 90 persen proses pemurnian logam tanah jarang dunia.
Dominasi ini membuat banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa, bergantung pada ekspor dari Beijing untuk kebutuhan industri teknologi tinggi mereka.
Ketergantungan tersebut menjadi sumber kekhawatiran besar karena China kerap menggunakan kontrol ekspor tanah jarang sebagai alat tekanan politik dan ekonomi.
Sejumlah pembatasan ekspor yang diberlakukan Beijing dalam beberapa tahun terakhir memicu ketegangan global, terutama di tengah meningkatnya rivalitas dengan Washington.
Situasi ini mendorong negara-negara lain mencari alternatif pasokan dan memperkuat kerja sama strategis di sektor mineral penting.
Tanah jarang sendiri bukan berarti langka secara geologis, namun sulit dan mahal untuk di ekstraksi serta diproses secara efisien.
Proses pengolahannya memerlukan teknologi tinggi dan menghasilkan limbah berbahaya, yang membuat banyak negara enggan membangun fasilitas pengolahan sendiri.
Akibatnya, kapasitas pemrosesan global terkonsentrasi di China, yang selama ini berani menanggung dampak lingkungan demi menjaga dominasinya di pasar global.
Amerika Serikat dan sekutunya menilai ketergantungan pada satu negara sebagai risiko strategis yang dapat mengancam stabilitas industri global.
Upaya diversifikasi pasokan pun terus dilakukan, termasuk melalui investasi besar-besaran di sektor pertambangan dan pembangunan fasilitas pengolahan baru di Australia, Kanada, dan Asia Tenggara.
Jepang menjadi salah satu negara yang paling aktif mencari sumber alternatif untuk mengamankan kebutuhan industrinya.
Langkah strategis Jepang dianggap penting sebagai bagian dari upaya global untuk menciptakan rantai pasok yang lebih beragam dan aman. Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik, isu tanah jarang bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal kedaulatan energi dan teknologi masa depan
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.