UU Cipta Kerja
MK Sudah Terima Uji Materi Dari Serikat Pekerja, Baleg DPR: Tidak Ada Perubahan UU Cipta Kerja
Kedua orang tersebut berasal dari Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS).
Editor:
Hendra Gunawan
*MK Sudah Mulai Terima Permohonan Uji Materi UU Cipta Kerja
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan uji materi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dari seorang buruh dan karyawan kontrak.
Kedua orang tersebut berasal dari Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja
Singaperbangsa (DPP FSPS).
"Iya, sudah ada 2 permohonan diajukan. Silakan cek dan cermati permohonannya di
laman MK, mkri.id," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono kepada Tribun, Selasa(13/10).
Penggugat pertama adalah Dewa Putu Reza yang mengaku sebagai karyawan kontrak
di sebuah perusahaan.
Kemudian penggugat kedua ialah Ayu Putri yang mengaku sebagai freelance.
Fajar mengatakan, permohonan dari dua masih diproses untuk
diregistrasi. Selanjutnya, MK akan menggelar sidang pendahuluan paling lama 2 pekan
sejak permohonan teregistrasi.
"Paling lama 14 hari sudah harus diagendakan sidang pertama, paling lama ya itu.
Berarti bisa lebih cepat dari itu," kata Fajar.
Baca juga: Demo Berakhir Ricuh, Perusuh Lempar Bola Kasti Berisi Cairan Kimia
Gugatan pertama yang diajukan Dewa Putu Reza dan Ayu Putri telah diterima panitera MK dengan nomor 2034/PAN.MK/X/2020.
Dalam gugatannya, Reza dan Ayu mengajukan gugatan terhadap Pasal 59, Pasal 156
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 79 ayat (2) huruf b, dan Pasal 78 ayat (1) huruf b klaster
Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja.
Menurut Dewa dan Ayu, pasal-pasal yang digugat mengatur mengenai penghapusan batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT),
penghapusan ketentuan minimal dalam memberikan pesangon, serta penghapusan
ketentuan istirahat mingguan dan penambahan waktu jam lembur yang mengakibatkan hilangnya perlindungan hukum yang adil bagi para pekerja.
Baca juga: AHY Akui Dapat Serangan Akun Bodong, hingga Dituduh Jadi Dalang Demo UU Cipta Kerja
"Dengan diberlakukannya UU Cipta Kerja yang meniadakan batas waktu PKWT telah
menghalangi pekerja kontrak untuk dapat menjadi pekerja tetap yang berhak atas
pemberian pesangon, dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian
hak," ujar Reza dan Ayu dalam permohonannya.
Sehingga keduanya meminta MK agar menyatakan pasal-pasal yang digugat
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara permohonan kedua diajukan DPP FSPS yang diwakili Ketua Umumnya
Deni Sunarya dan Sekretaris Umum Muhammad Hafiz.

Berkas permohonan mereka diterima panitera MK dengan nomor
2035/PAN.MK/X/2020. Mereka menggugat Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25,
angka 29 dan angka 44 klaster Ketenagakerjaan UU Ciptaker.
DPP FSPS menilai pasal-pasal tersebut telah mengubah ketentuan PKWT, upah
minimum, pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak. Mereka menilai
berubahnya ketentuan tersebut merugikan buruh.
Baca juga: Siswa SMP Bawa Jas Almamater Milik Ibunya Ikut Demo UU Cipta Kerja
Sehingga, DPP FSPS meminta MK agar pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sebelumnya, sejak disahkan pada 5 Oktober, Omnibus Law mendapat protes yang membuat munculnya demo besar-besaran di berbagai daerah. Puncaknya pada 8 Oktober, demo menolak Omnibus Law di sejumlah
daerah berujung ricuh dan menimbulkan kerusakan fasilitas umum. Merespons
gelombang penolakan terhadap Omnibus Law, Presiden Jokowi meminta masyarakat
yang tak puas bisa mengajukan gugatan ke MK.
Tidak Berubah
Badan Legislasi (Baleg) DPR memastikan tidak ada perubahan subtansi dalam draf
Undang-Undang Cipta Kerja, yang telah disahkan saat rapat paripurna dan sekarang
sudah difinalkan menjadi 812 halaman.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, terkait pasal 79 dalam klaster ketenagakerjaan telah putuskan dalam rapat panitia kerja (Panja) RUU Cipta Kerja.
"Pasal 79, terkait dengan ayat 1, ayat 2, ayat 3 itu adalah hasil keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK). Nah itu yang kami kembalikan semua," papar Supratman.
Supratman menyebut, dirinya bersama anggota Panja lainnya telah membaca satu per
satu terhadap materi muatan UU Cipta Kerja yang sudah diputuskan dalam rapat
paripurna DPR pada 5 Oktober 2020.
"Kami kembalikan kepada Kesekjenan sesuai dengan draf yang terakhir (tanpa mengubah subtansi)," ucap politikus Gerindra itu.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin memastikan tidak ada kepentingan pribadi pada
pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, hingga akhirnya disahkan
menjadi undang-undang.
"Tidak ada interest, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok dalam kami pimpinan DPR, pimpinan fraksi dan Badan Legislasi memanfaatkan kondisi tertentu untuk hal yang menguntungkan para pihak tertentu," ujar Azis.
Azis meyakini proses pembahasan yang dilakukan di Badan Legislasi (Baleg) DPR
sudah sesuai mekanisme dan tata cara dalam pengambilan keputusan di DPR.
Bahkan, kata Azis, setiap rapat RUU tersebut selalu ada catatan hingga rekamannya
yang dapat diakses masyarakat secara luas.
"Bagi yang masih kontra, ada mekanisme konstitusi yang dibuka oleh aturan-aturan konstitusi kita melalui Mahkamah Konstitusi. Kami sangat menghargai perbedaan-perbedaan untuk bisa dilakukan ke MK," papar Azis.
Politikus partai Golkar itu pun menjamin, draf UU Cipta Kerja setebal 812 halaman dari
sebelumnya 1.035 halaman, tidak ada pasal selundupan atau di luar yang menjadi
kesepakatan pada tingkat I maupun II.
"Kami tidak berani dan tidak akan memasukan selundupan pasal. Itu kami jamin sumpah jabatan kami, karena itu tindak pidana apabila ada selundupkan pasal," ujar Azis.(Tribun Network/ham/sen/wly)