Selasa, 30 September 2025

Pemilu 2024

Koalisi Perempuan Somasi Bawaslu Karena KPU Tidak Jalankan Rekomendasi untuk Revisi PKPU 10/2023

Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melayangkan somasi kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.

Tribunnews.com/Mario Christian Sumampow
Titi Anggraini, perwakilan dari koalisi perempuan. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melayangkan somasi kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI.

Somasi itu dilayangkan akibat Bawaslu dinilai tidak berhasil membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI melakukan revisi terhadap Peraturan KPU (PKPU) 10/2023.

Koalisi Perempuan menyambangi kantor Bawaslu, Senin (8/5/2023).

Mereka menolak penuh Pasal 8 Ayat (2) Peraturan PKPU 10/2023 karena melanggar UUD NKRI Tahun 1945 dan UU Pemilu.

Koalisi perempuan pun meminta Bawaslu memerintahkan KPU untuk segera merevisi pasal tersebut.

Baca juga: Tidak Revisi PKPU 10/2023, Koalisi Perempuan Sebut KPU RI Tidak Jalankan Kewajiban Hukum

Pada 17 Mei 2023 diselenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) oleh Komisi II DPR RI bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan lembaga penyelenggara pemilu untuk membahas revisi tersebut.

Hasil dari RDP ialah Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota itu disepakati untuk tidak direvisi.

Pihak koalisi merasa hal tersebut bersifat kontradiktif, mengingat pada 10 Mei 2023, KPU merespons aspirasi mereka dengan menyatakan di muka publik ihwal KPU akan melakukan perubahan Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU No 10/2023.

"Hal ini tentu menunjukkan bahwa KPU tidak menepati janjinya untuk merevisi Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023," ujar Titi Anggraini, perwakilan dari koalisi perempuan dalam keterangannya, Selasa (23/5/2023).

Padahal, jelas Titi, revisi ini sebenarnya bertujuan untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Atas hal ini mereka pun mendorong agar Bawaslu melaksanakan fungsi pengawasan dan menerbitkan rekomendasi kepada KPU.

Hal itu dilakukan agar penyelenggara melaksanakan kewajiban hukumnya sesuai sumpah jabatan, menerapkan prinsip mandiri, tegak lurus menegakkan konstitusi, dan UU pemilu.

Titi menekankan supaya Bawaslu segera menetapkan revisi PKPU No 10 Tahun 2023 dalam waktu 2x24 jam untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 7 Tahun 2017.

"Jika KPU tidak menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu sebagaimana angka 1, Masyarakat Keterwakilan Perempuan menuntut Bawaslu segera menggunakan kewenangan mengajukan uji materi kepada Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 76 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017," tutur dia.

Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan Sambangi Bawaslu

Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menyambangi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Senin (8/5/2023).

Koalisi ini menolak penuh Pasal 8 Ayat (2) Peraturan PKPU 10/2023 karena melanggar UUD NKRI Tahun 1945 dan UU Pemilu dan meminta Bawaslu memerintahkan KPU untuk segera merevisi pasal tersebut.

Titi Anggraini, bagian dari koalisi, menyatakan PKPU 10/2023 tidak hanya bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 UU No.7 Tahun 2017, namun juga tidak memberi kepastian terhadap pelaksanaan zipper system.

Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 246 (2) UU No. 7 Tahun 2017 dan penjelasannya yang menyebutkan “Di dalam setiap 3 (tiga) bakal calon perdapat paling sedikit 1 (satu) orang perempuan”.

“Selanjutnya penjelasan pasal a quo menegaskan dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, dan/atau 2, dan/atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6 dan seterusnya,” ujar Titi dalam keterangannya, Senin (15/5/2023).

Pembaruan UU No.7 Tahun 2017 yang memastikan penempatan calon perempuan pada nomor urut kecil merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi No.20/PUU-XI/2013. Peraturan KPU 10 Tahun 2023 hanya mengadopsi ketentuan Pasal 246 ayat (2) UU No 7 Tahun 2017.

KPU sebagai pelaksana UU mengabaikan ketentuan penjelasan Pasal 246 (2) UU No. 7 Tahun 2017 sehingga menimbulkan kerugian bagi bakal calon perempuan yang telah diafirmasi hak politiknya oleh UUD NRI, Putusan MK No.20/PUU-XI/2013 dan UU Pemilu.

Padahal dalam draf uji publik KPU, pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 masih mengatur pembulatan ke atas jika keterwakilan 30 persen caleg perempuan di suatu daerah pemilihan (Dapil) menghasilkan angka desimal kurang dari nol koma lima.

Kemudian, setelah disetujui bersama Komisi II DPR, aturan tersebut berubah menjadi pembulatan hitungan matematika yang mana bila nol koma lima kurang maka akan dibulatkan kebawah dan jika nol koma lebih maka akan dibulatkan keatas.

Dalam PKPU 10/2023, pembulatan keterwakilan perempuan dihitung secara matematika. Apabila lebih dari 0,5 maka dibulatkan ke atas. Sedangkan apabila kurang dari 0,5 dibulatkan ke bawah.

Contohnya, apabila di sebuah dapil terdapat delapan alokasi kursi, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.

Dari angka itu, karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.

Diketahui dari 84 Dapil yang sudah ditetapkan, jumlah Dapil yang akan tidak terpenuhi keterwakilan perempuannya adalah sebanyak 38 Dapil jika dilakukan pembulatan kebawah seperti PKPU yang berlaku saat ini.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved