Selasa, 14 Oktober 2025

Kasus BLBI

ICW: Putusan MA atas Kasus BLBI Dagelan Hukum!

Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim adalah sebesar Rp 47,2 triliun (angka ini diperoleh berdasarkan kucuran BLBI yang diterima oleh BDNI dan total dana

Tribunnews/Irwan Rismawan
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung meninggalkan Rutan Kelas 1 Jakarta Timur Cabang Rutan KPK, Jakarta, Selasa (9/7/2019). Syafruddin Temenggung adalah terdakwa perkara dugaan korupsi penghapusan piutang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang divonis bebas oleh Mahkamah Agung (MA) dari segala tuntutan hukum. Ia sebelumnya dihukum 15 tahun penjara pada tingkat banding. Tribunnews/Irwan Rismawan 

Oleh: Indonesia Corruption Watch

TRIBUNNERS - Dunia peradilan kembali menjadi sorotan. Salah seorang terdakwa dalam kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Syafruddin Arsyad Tumenggung (mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional), dinyatakan lepas pada pada tingkat Mahkamah Agung.

Padahal pada pengadilan sebelumnya Syafruddin dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam perkara ini, sehingga yang bersangkutan dijatuhi hukuman selama 15 tahun penjara. Tentu putusan ini akan berimplikasi serius pada tingkat kepercayaan publik pada lembaga peradilan.

Sebagai informasi, Syafruddin diketahui telah memperkaya salah satu obligor, Sjamsul Nursalim (Pemegang Saham Pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia) sebesar Rp 4,58 triliun atas dasar pengeluaran Surat Keterangan Lunas.

Baca: Fasilitas Asrama Haji Bekasi Dikeluhkan, Jemaah Tidur Sekamar Diisi 10 Orang Hingga Tak Ada Lift

Baca: Persija Jakarta Vs Persib Bandung - Adu Kekuatan Pemain Timnas 10 Negara

Baca: Kesetiaan Sri Wahyuni, Pilih Mendampingi Sang Suami Menunda Kepergian ke Tanah Suci

Baca: Ancaman Hukuman Bagi yang Paksa Istri Hubungan Badan, Tak Main-main Termasuk Kejahatan Pemerkosaan

Padahal yang bersangkutan mengetahui aset yang dijaminkan oleh Nursalim berstatus misrepresentasi, sehingga tidak layak diberikan SKL. Pengeluaran SKL ini berdampak serius, karena mengakibatkan hak tagih negara menjadi hilang pada Nursalim.

Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim adalah sebesar Rp 47,2 triliun (angka ini diperoleh berdasarkan kucuran BLBI yang diterima oleh BDNI dan total dana nasabah).

Pada masa itu Nursalim mengklaim memiliki aset sebesar Rp 18,8 triliun, salah satunya diperoleh dari pinjaman petani/petambak PT Dipasena sebesar Rp 4,8 triliun. Jadi jumlah kewajiban Nursalim dikurangi dengan aset yang ia miliki adalah senilai Rp 28 triliun.

Persoalan pun timbul, aset senilai Rp 4,8 triliun yang dijaminkan Nursalim kepada negara untuk melunasi hutang-hutangnya ternyata bermasalah.

Kesimpulan ini bukan tanpa dasar, saat itu BPPN telah melakukan dua model audit, yakni Financial Due Dilligence dan Legal Due Dilligence, yang mana kesimpulannya menerangkan bahwa aset ini dikategorikan sebagai misrepresentasi atau sederhananya tidak sesuai dengan nilai yang disebutkan.

Tentu ini menimbulkan persepsi bahwa ada niat jahat (mens rea) dari Nursalim untuk berupaya mengelabui negara atas pelunasan hutangnya.

Selang waktu enam tahun kemudian, tepatnya pada Februari 2004 diadakan rapat kabinet terbatas yang dihadiri Presiden untuk membahas usulan dari Syafruddin yang meminta agar sisa hutang Nursalim dihapus.

Padahal yang bersangkutan mengetahui secara jelas bahwa aset senilai Rp 4,8 triliun milik Nursalim itu sedari awal bermasalah berdasarkan penjelasan audit di atas.

Dari data yang ditemukan diketahui bahwa rapat terbatas tersebut tidak membuahkan sebuah kesimpulan, atau dapat dikatakan Presiden sama sekali belum memberikan persetujuan atas usul penghapusan hutang itu.

Namun terjadi hal yang diluar dugaan, dua bulan pasca rapat kabinet itu tiba-tiba BPPN menerbitkan Surat Keterangan Lunas pada Nursalim.

Kebijakan ini yang mengakibatkan Nursalim seakan terbebas dari kewajiban hukumnya, yakni melunasi hutang BLBI pada negara.
Pada tahun 2007 aset Nursalim yang telah dijaminkan kepada negara dilelang oleh Kementerian Keuangan.

Benar saja, dua audit yang menghasilkan kesimpulan misrepresentasi atas aset Nursalim terbukti, aset yang sedari awal diklaim Nursalim bernilai Rp 4,8 trilyun ternyata hanya laku Rp 220 milyar. Atas dasar selisih nilai aset itulah kemudian kerugian negara yang timbul atas kasus ini sebesar Rp 4,58 triliun.

Langkah KPK yang menggiring praktik rasuah ini ke ranah pidana sudah tepat. Ini dikarenakan adanya mens rea dari Nursalim ketika menjaminkan aset yang seolah-olah bernilai sesuai dengan perjanjian Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA) akan tetapi di kemudian hari ternyata ditemukan bermasalah.

Logika pihak-pihak yang selalu menggiring isu ini ke hukum perdata dapat dibenarkan jika selama masa pemenuhan kewajiban dalam perjanjian MSAA pihak yang memiliki hutang tidak mampu untuk melunasinya, bukan justru mengelabui pemerintah dengan jaminan yang tidak sebanding.

Lagipun telah ada tiga putusan pengadilan yang membenarkan langkah KPK.

Mulai dari praperadilan, pengadilan tingkat pertama, dan pada fase banding, ketiganya menyatakan bahwa langkah KPK yang menyimpulkan bahwa perkara yang melibatkan Syafruddin Arsyad Tumenggung, murni pada rumpun hukum pidana telah benar.

Jadi tidak ada landasan hukum apapun yang membenarkan bahwa perkara ini berada dalam hukum perdata ataupun administrasi.

Perlu ditegaskan, banyak pihak yang seakan menganggap putusan MA kali ini dapat menggugurkan penyidikan KPK atas dua tersangka lain, yakni Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.

Tentu pendapat ini keliru, karena pada dasarnya Pasal 40 UU KPK telah menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Jadi, KPK dapat tetap melanjutkan penyidikan dan bahkan melimpahkan perkara Nursalim ke persidangan.

Atas narasi di atas maka Indonesia Corruption Watch (ICW) menuntut agar:

1. Komisi Pemberantasan Korupsi tetap mengusut tuntas perkara yang melibatkan dua tersangka lainnya, yakni Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim sembari mengupayakan memaksimalkan pemulihan kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun;

2. Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk memeriksa Hakim yang mengadili perkara Syafruddin Arsyad Tumenggung. Jika ditemukan adanya pelanggaran maka Hakim tersebut harus dijatuhi hukuman;

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved