KPK Segera Tanggapi Putusan MK Jaksa Tidak Bisa Ajukan PK
MK memutuskan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Penulis:
Eri Komar Sinaga
Editor:
Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih menunggu salinan putusan Mahamah Konstitusi tekait putusan yang menyebutkan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK).
"KPK sendiri belum bisa mengeluarkan pernyataan resmi karena kami belum baca putusannya. Mudah-mudahan satu dua hari ini akan mengeluarkan rilis resmi," kata Wakil Ketua KPK, La Ode Muhamad Syarif di kantornya, Jakarta, Selasa (17/5/2016).
Syarif sendiri mengakui telah mendengar perdebatan mengenai putusan tersebut. Apalagi, kata dia, protes juga telah disampaikan Jaksa Agung HM Prasetyo.
"Saya baca itu ada reaksi dari Jaksa Agung bahwa diharapkan MK itu adalah PK positif terhadap koruptor," kata dia.
Sebelumnya, MK memutuskan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan peninjauan kembali atas perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Permohonan uji materi yang dikabulkan MK itu dilakukan oleh Anna Boentaran, istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S Tjandra.
Pasal 263 ayat (1) berbunyi, "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung".
Dalam putusannya, menurut majelis, dalam pasal tersebut sudah jelas bahwa yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, tidak termasuk jaksa.
Jaksa masih bisa melakukan upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi.
Namun, terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, hanya ada dua upaya hukum luar biasa, yakni kasasi demi kepentingan hukum oleh jaksa atau PK yang merupakan hak terpidana maupun ahli warisnya.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Djoko Tjandra lepas dari tuntutan hukum karena meski perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi bukan merupakan tindak pidana, melainkan perdata.
Kemudian, jaksa mengajukan kasasi atas putusan bebas itu.
Namun, Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Tak habis langkah, jaksa mengajukan peninjauan kembali ke MA atas putusan MA yang menguatkan pengadilan di tingkat pertama.
Ternyata, dalam putusan MA atas pengajuan PK, Djoko dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana dua tahun penjara.