Rabu, 29 Oktober 2025

Forum Sinologi: Etnis Tionghoa Berakar Budaya Indonesia, Tak Lagi Terikat Tanah Leluhur

Johanes Herlijanto berpendapat, sebagian masyarakat Indonesia masih cenderung mencampuradukkan Tionghoa Indonesia dengan China sebagai sebuah negara.

Istimewa
Ketua sekaligus pendiri Forum Sinologi Indonesia, Johanes Herlijanto 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua sekaligus pendiri Forum Sinologi Indonesia, Johanes Herlijanto berpendapat, sebagian masyarakat Indonesia masih cenderung mencampuradukkan Tionghoa Indonesia dengan China sebagai sebuah negara.

Persepsi tersebut kembali muncul di permukaan seiring dengan meningkatnya kehadiran RRC di tanah air melalui investasi dan tenaga kerjanya.

Johanes Herlijanto menyampaikan pendapat tersebut menanggapi polemik mengenai masuknya ribuan tenaga kerja China ke Indonesia dan kini hal tersebut kembali merebak di masyarakat Indonesia, beberapa minggu terakhir.

Baca juga: Bertemu Menteri Agama, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia dan Kemenag Sinergi Program Dakwah

Menurut dosen Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan tersebut, kecenderungan mencampuradukkan China dan etnik Tionghoa tersebut tidak tepat.

Ini mengingat etnik Tionghoa di Indonesia sebenarnya telah berakar pada budaya dan identitas lokal setelah mengalami proses akulturasi selama berabad abad.

“Alih-alih berorientasi pada ‘tanah leluhur,’ mereka kini berpegang pada peribahasa luodi shenggen, yang artinya, kurang lebih, berakar pada tanah di mana mereka tinggal,” ujarnya dalam keterangan pers kepada Tribunnews, Selasa (15/6/2022).

Dalam pandangan Johanes, kecenderungan menyamakan antara Cina dan etnik Tionghoa di Indonesia merupakan sisa dari problema kewarganegaraan yang pernah muncul pada awal abad lalu.

Menurut penjelasannya, sejak berdiri di awal abad ke dua puluh, Republik China (Nasionalis) telah menganggap semua orang Tionghoa yang tinggal di luar Cina sebagai warganya.

'“Kebijakan ini menimbulkan ketidakjelasan status kewarganegaraan bagi orang Tionghoa di Indonesia, yang pada masa itu juga telah mewarisi kewarganegaraan Hindia Belanda, sebagai konsekwensi dari pemberlakuan Undang - Undang Kewarganegaraan Belanda pada tahun 1910,” tuturnya.

Baca juga: Apa Itu Bakcang? Simak Rangkaian Tradisi Tionghoa di Festival Peh Cun dan Sejarahnya

Sebagai akibat dari ketumpangtindihan status kewarganegaraan di atas, Tionghoa di Indonesia menghadapi sebuah permasalahan yang dikenal sebagai dwikewarganeraan.

Permasalahan tersebut menimbulkan ganjalan bagi kedua negara sejak hubungan diplomatik antara Indonesia dan Cina mulai berlangsung di tahun 1950.

“Apalagi pada tahun-tahun awal dasawarsa 1950 an, RRC berupaya mempengaruhi komunitas Tionghoa di Indonesia agar lebih mendekat pada Beijing, yang saat itu sedang berebut pengaruh dengan pemerintahan China Nasionalis di Taipei,” ujarnya.

Menurut pandangannya, penyebab RRC melakukan upaya di atas melalui kedutaan besarnya di Jakarta adalah karena China saat itu masih menganggap seluruh Tionghoa perantauan di luar China, termasuk Tionghoa Indonesia, sebagai warganya.

Meski demikian, merujuk pada karya Rizal Sukma yang berjudul Indonesia and China: the Politics of a Troubled Relationship, Johanes menceritakan bahwa upaya China tersebut menimbulkan kecurigaan di kalangan elite politik Indonesia saat itu.

Namun kedua negara pada akhirnya menemukan solusi atas permasalahan di atas pada tahun 1955, melalui penandatangan sebuah perjanjian yang dikenal sebagai perjanjian dwikewarganegaraan.

Dalam pandangan Johanes, penandatanganan di atas terkait erat dengan perubahan sikap Beijing terhadap orang Tionghoa perantauan, sebagai diungkapkan oleh Profesor Suryadinata dalam buku berjudul The Rise of China and The Chinese Overseas: A Study of Beijing’s Changing Policy in Southeast Asia and Beyond.

Jika sebelumnya China menganggap semua Tionghoa perantauan sebagai warganya, maka sejak 1955 Beijing mendorong Tionghoa peranakan untuk berintegrasi dengan masyarakat di mana mereka tinggal.

Sikap China di atas dipertegas kembali pada tahun 1980, ketika Beijing menerbitkan sebuah undang-undang kewarganegaraan, yang secara tegas melepaskan pengakuan Cina atas orang Tionghoa Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing.

Dalam hal Tionghoa Indonesia, perjanjian dwikewarganegaraan di atas segera dilaksanakan beberapa tahun sejak penandatanganan perjanjian itu.

“Namun berdasarkan catatan Profesor Leo Suryadinata, hingga awal tahun 1970 an, baru dua perlima dari orang Tionghoa yang telah menjadi warga negara Indonesia,” tegas Johanes.

Jumlah etnik Tionghoa yang beralih menjadi Warga Negara Indonesia meningkat pada dasawarsa 1980 an, seiring dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden no 13/1980 yang memberi kemudahan bagi orang Tionghoa yang masih memegang kewarganegaraan asing untuk mengajukan diri menjadi warga negara Indonesia.

Sebagai hasil dari percepatan proses naturalisasi di atas, maka seluruh orang Tionghoa Indonesia dewasa ini adalah sepenuhnya Indonesia, baik secara kewarganegaraan maupun identitas budaya.

Menurut Johanes, generasi yang didominasi oleh orang Tionghoa yang lahir atau tumbuh dewasa di zaman pemerintahan Orde Baru itu tidak memiliki memori mengenai Cina sebagai ‘tanah leluhur.’

Bagi mereka Indonesia adalah tanah air mereka. Oleh karenanya, Johanes berpendapat bahwa kecenderungan mencampuradukkan antara Tionghoa dan Cina seyogianya sudah dianggap usang dan harus ditinggalkan.

Namun demikian, dalam pandangannya, kembalinya minat Cina pada urusan terkait Tionghoa di luar Cina dalam satu dasawarsa terakhir ini berpotensi melanggengkan kembali kecenderungan usang di atas.

“Menurut Profesor Suryadinata, minat ini muncul kembali karena kepemimpinan Cina masa kini menganggap Tionghoa di luar Cina sebagai aset bagi negara mereka,” papar Johanes.

Sebagai contoh, dalam pidatonya di tahun 2014, Presiden Xi Jinping menyebut seluruh etnik Tionghoa sebagai “putra dan putri bangsa Cina” (Zhonghua Ernu), “saudara sebangsa dari seberang lautan” (haiwai qiaobao), dan “anggota dari keluarga besar bangsa Tionghoa” (zhonghua dajiating).

Khusus terhadap Tionghoa Indonesia, Pemerintah China, melalui perwakilannya di Indonesia, seringkali menghimbau agar Tionghoa berperan sebagai jembatan bagi hubungan Indonesia dan China.

Johanes berpendapat bahwa upaya RRC untuk mendekati baik orang Tionghoa maupun masyarakat Indonesia lainnya perlu dipahami dalam konteks ekspansi ekonomi China, yang dibarengi dengan diplomasi budaya untuk menanamkan kuasa lunak (soft power)-nya.

Karenanya, penting bagi seluruh komponen bangsa Indonesia, termasuk etnik Tionghoa, untuk menentukan sikap yang paling tepat dalam konteks di atas.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved