Senin, 24 November 2025

Anggaran Ekonomi Takaichi Membengkak, Depresiasi Yen Dikhawatirkan Memburuk

Paket ekonomi Takaichi membengkak akibat tekanan politik, picu kekhawatiran depresiasi yen dan gejolak pasar di tengah harga kebutuhan yang naik

Editor: Eko Sutriyanto
Tribunnews.com/Richard Susilo
PM Sanae Takaichi senyum kecil saat berada di sidang parlemen pemilihan PM Jepang yang baru. (Richard Susilo) 
Ringkasan Berita:
  • Paket ekonomi pemerintahan Takaichi membengkak hingga lebih dari 17 triliun yen akibat tekanan politik dan tambahan subsidi. 
  • Ekonom menilai kebijakan ini berlebihan dan dapat memperburuk depresiasi yen serta kondisi fiskal. 
  • Pasar merespons negatif dengan melemahnya yen dan naiknya suku bunga.

TRIBUNNEWS.COM, JEPANG - Langkah-langkah ekonomi yang diputuskan pemerintah Jepang dalam rapat kabinet 21 November berfokus pada upaya menahan laju kenaikan harga. 

“Kami akan melakukan mobilisasi fiskal strategis untuk melindungi nyawa rakyat,” tegas Perdana Menteri Sanae Takaichi, menekankan urgensi kebijakan tersebut.

Di permukaan, kebijakan ini tampak memberi harapan bagi masyarakat yang berjibaku menghadapi mahalnya biaya hidup.

Namun, seorang ekonom Jepang mengatakan kepada Tribunnews.com bahwa selama depresiasi yen—salah satu penyebab utama kenaikan harga—belum tertangani, efek kebijakan ini bisa justru menimbulkan dampak negatif.

Jika anggaran tambahan mencapai 21,3 triliun yen akibat tekanan politik, kekhawatiran terhadap memburuknya kondisi fiskal dapat memperdalam depresiasi yen.

Beberapa proyek dalam paket tersebut juga dinilai tidak mendesak dan dipertanyakan urgensinya.

Pemerintahan Takaichi sebelumnya menarik rencana pemberian tunjangan tunai 20.000–40.000 yen per orang yang dijanjikan pemerintahan Shigeru Ishiba pada pemilu majelis tinggi Juli 2025.

Baca juga: Airlangga dan Menteri Ekonomi Jepang Bahas Pelaksanaan Tiga Proyek Prioritas Transisi Energi

Hilangnya belanja sekitar 3 triliun yen dari kebijakan “baramaki” ini sempat memunculkan dugaan bahwa anggaran tambahan tidak akan jauh di atas 13,9 triliun yen pada tahun fiskal 2024.

Fakta di lapangan, Kementerian Keuangan telah menyiapkan draf sekitar 14 triliun yen pada akhir pekan lalu.

Namun jelang finalisasi, anggaran terus membengkak. Selain tekanan dari mitra koalisi Partai Restorasi Jepang, tambahan subsidi untuk tagihan listrik dan gas turut membuat total meningkat.

Ketidakmampuan LDP—yang kini berstatus partai minoritas—bersama Partai Restorasi menetapkan anggaran tanpa kompromi dengan partai lain juga mendorong perluasan paket kebijakan.

Pada 19 November, LDP menyetujui permintaan Partai Demokrat Konstitusional dan Komeito untuk memberikan tunjangan 20.000 yen per anak.

Hasilnya, belanja umum melonjak menjadi 17,7 triliun yen.

Pertanyaan pun muncul: apakah langkah sebesar ini memang diperlukan? 

Pada periode kedua pemerintahan Shinzo Abe, anggaran tambahan biasanya berada di kisaran 2–5 triliun yen. Pada 2020—tahun puncak pandemi—total anggaran darurat mencapai sekitar 73 triliun yen.

Sementara pada 2023, meski status COVID-19 sudah diturunkan ke Kategori 5, pemerintah tetap dikritik karena mengeluarkan 13 triliun yen. Kini, angka belanja bahkan melampaui itu.

Mantan Menteri Digital Taro Kono turut mengkritik melalui X (Twitter), menyebut adanya suara keras yang menuntut anggaran lebih besar meskipun kondisi saat ini bukan lagi situasi krisis.

Kritik atas Investasi dan Belanja Pertahanan

Di tengah lonjakan harga kebutuhan pokok, sebagian langkah ekonomi dinilai tidak mendesak, termasuk investasi manajemen krisis, peningkatan belanja pertahanan, dan beberapa proyek Dewan Strategi Pertumbuhan Jepang yang baru dibentuk.

Terkait belanja pertahanan, Kepala Sekretaris Kabinet Minoru Kihara mengungkapkan pada 18 November bahwa dari total 7,9496 triliun yen pada anggaran 2024, terdapat sekitar 110 miliar yen anggaran “tidak terpakai”.

Namun, PM Takaichi tetap mendorong percepatan target peningkatan anggaran pertahanan menjadi 2 persen dari PDB pada tahun fiskal 2027.

Dengan dukungan publik yang tinggi terhadap pemerintah dan partai berkuasa, spekulasi pembubaran parlemen pada Januari mendatang mulai mencuat. 

“Skalanya jauh lebih besar dari yang diperlukan, dan banyak kebijakan populer seperti subsidi harga dan tunjangan tinggi. Saya rasa pemerintah sadar betul momentum politik menjelang pemilu,” ujar sang ekonom.

Ia juga menilai aneh bahwa investasi jangka panjang dan belanja pertahanan ikut dimasukkan dan ditingkatkan dalam paket kebijakan jangka pendek ini.

Presiden Tiongkok Xi Jinping bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi di sela-sela Pertemuan Pemimpin Ekonomi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) ke-32 di Gyeongju, Korea Selatan, 31 Oktober 2025. /Youtube: DRM
Presiden Tiongkok Xi Jinping bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi di sela-sela Pertemuan Pemimpin Ekonomi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) ke-32 di Gyeongju, Korea Selatan, 31 Oktober 2025. /Youtube: DRM (Foto Tangkapan Layar)
Dampak ke Pasar: Yen Melemah, Suku Bunga dan Saham Bergejolak

Ketika rencana kebijakan diumumkan, suku bunga jangka panjang melonjak ke kisaran 1,8% pada 20 November akibat kekhawatiran kondisi fiskal. 

Yen pun melemah ke kisaran 157 yen per dolar AS. Pasar saham, yang sebelumnya menguat sejak Takaichi menjabat sebagai Presiden LDP, turut jatuh tajam pada 21 November.

“Kita nantikan saja bagaimana hasil akhirnya ketika langkah-langkah ini mulai diterapkan,” pungkas ekonom tersebut.

 Diskusi  perekonomian di Jepang dilakukan Pencinta Jepang gratis bergabung. Kirimkan nama alamat dan nomor whatsapp ke email: tkyjepang@gmail.com

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved