Senin, 18 Agustus 2025

Sultan Hamengkubuwono X Nilai UU Keistimewaan Yogyakarta Menyimpan Jebakan Mengancam

Pimpinan Keraton sekaligus Gubernur Yogyakarta itu merasa syarat penyerahan riwayat hidup dalam UU KDIY dapat menimbulkan polemik.

Penulis: Valdy Arief
Editor: Dewi Agustina
/Bramasto Adhy
NGABEKTEN KAKUNG : Raja Kraton Yogyakarta Sri Sultan HB X mendapat sembah bekti dari KGPAA Paku Alam X, para keluarga dan kerabat keraton, serta abdi dalem saat Ngabekten Kakung di Bangsal Kencono, Kraton Yogyakarta, Kamis (7/7). Tradisi ini digelar selama dua hari (Ngabekten Kakung dan Ngabekten Puteri) setiap bulan Syawal dalam rangka hari Idul Fitri. TRIBUNJOGJA/Bramasto Adhy 

"Berasal dari kata uger, yaitu patokan yang sesungguhnya adalah konstitusi ketika sultan bertahta bisa mengubah sesuai kebutuhan internal dan eksternal," sebutnya.

Sabda Raja, Sabda Tama, dan Dawuh Raja dia sebut sebagai bagian paugeran.

Sehingga, katanya proses pergantian kekuasaan keraton sepenuhnya ada ditangan Sultan dan raja yang bertahta di DIY otomatis menjadi gubernur.

"Intinya bahwa laki-laki atau perempuan dapat menjadi sultan bertahta dan oleh Undang-Undang Dasar 1945 telah menjamin konstitusionalitasnya," ujar HB X.

Bagi Sultan, idealnya, Pasal 18 ayat 1 huruf m direvisi menjadi "menyerahkan riwayat hidup saja,".

Perbaikan sekumpulan undang-undang itu, dia sebut sebaiknya ikut dengan aturan keraton.

"Jika membutuhkan untuk memperbaiki Undang-Undang Keistimewaan dasarnya Sabda Tama, itulah perintah yang harus dimengerti dan laksanakan," kata dia.

Apalagi, dalam pembahasan dengan panitia khusus, saat UU tersebut masih digodok, tidak ada rincian riwayat hidup disebut-sebut.

"Hanya mekanisme pergantian saja yang dibahas," ujar Sultan.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan