Minggu, 17 Agustus 2025

Cacar Api Masih Sering Disalahpahami, Waspadai Nyeri Saraf Jangka Panjang

Penyakit ini memiliki dampak serius yang bisa mengganggu kualitas hidup penderitanya.

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
kompas.com
Ilustras cacar. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Cacar api masih menjadi penyakit yang sering disalahartikan oleh masyarakat sebagai gangguan kulit biasa. 

Padahal, penyakit ini memiliki dampak serius yang bisa mengganggu kualitas hidup penderitanya, terutama karena nyeri saraf berkepanjangan yang ditimbulkannya.

Hal ini diungkapkan oleh Spesialis Dermatologi dan VenereologiDr. Frieda Sp.DVE. 

Baca juga: Mengenal Cacar Api, Penyakit Kulit yang Biasa Menyerang Kelompok Usia 50 Tahun ke Atas

Cacar api adalah penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster, virus yang sama dengan penyebab penyakit cacar air. 

Setelah seseorang pulih dari cacar air, virus ini tidak hilang sepenuhnya, melainkan bersembunyi di jaringan saraf dan dapat aktif kembali di kemudian hari, sehingga menyebabkan cacar api. 

"Virus ini ditularkan melalui kontak langsung dengan cairan lepuh dengan pasien yang sedang terinfeksi aktif,” jelasnya dalam Webinar Health Talk by Halodoc terkait fakta dan mitos cacar api, Selasa (17/6/2025).

Cacar api bisa muncul kembali saat sistem imun melemah, yang umumnya terjadi pada usia lanjut, penderita penyakit autoimun, atau mereka yang mengalami stres berat.

Gejalanya kerap tidak dikenali sejak awal—berupa rasa terbakar, kesemutan, atau nyeri di satu sisi tubuh, sebelum akhirnya muncul ruam dan lepuhan.


Namun yang sering luput dari perhatian adalah dampak jangka panjangnya. 


Salah satu komplikasi paling ditakuti adalah post herpetic neuralgia (PHN), yaitu nyeri saraf yang dapat menetap berbulan-bulan hingga bertahun-tahun bahkan setelah ruam hilang.


“Komplikasi yang paling ditakuti adalah Post Herpetic Neuralgia (PHN), yaitu nyeri saraf jangka panjang yang bisa berlangsung berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan permanen, setelah ruam cacar api sembuh,” terang dr. Frieda. 


Karena itu, pengobatan cacar api tidak bisa dilakukan sembarangan. 


Dibutuhkan pengobatan kombinasi, baik luar maupun dalam, serta konsultasi rutin dengan dokter spesialis.


“Pengobatan cacar api tidak cukup hanya dengan obat luar. Karena menyerang saraf, penyakit ini membutuhkan konsultasi intensif dengan dokter spesialis yang akan meresepkan pengobatan luar dan dalam,” tegasnya.

 


*Data Konsultasi Naik, Usia Muda Mulai Terserang*


Tren kesehatan menunjukkan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini. Namun, data juga mengungkap bahwa kelompok usia muda turut berisiko.


Dalam satu bulan, Halodoc mencatat rata-rata 1.000 konsultasi terkait penyakit cacar api. 


Menariknya, lebih dari 50 persen pasien berasal dari rentang usia 25–40 tahun—kelompok usia yang selama ini tidak dianggap rentan. 


Sementara dari sisi gender, 60 persen pasien adalah perempuan, dan 40 persen laki-laki. 


Data ini menunjukkan bahwa cacar api tidak lagi identik dengan kelompok lansia, tetapi bisa menyerang siapa saja, termasuk usia produktif dengan tingkat stres tinggi atau kondisi imunitas terganggu.


Risiko meningkat pada mereka yang pernah terkena cacar air, karena virus sudah ada di dalam tubuh dan bisa aktif kembali sewaktu-waktu. 


Selain itu, penderita dengan komorbid, sistem imun lemah, dan lansia lebih rentan mengalami kekambuhan.

 


*Peran Vaksinasi dan Gaya Hidup Sehat*


Vaksinasi menjadi langkah pencegahan yang direkomendasikan oleh para ahli.


Vaksin herpes zoster terbukti dapat mengurangi risiko infeksi hingga 97 persen, termasuk menurunkan kemungkinan terjadinya PHN.


Selain vaksinasi, menjaga imunitas dengan pola makan bergizi, cukup istirahat, dan mengelola stres juga menjadi bagian penting dari pencegahan.


Kesaksian dari penyintas seperti Natasha Vanessa (40) turut menggambarkan dampak berat dari cacar api. 


Ia mengalami gejala yang parah akibat stres kerja dan kondisi autoimun yang diidapnya.


Dirinya memiliki kondisi autoimun dan saat itu sedang mengalami stres berlebihan akibat tekanan pekerjaan, kemungkinan besar inilah yang menjadi pemicunya. 


Rasa sakit yang ia alami jauh lebih hebat dibandingkan dengan proses melahirkan dengan operasi caesar maupun operasi gigi bungsu. 


"Setelah merasakan sendiri dampaknya dan mendapatkan edukasi langsung dari tenaga medis, saya yakin bahwa vaksinasi adalah langkah sederhana namun sangat berarti untuk mencegah penderitaan yang tidak perlu seperti yang saya alami saat itu," ungkap Natasha.


Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat serta dukungan tenaga medis dan akses vaksinasi yang lebih luas, cacar api diharapkan tidak lagi dianggap remeh. 


Mengenali gejalanya sejak dini dan memahami cara penularannya adalah kunci untuk mencegah komplikasi jangka panjang yang dapat membatasi aktivitas hidup seseorang.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan