Pemilu 2024
Pakar IT Sebut Data Sirekap Ceroboh dan Tidak Valid, Berikut Penjelasannya
Penggunaan Sistem Rekapitulasi Suara (Sirekap) oleh KPU RI dalam Pemilu 2024 menjadi sorotan publik.
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penggunaan Sistem Rekapitulasi Suara (Sirekap) oleh KPU RI dalam Pemilu 2024 menjadi sorotan publik.
Dalam diskusi publik bertajuk "Sirekap dan Kejahatan Pemilu 2024 Sebuah Konspirasi Politik" Pakar IT Kecerdasan Buatan dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Soegianto MSi pun memberikan hasil kajiannya.
Soegianto yang merupakan dosen Fisika Komputasi di Fakultas Sains dan Teknologi Unair Surabaya mengaku, telah melakukan kajian ilmiah terkait data hasil penghitungan suara yang ditampilkan Sirekap milik KPU RI,
Ia juga telah melakukan snapshoot untuk menangkap Json yang merupakan jalur komunikasi antara web dan server Sirekap, serta menganalisa menggunakan robot.
Baca juga: Jelang Pengumuman Hasil Pemilu 2024, SIREKAP Makin Rungkad
Dalam kajiannya, Soegianto mengambil 797.000 data sebagai bahan analisa dan menangkap 96 variabel dengan tidak mengubah gambar menjadi teks dan sebagainya.
Ia hanya mengambil data angka dari komunikasi antara server dengan web.
Dari analisa awal terhadap data tersebut, Soegianto menemukan bahwa data antara suara sah dan pemilih yang mencoblos tidak kompak atau tidak cocok.
Seharusnya Sirekap dapat mempermudah rekapitulasi jumlah suara sah dan jika ada data yang berbeda atau salah maka akan muncul notifikasi.
Baca juga: Tim IT PDIP Temukan Manipulasi Sirekap, Jason Script Kunci Perolehan Suara Ganjar-Mahfud 16 Persen
Kenyataannya yang terjadi ketika angka yang salah juga masuk atau terdata di Sirekap.
"Ini berarti data suara sah tidak bisa dipastikan karena ada yang tidak match. Jadi, saya ingin mendeklarasikan bahwa ini kecerobohan, ya ini kecerobohan dari Sirekap," kata ," kata Soegianto dalam diskusi di Jakarta, Senin (18/3/2024).
Soegianto kemudian menganalisa untuk membandingkan data Pileg dan data Pilpres.
Pertimbangannya, secara kaidah ilmiah seharusnya ada korelasi antara jumlah suara Pileg dan Pilpres, karena pencoblosan dilakukan orang atau pemilih yang sama dan di lokasi yang sama.
Ternyata, hasil analisa menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok, yakni hasil suara untuk pileg dan pilpres berbeda antara 50 persen bahkan 70% di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar karena perbedaan yang signifika.
Sehingga, Soegianto berkesimpulan data dari Sirekap tidak bisa dinyatakan valid untuk direkapitulasi dan menghasilkan persentase suara untuk partai politik maupun pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.