Rabu, 17 September 2025

Mengenal Istilah Toxic Charity, Kecenderungan yang Dikhawatirkan Jadi Daya Rusak

Toxic charity adalah sebuah bentuk kebaikan yang salah arah, di mana sebuah aktivitas tersebut justru membuat orang semakin bergantung.

Penulis: Reza Deni
Istimewa
ILUSTRASI BANTUAN KEMANUSIAAN - Toxic charity adalah sebuah bentuk kebaikan yang salah arah, di mana sebuah aktivitas tersebut justru membuat orang semakin bergantung dan kehilangan daya juang. 

Padahal kata Syam, martabat manusia tidak pernah lahir dari belas kasihan. Martabat hanya tumbuh dari kesadaran akan kekuatan diri. 

"Ketika seseorang terlalu lama diberi tanpa dilatih, daya juangnya mati. Ia kehilangan kreativitas untuk mencari jalan, kehilangan keberanian untuk gagal, kehilangan keyakinan bahwa dirinya mampu. Inilah bahaya paling besar dari toxic charity: ia membunuh potensi sebelum sempat tumbuh," katanya.

Dalam perspektif itu, dia menilai toxic charity wajib ditolak karena akan berangsur menjadi budaya yang tidak baik bagi masyarakat. "Maka perlu ada kesadaran kolektif yang lebih holistik dari seluruh unsur bangsa Indonesia untuk meningkatkan literasi jiwa dalam rangka menjadi upaya menebarkan narasi restoratif," kata Syam.

"Melalui narasi restoratif, kami menyembuhkan luka lama. Melalui gagasan transformatif, kami mengguncang paradigma lama yang membuat orang merasa kecil. Dengan literasi jiwa, pemberdayaan menjadi nyata, karena orang tidak hanya diberi 'ikan', tetapi diajarkan cara 'memancing' dengan kesadaran baru," jelas Syam.

"Kami hadir bukan untuk menenangkan luka dengan perban sementara, tetapi untuk menyentuh akar persoalan. Kami percaya bahwa setiap jiwa diciptakan kaya: kaya ide, kaya cinta, kaya harapan, dan kaya keberanian. Kekayaan itu hanya bisa muncul bila pola pikir yang melemahkan diubah menjadi pola pikir yang memberdayakan. Dan perubahan itu tidak lahir dari belas kasihan instan, melainkan dari literasi jiwa yang restoratif," sambungnya.

Syam pun mengajak semua orang untuk lihat contoh sederhana, ketika ada seorang pemuda yang gagal melanjutkan sekolah, maka dengan memberi sembako memang bisa membantu, namun hanya menunda lapar sehari. Tetapi mengajarinya membaca potensi diri, mengelola emosi, dan menyalurkan kreativitas akan memberinya bekal seumur hidup. 

"Inilah yang membedakan toxic charity dengan pemberdayaan sejati: yang satu meninabobokan, yang lain membangunkan," ucap Syam Basrijal.

Dia mengatakan dalam praktik yang lumrah terjadi di pedesaan. Banyak komunitas yang dijadikan objek bantuan instan, tetapi tetap miskin bertahun-tahun. 

"Pemenang sejati bukanlah mereka yang tak pernah jatuh, melainkan mereka yang berani bangkit dengan kesadaran baru. Jiwa pemenang tidak mengemis simpati, melainkan mencipta jalan. Jiwa pemenang tidak pasrah menunggu keadaan berubah, melainkan mengubah keadaan dengan daya juangnya. Dan inilah generasi yang ingin kami bangun: generasi dengan mental kaya, yang melihat dunia bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang," paparnya.

Baca juga: Pengakuan Pria di Bantul Bunuh Pacar, Tak Kuat Jalani Hubungan Toxic, Sempat Kabur dari Korban

Terakhir, Syam menyebut jika toxic charity terus dipelihara, maka bangsa ini lambat laun akan terjebak dalam lingkaran ketergantungan tanpa ujung. 

Namun apabila literasi jiwa dan mental pemenang ditanamkan, kita akan melihat lahirnya generasi yang berani bermimpi besar, teguh berjuang, dan percaya pada kekuatan dirinya. Generasi ini tidak menunggu belas kasihan, melainkan menyalakan jalan baru dengan kesadarannya.

"Restorasi Jiwa Indonesia percaya: belas kasihan boleh ada, tetapi harus menjadi pintu menuju kesadaran, bukan jerat yang mematikan. Bantuan boleh diberikan, tetapi harus disertai pendidikan jiwa agar orang berani mandiri. Karena tujuan kita bukan merawat korban, tetapi membangunkan pemenang," tukasnya.

"Maka saya tegaskan, toxic charity adalah racun yang harus dihentikan. Bangsa ini tidak butuh lebih banyak penonton yang pasrah, tetapi jiwa-jiwa pemenang yang berani berdiri. Restorasi Jiwa Indonesia hadir untuk menyalakan kesadaran itu—bahwa kemerdekaan sejati bukan datang dari belas kasihan, melainkan dari jiwa yang sadar, berani, dan penuh daya cipta," pungkas Syam Basrijal.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan