Kamis, 9 Oktober 2025

Kabinet Jokowi

Ketakutan PPP Atas Bergabungnya Gerindra, Demokrat dan PAN ke Koalisi Jokowi

Sekjen PPP Arsul Sani mengingatkan Gerindra, Demokrat dan PAN tak bersikap seperti oposisi, jika masuk koalisi pemerintah.

Editor: Johnson Simanjuntak
Kementan
Pengamat Politik Hendri Satrio. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio melihat ketakutan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terhadap bergabungnya Gerindra, Partai Demokrat dan PAN ke dalam Koalisi Pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin.

"Ini bisa dipersepsikan PPP merasa terganggu bergabungnya Gerindra, Demokrat dan PAN ke koalisi Jokowi. Karena mereka takut tiga parpol ini malah bisa mempengaruhi kebijakan Jokowi ketimbang PPP," ujar pendiri lembaga analisis politik KedaiKOPI ini kepada Tribunnews.com, Jumat (18/10/2019).

Sekjen PPP Arsul Sani mengingatkan Gerindra, Demokrat dan PAN tak bersikap seperti oposisi, jika masuk koalisi pemerintah.

Apalagi PPP adalah partai yang perolehan suaranya paling kecil di koalisi, termasuk terhadap Gerindra, Demokrat dan PAN.

"Terkait kursi mereka yang terkecil di parlemen, PPP mencoba untuk tetap eksis dengan mengingatkan pak Jokowi," jelas Hendri Satrio.

Sinyal Kuat Gerindra, Demokrat Dan PAN Akan Masuk Kabinet

Pengamat politik dari Universitas Paramadina Djayadi Hanan menyebut ini sinyal kuat tiga partai itu akan masuk di kabinet Jokowi-Maruf Amin.

Baca: Muhadjir Effendy Sempat Marah karena Dilarang ke Wamena

"Itu sinyal kuat tiga partai itu akan masuk di kabinet. Meski tentu tetap mungkin berubah, terutama PAN," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini kepada Tribunnews.com, Kamis (17/10/2019).

Kenapa masih ada kemungkinan berubah terhadap PAN?

Karena menurut dia, ada potensi PAN untuk tidak mendukung atau bersikap seperti oposisi dalam beberapa kebijakan tetap tinggi, walaupun bergabung dlm pemerintahan.

Ini karena elit dan pendukung PAN masih terbelah sikapnya.

"Terutama elit berpengaruh seperti pak Amien Rais," jelasnya.

Sedangkan Gerindra dan Demokrat akan lebih mudah untuk bersikap disiplin dalam koalisi.

Karena dua partai ini sangat bergantung pada figur ketua umumnya.

"Sepanjang pak Prabowo Subianto dan pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa setuju dengan pemerintah, maka Gerindra dan Demokrat akan lebih mudah menghindari sikap oposan jika menjadi bagian dari pemerintah," paparnya.

Ia pun menilai, sebaiknya satu dari tiga partai itu lebih baik di luar pemerintahan.

Karena kekuatan oposisi terlalu sedikit bila hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang di luar pemerintahan.

Ia pun mengutip hasil riset lima tahun terakhir, bahwa ada sekitar 25 - 30 persen masyarakat yang tidak puas dengan kinerja jokowi.

Itu berarti, imbuh dia, ada 30 persenan potensi oposisi di masyarakat yang perlu diwadahi parpol oposisi di DPR.

"Bila hanya satu partai di luar pemerintahan, itu tidak cukup. Dan itu potensial membuat oposisi di masyarakat berhadapan terus secara langsung dgn pemerintah. Dan itu kurang baik bagi demokrasi," jelasnya.

Jika Gerindra-Demokrat-PAN Gabung Koalisi, PPP Ingatkan Jangan Bersikap Oposisi

Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani tak mempermasalahkan jika Partai Gerindra, Demokrat dan PAN masuk koalisi pemerintah.

Namun, ia mengingatkan ketiga partai tersebut agar tak bersikap seperti oposisi jika nantinya bergabung dalam barisan partai pendukung pemerintahan.

Karena Gerindra, Demokrat dan PAN adalah partai yang tidak mengusung Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019 lalu.

"Kenapa harus dipermasalahkan? PPP itu cuma memberikan underline saja bahwa kalau masuk dalam pemerintahan jangan berlaku sebagai oposisi, itu saja. Jangan kursinya mau, tapi begitu yang enggak enak, enggak mau, seolah-olah bukan bagian dari koalisi, itu saja," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/10/2019).

Lebih lanjut, ia menilai jika PPP mendapatkan jabatan menteri, itu sebagai penghargaan karena mengusung Jokowi-Ma'ruf.

Namun, penyusunan komposisi menteri merupakan ha prerogatif presiden.

"Tugas parpol itu sebetulnya selesai ketika melakukan pengusungan, selebihnya itu kan hal-hal yang sifatnya politis saja bahwa dalam politik mengusung itu kemudian ada reward-nya, itu iya," ujar Arsul.

"Tapi kemudian kan tidak bisa menurut saya reward itu termasuk membatasi hak seorang presiden yang diberi hak prerogatif itu untuk kemudian ikut menentukan, 'yang ini diambil, yang itu jangan', jangan. Ya itu kita kembalikan saja ke beliau (Jokowi)," ujarnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved