Rabu, 29 Oktober 2025

Warisan Jiwa: Cara Unik Gen Z Galang Dana Bangun Klinik Gratis Lewat Lukisan

Natalie Airlangga Hartarto dan kawan-kawannya dari Binus School Simprug, kanvas justru menjadi sarana nyata untuk menebar kebaikan.

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/Eko Sutriyanto
PAMERAN LUKISAN - Pameran bertajuk “Warisan Jiwa” yang digelar di Ciputra Artpreneur, Jakarta hingga Selasa (28/10/2025). Melalui event ini,  pelajar dan seniman muda ini mengubah karya seni menjadi gerakan sosial  Mereka menggalang dana untuk membangun klinik kesehatan gratis bagi warga kurang mampu di kawasan Cengkareng, Tangerang 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Bagi sebagian anak muda, melukis mungkin sekadar hobi atau ekspresi diri.

Tapi bagi Natalie Airlangga Hartarto dan kawan-kawannya dari Binus School Simprug, kanvas justru menjadi sarana nyata untuk menebar kebaikan.

Melalui pameran bertajuk “Warisan Jiwa” yang digelar di Ciputra Artpreneur, Jakarta, para pelajar dan seniman muda ini mengubah karya seni menjadi gerakan sosial.

Tujuannya sederhana namun bermakna: menggalang dana untuk membangun klinik kesehatan gratis bagi warga kurang mampu di kawasan Cengkareng, Tangerang.

Pameran ini berlangsung hingga Selasa (28/10/2025) dan menampilkan 110 karya lukisan dengan tema besar Keindahan dan Budaya Indonesia.

Ketika Empati Bertemu Kreativitas

Bersama teman-temannya di Yayasan Cahaya Cita, Natalie memimpin inisiatif ini bukan semata karena cinta pada seni, tetapi karena kepedulian terhadap akses kesehatan masyarakat kecil.

“Warisan Jiwa bukan sekadar pameran seni, tapi gerakan sosial. Kami ingin hasil penjualan karya digunakan untuk membangun klinik gratis, serta mendanai kegiatan seperti sunatan massal, operasi katarak, dan operasi bibir sumbing,” ujar Natalie belum lama ini.

Bagi generasi muda yang tumbuh di tengah arus digital, langkah ini menunjukkan bahwa seni bisa menjadi medium baru untuk berempati dan beraksi.

“Anak muda perlu belajar mencintai budaya Indonesia, tapi juga belajar berbuat untuk sesama. Seni adalah bahasa yang menyatukan keduanya,” tambah Natalie.

110 Karya, Satu Misi Sosial

Pameran “Warisan Jiwa” menampilkan karya dari beragam seniman lintas generasi — mulai dari pelukis muda berusia 15 tahun hingga seniman senior. Semua bersatu dalam semangat yang sama: mengubah karya menjadi keberkahan.

“Tidak ada batasan usia. Semua punya kesempatan yang sama untuk menampilkan karyanya,” kata Natalie.

Bahkan sebelum pameran dibuka secara resmi, beberapa karya sudah terjual dengan nilai total Rp200 juta. Bila seluruh lukisan laku terjual, dana yang terkumpul bisa mencapai Rp2,5 miliar, sebagian besar akan disalurkan untuk pembangunan klinik gratis.

Membuka Panggung untuk Seniman Lokal

Tak hanya berorientasi sosial, “Warisan Jiwa” juga menjadi wadah baru bagi para seniman lokal untuk dikenal publik lebih luas.

Barindra Surjaudaja, pendiri Yayasan Cahaya Cita lainnya, mengatakan bahwa banyak seniman Indonesia memiliki karya luar biasa, namun tak banyak yang mendapat ruang untuk tampil.

“Melalui pameran ini, kami ingin memperkenalkan seniman lokal dan membuka akses bagi mereka. Hasil penjualan dibagi proporsional: 40 persen untuk seniman, 60 persen untuk kegiatan sosial. Kami ingin karya-karya ini hidup — bukan hanya dilihat, tapi juga bermanfaat,” ujarnya.

Dukungan dari Dunia Seni Profesional

Apresiasi juga datang dari Rina Ciputra, Presiden Direktur Ciputra Artpreneur, yang turut hadir dalam pembukaan pameran.

“Kami bangga melihat gerakan ini dipimpin oleh anak-anak muda. Ini bukti bahwa seni bukan hanya untuk keindahan, tapi juga untuk kemanusiaan,” ujar Rina.

Ia menilai semangat Warisan Jiwa sejalan dengan visi almarhum Ciputra, yang ingin menjadikan Artpreneur sebagai rumah bagi kreativitas dan kolaborasi lintas generasi. Melihat antusiasme pengunjung, pihaknya pun memperpanjang durasi pameran hingga Selasa (28/10/2025).

Gen Z dan Gerakan Filantropi Baru

Warisan Jiwa menandai munculnya pola baru filantropi di kalangan Generasi Z — generasi yang berpikir digital, bertindak kreatif, dan peduli pada isu sosial.

Mereka tidak turun ke jalan membawa spanduk, melainkan memegang kuas dan menggambar makna kehidupan di atas kanvas.

Setiap goresan warna menjadi simbol empati, dan setiap karya yang terjual berarti satu langkah lebih dekat menuju akses kesehatan bagi mereka yang membutuhkan.

Gerakan ini membuktikan bahwa kemanusiaan bisa diwujudkan dengan cara yang indah, dan bahwa di tangan anak muda, seni tidak berhenti di dinding galeri — tapi hidup, berdampak, dan menyembuhkan.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved