Konflik Palestina Vs Israel
Bocoran Rencana AS: Gaza Dipecah Jadi Zona Hijau dan Merah, Warga Terperangkap di Tengah Krisis
Di balik rencana AS membagi Gaza jadi zona hijau–merah, jutaan warga masih hidup di reruntuhan. Krisis memburuk, masa depan Gaza makin tak menentu
Ringkasan Berita:
- AS merancang pembagian Gaza menjadi zona hijau yang diawasi internasional dan Israel, serta zona merah yang hancur total dan menampung hampir seluruh warga Palestina tanpa rencana rekonstruksi jelas.
- Pengamat menilai langkah ini lebih teknis daripada politis, menimbulkan kecurigaan rekayasa demografis bukan menuju penyelesaian konflik.
- Di lapangan, krisis kemanusiaan memburuk: 80 persen bangunan hancur, bantuan dibatasi, dan lebih dari dua juta warga terjebak di zona merah dalam kondisi ekstrem.
TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat diam-diam tengah mematangkan rencana kontroversial untuk membagi Jalur Gaza menjadi dua wilayah besar.
Yakni zona hijau yang akan menjadi pusat kendali keamanan internasional dan Israel.
Di area inilah pasukan stabilisasi internasional akan ditempatkan, rekonstruksi akan dimulai, dan layanan dasar coba dibangun kembali.
Zona hijau diproyeksikan sebagai area “dapat dihuni” yang aman, sehingga menjadi wilayah pertama yang diperbaiki untuk menarik kembali warga Palestina agar mau pindah ke area yang dianggap lebih stabil dan mudah diawasi
Kemudian ada zona merah yang merupakan area yang saat ini hancur total dan dihuni hampir seluruh warga Palestina.
Tidak ada rencana besar yang dipersiapkan AS untuk membangun ulang wilayah ini, sehingga warga Palestina di zona merah dipaksa hidup dalam kondisi darurat, menunggu keputusan politik yang belum jelas.
Sebagai pemisah antara zona hijau dan merah, AS rencananya bakal menciptakan garis kuning, batas pemisah yang saat ini dikuasai penuh oleh militer Israel.
Rencana ini muncul setelah perang dua tahun yang menghancurkan sebagian besar infrastruktur Gaza dan memaksa lebih dari dua juta warga Palestina mengungsi ke wilayah pesisir yang kini disebut sebagai zona merah.
Rencana AS Timbulkan Pertanyaan
Namun mengutip dari The Guardian, banyak pengamat menilai Washington tampaknya tidak benar-benar memprioritaskan penyelesaian politik menyeluruh untuk Gaza.
Pembagian zona ini dipandang sebagai langkah teknis untuk menstabilkan wilayah, bukan strategi yang diarahkan pada perdamaian jangka panjang atau pemerintahan sipil yang utuh.
Baca juga: Indonesia akan Kirim 20 Ribu Prajurit TNI ke Gaza, TB Hasanuddin Ingatkan Hukum Internasional
Rencana rekonstruksi yang terfokus pada zona hijau semakin memperkuat keraguan tersebut.
AS menyiapkan pembangunan sekolah, rumah, dan fasilitas medis hanya di wilayah yang akan diawasi pasukan internasional dan Israel, dengan harapan warga Palestina akan secara sukarela pindah dari zona merah yang hancur.
Namun, kritik muncul karena pendekatan ini dianggap menyerupai kebijakan di Baghdad dan Kabul, dimana zona hijau menjadi wilayah terisolasi yang tidak mampu memulihkan kehidupan masyarakat secara menyeluruh.
Dalam konteks Gaza, strategi serupa dianggap berisiko menciptakan pemisahan permanen yang semakin memperkecil ruang bagi warga Palestina untuk menentukan nasib sendiri.
Para pengamat juga memperingatkan ajakan pindah ke zona hijau dapat memicu tuduhan rekayasa demografis, terutama setelah PBB menyoroti dampak penghancuran besar-besaran di Gaza sebagai potensi tindakan genosida.
Dengan hampir seluruh penduduk terjebak di zona merah dan tidak adanya rencana pembangunan bagi wilayah tersebut.
Banyak pihak menilai, kebijakan ini hanya memperpanjang ketidakpastian dan memperkuat pendudukan de facto, alih-alih mendorong perdamaian yang inklusif bagi seluruh warga Gaza.
Gaza Makin Memprihatinkan
Di tengah memanasnya isu pembagian wilayah, situasi di lapangan justru semakin memicu kekhawatiran komunitas internasional.
Lantaran krisis kemanusiaan di Gaza terus memburuk meski gencatan senjata telah berlangsung lebih dari sebulan.
Data PBB menunjukkan lebih dari 80 persen bangunan di wilayah itu telah rusak atau hancur, termasuk rumah sakit, sekolah, pusat evakuasi, dan infrastruktur penting yang selama ini menopang kebutuhan dasar warga.
Namun di tengah kehancuran tersebut, pembatasan yang diberlakukan Israel terhadap masuknya bantuan justru membuat kondisi semakin kritis.
Barang-barang sederhana seperti tiang tenda, bahan bangunan darurat, dan peralatan medis masih sulit masuk, membuat banyak keluarga tak mampu membangun tempat tinggal sementara yang layak.
Sekitar 1,5 juta warga Palestina juga masih menunggu distribusi bantuan yang memadai, sementara ratusan ribu lainnya bertahan hidup di tenda-tenda rapuh tanpa akses air bersih, listrik, atau layanan kesehatan dasar.
Situasi ini membuat hampir seluruh dari lebih dari dua juta penduduk Gaza berkumpul di area yang disebut zona merah, sebidang wilayah sempit di dekat garis pantai yang luasnya bahkan kurang dari separuh Gaza.
Kepadatan ekstrem, minimnya sanitasi, dan kurangnya fasilitas kesehatan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, sementara hujan musim dingin mengguyur kamp-kamp pengungsian yang tidak memiliki perlindungan memadai.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.