UU MD3
Presiden Jokowi Tak Teken, Ini Pasal-pasal Kontroversi dalam UU MD3
Meskipun sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak meneken revisi UU MD3, itu tidak berimplikasi secara kekuatan hukum.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - RUU tentang Perubahan UU MD3, Kamis (15/3/2018) telah sah diundangkan dengan nama UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Meskipun sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak meneken revisi UU MD3, itu tidak berimplikasi secara kekuatan hukum.
Sebab, berdasarkan aturan pasal 73 ayat 2 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan disebutkan UU tetap berlaku dalam jangka waktu 30 hari sejak ditetapkan meski tanpa tandatangan kepala negara.
Presiden menjelaskan alasan dirinya tidak menandatangani UU MD3 itu karena adanya keresahan di masyarakat terkait adanya pasal-pasal kontroversi dalam UU tersebut.
Untuk itu, Presiden mempersilakan masyarakat melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyelesaikan masalah ini.
Berikut beberapa pasal yang diubah dalam UU MD3 dan menuai kontroversi:
1. Pasal 73
Revisi pasal ini berbunyi,"dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia."
Artinya, terjadi perubahan kalau sebelumnya UU menyatakan polri sifatnya membantu untuk memanggil pihak yang tidak hadir saat diperiksa DPR.
Namun dengan adanya penambahan frase wajib dalam Pasal 73, DPR berharap tugas-tugasnya bisa berjalan lebih lancar. Bahkan, UU MD3 memperbolehkan Kepolisian untuk menyandera selama 30 hari orang-orang yang tidak mau datang ke DPR.
2. Pasal 84 tentang komposisi pimpinan DPR dan MPR
DPR bersama dengan Pemerintah menyepakati menambah satu kursi pimpinan DPR dan menambah tiga kursi pimpinan MPR.
Dengan keputusan ini, pimpinan DPR akan diisi enam orang.
Sementara pimpinan MPR bertambah menjadi delapan orang.
Adapun Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan sebagai pemenang pemilu 2014 yang selama ini tidak masuk dalam komposisi pimpinan DPR dan MPR, dipastikan mendapat satu jatah kursi di DPR dan MPR.
3. Pasal 122 huruf k mengatur tentang hak DPR dalam mengambil langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR atau anggotanya
Pasal 122 yang membuat DPR, kembali melalui MKD, bisa mempidanakan orang-orang yang dianggap merendahkan DPR dan pribadi anggota DPR.
Tujuan pasal ini yakni untuk menjaga marwah dan kehormatan DPR sebagai lembaga tinggi negara dan pribadi anggota DPR sebagai pejabat negara. Pasal ini menandakan kembali hidupnya pasal penghinaan peninggalan Belanda yang disebut Haatzaai Artikelen. Namun, dilihat dari sejarahnya, pasal itu berlaku untuk simbol negara.
Pasal ini dinilai bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, prinsip perwakilan melalui pemilu, sebagaimana diatur konstitusi serta bertentangan dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan DPR itu sendiri.
4. Pasal 245 tentang pemeriksaan anggota DPR yang terlibat tindak pidana
Perubahan pasal ini menjadi mewajibkan pemeriksaan anggota DPR harus mendapat pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan mengantongi izin presiden.
"Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)."
Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan klausul atas izin MKD, sehingga izin diberikan oleh presiden.
Kini DPR mengganti izin MKD dengan frase "pertimbangan". Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja) revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas menjamin pasal tersebut tak akan menghambat proses pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum.
Supratman menegaskan, peran MKD sebatas memberi pertimbangan. Presiden nantinya berhak menggunakan pertimbangan tersebut atau tidak sama sekali.
Ia juga mengatakan, pertimbangan MKD dan izin presiden tidak berlaku bagi anggota DPR yang tertangkap tangan saat melakukan tindak pidana, terlibat tindak pidana khusus, dan pidana dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup.
"Tipidsus (tindak pidana khusus) tidak perlu lagi karena itu kan pengecualian. Pertama tertangkap tangan tidak perlu izin presiden. Kedua tipidsus korupsi dan selainnya. Lalu diancam pidana mati atau pidana seumur hidup tidak perlu izin presiden," kata politisi Partai Gerindra itu.(*)