Sabtu, 6 September 2025

UU Cipta Kerja

Jurnalis Dipukul dan Ditahan Saat Liput Aksi Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja, Ini Kata Mabes Polri

Kita seharusnya menjunjung dan melindungi wartawan, tapi karena situasinya chaos dan anarkis anggota juga melindungi dirinya sendiri.

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Johnson Simanjuntak
ist
Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Argo Yuwono 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Markas besar kepolisian RI menanggapi adanya tindakan represif aparat terhadap profesi wartawan dan pers mahasiswa ketika meliput aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja pada Kamis (8/10/2020) kemarin.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono mengatakan adanya tindakan represif terhadap profesi jurnalis karena personel pengamanan diklaim dalam kondisi yang chaos saat aksi unjuk rasa itu mulai berlangsung ricuh.

"Kita seharusnya menjunjung dan melindungi wartawan, tapi karena situasinya chaos dan anarkis anggota juga melindungi dirinya sendiri. Kita saling kerja sama saja di lapangan," kata Argo di Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (9/10/2020).

Lebih lanjut, dia meminta wartawan yang berada di lapangan menunjukkan kartu identitasnya saat berada dalam aksi unjuk rasa

"Kalau ketemu anggota tunjukin identitas yang jelas nanti bisa diberitahu teman-teman mencari berita, disampaikan saja bahwa saya seorang wartawan sedang meliput, nanti di belakang dan akan dilindungi," jelasnya.

Baca: Mabes Polri: Polisi Juga Jadi Korban Demo Tolak UU Cipta Kerja

Dalam beberapa kasus, para jurnalis sejatinya telah menunjukkan identitasnya saat ditindak represif oleh aparat. Namun, tetap mendapatkan tindakan kekerasan oleh aparat.

Menurut Argo, pihaknya akan menyelidiki kabar tersebut untuk diklarifikasi lebih lanjut.

Sejumlah remaja diamankan Polisi usai aksi demo buruh di depan Kantor Pemerintahan Kabupaten Karawang membubarkan diri, Kamis (7/10/2020) sore
Sejumlah remaja diamankan Polisi usai aksi demo buruh di depan Kantor Pemerintahan Kabupaten Karawang membubarkan diri, Kamis (7/10/2020) sore (Wartakotalive.com/Joko Supriyanto)

"Nanti kita akan kroscek dulu kejadiannya seperti apa, tapi setiap pengamanan kami sudah memberi imbauan dan mengingatkan semua agar tidak terjadi salah paham," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat ada tujuh jurnalis  yang diduga menjadi korban kekerasan anggota Polri dalam unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di Jakarta, Kamis (8/10/2020) kemarin.

"Jumlah ini bisa bertambah dan kami masih terus menelusuri dan memverifikasi perkara," kata Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani, dalam keterangannya, Jumat (9/10/2020).

Jurnalis CNNIndonesia.com, Tohirin, mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi ketika ia meliput demonstran yang ditangkap kemudian dibogem di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.

"Ketika itu dia tak memotret atau merekam perlakuan itu," ujar Asnil.

Asnil mengatakan, polisi tak percaya kesaksian Tohirin, lantas mereka merampas dan memeriksa galeri ponselnya. Polisi marah ketika melihat foto aparat memiting demonstran.

"Akibatnya, gawai yang ia gunakan sebagai alat liputan itu dibanting hingga hancur, maka seluruh data liputannya turut rusak," kata Asnil.

“Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata Thohirin--ditirukan Asnil--yang mengklaim telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan ‘Pers’ miliknya ke aparat.

RICUH - Kericuhan antara mahasiswa dan pihak kepolisian saat unjuk rasa di Halaman Gedung DPRD Sumsel, Jalan POM IX Palembang, Kamis (8/10/2020). Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, Aksi Demo mahasiswa ini berujung bentrok dengan aparat keamanan yang mengakibatkan sejumlah fasilitas umum dan kendaraan milik polisi rusak (TRIBUNSUMSEL/M.A.FAJRI)
RICUH - Kericuhan antara mahasiswa dan pihak kepolisian saat unjuk rasa di Halaman Gedung DPRD Sumsel, Jalan POM IX Palembang, Kamis (8/10/2020). Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa menolak Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, Aksi Demo mahasiswa ini berujung bentrok dengan aparat keamanan yang mengakibatkan sejumlah fasilitas umum dan kendaraan milik polisi rusak (TRIBUNSUMSEL/M.A.FAJRI) (TRIBUN SUMSEL/TRIBUN SUMSEL/MA FAJRI)

Sementara, Peter Rotti, wartawan Suara.com yang meliput di daerah Thamrin, juga jadi sasaran polisi. Ia merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran.

"Sontak terduga seorang polisi berpakaian sipil serba hitam dan anggota Brimob menghampirinya. Aparat meminta kamera pemuda itu, namun Peter menolak lantaran bahwa ia jurnalis yang resmi meliput," kata Asnil.

Asnil mengungkapkan, polisi menolak pengakuan Peter, lantas mereka merampas kameranya. Peter diseret, dipukul, dan ditendang gerombolan polisi itu, hingga tangan dan pelipisnya memar.

“Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya,” ujar Peter--seperti disampaikan Asnil.

Ada juga Ponco Sulaksono, jurnalis dari merahputih.com turut jadi sasaran amuk polisi.

Asnil berujar, Ponco ‘hilang’ beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui kalau ia dibekuk aparat.

"Ponco ditahan di Polda Metro Jaya. Aldi, jurnalis Radar Depok sempat merekam momen Ponco keluar dari mobil tahanan. Aldi bersitegang dengan polisi, nahas ia turut diciduk," ujarnya.

Kata Asnil, polisi juga tak segan menangkap pers mahasiswa yang turut meliput aksi.

Berthy Johnry, (anggota Lembaga Pers Mahasiswa Diamma Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta), Syarifah, Amalia (anggota Perslima Universitas Pendidikan Indonesia Bandung), Ajeng Putri, Dharmajati, Muhammad Ahsan (anggota Pers Mahasiswa Gema Politeknik Negeri Jakarta) bernasib sama: mereka ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama massa aksi lainnya.

"AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," tegas dia.

Patut diketahui, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 UU Pers); dan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta (Pasal 18 ayat 1).

"Artinya, anggota kepolisian yang melanggar UU tersebut pun dapat dipidanakan," terang Asnil.

Meski wartawan telah melengkapkan diri dengan atribut pers dan identitas pembeda di lokasi demonstrasi, tutur Asnil,tetap saja jadi sasaran amuk polisi.

"Dalih polisi ‘kartu pers wartawan tak kelihatan’, maupun rencana penggunaan Pita Merah-Putih yang pernah diusulkan Polri sebagai pembeda, hingga kini tak terealisasi," tuturnya.

Sari Labuna, satu dari 30 mahasiswa dan remaja yang ditangkap dalam unjukrasa Tolak Omnibus Law di Jl Sultan Alauddin, Makassar, Kamis (8102020) malam.
Sari Labuna, satu dari 30 mahasiswa dan remaja yang ditangkap dalam unjukrasa Tolak Omnibus Law di Jl Sultan Alauddin, Makassar, Kamis (8102020) malam. (ist)

Berdasar peristiwa-peristiwa tersebut, AJI Jakarta dan LBH Pers mendesak Polri wajib mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan personel kepolisian terhadap jurnalis dalam peliputan unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja.

"Mengimbau pimpinan redaksi ikut memberikan pendampingan hukum kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan aparat sebagai bentuk pertanggungjawaban," kata Asnil.

Selain itu, AJI Jakarta dan LBH Pers turut mengimbau para jurnalis korban kekerasan pun intimidasi aparat agar berani melaporkan kasusnya, serta memperkuat solidaritas sesama jurnalis.

"Mendesak Kapolri membebaskan jurnalis dan jurnalis pers mahasiswa yang ditahan," tegas Asnil.
 

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan