Rabu, 27 Agustus 2025

KontraS: 622 Peristiwa Kekerasan Libatkan Polri sepanjang Juli 2022-Juni 2023

KontraS mencatat, sepanjang Juni 2022-Juli 2023, Polri terlibat dalam 622 peristiwa kekerasan. Kasus besar pun turut disorot oleh KontraS.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Suasana Gedung Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (17/11/2015). KontraS mencatat, sepanjang Juni 2022-Juli 2023, Polri terlibat dalam 622 peristiwa kekerasan. Kasus besar pun turut disorot oleh KontraS. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN 

TRIBUNNEWS.COM - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan Polri sepanjang Juli 2022-Juni 2023.

Dari 622 peristiwa kekerasan tersebut, KontraS turut menyoroti kasus Tragedi Kanjuruhan yang tercatat adanya 13 peristiwa kekerasan terkait penggunaan gas air mata sehingga menimbulkan korban jiwa pada Oktober 2022.

"Sepanjang Juli 2022-Juni 2023, kami mendokumentasikan 622 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. 622 peristiwa kekerasan tersebut diwarnai dengan 58 peristiwa kemudian penangkapan sewenang-wenang dengan 46 kasus, kami juga masih menemukan 13 peristiwa penggunaan gas air mata, beberapa di antaranya menimbulkan korban seperti yang terjadi pada Peristiwa Kanjuruhan di bulan Oktober 2022."

"Ironis bahwa anggota Polri yang seharusnya memberi rasa aman kepada masyarakat justru menjadi pelaku kekerasan kepada masyarakat sipil," demikian tertulis dalam siaran pers KontraS yang dikutip pada Rabu (5/7/2023).

Tak hanya peristiwa kekerasan secara umum, KontraS juga mencatat adanya peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum atau putusan pengadilan yang disengaja serta dilakukan atas perintah atau dengan keterlibatan pejabat negara.

Baca juga: Tingkat Kepercayaan Publik Terhadap Polri Meningkat, Pengamat: Selamat Datang Era Presisi

Dalam rilisnya, KontraS menyebut ada 29 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 41 orang.

"Kasus-kasus extrajudicial killing tersebut mayoritas diakibatkan oleh penembakan. Terlihat bahwa kewenangan anggota Polri utnuk menggunakan senjata api masih menjadi penyebab terampasnya hak hidup," kata KontraS.

Selain itu, KontraS juga mencatat adanya kasus salah tangkap yang disertai dengan penyiksaan dari Juni 2022-Juli 2023.

"Peristiwa extrajudicial killing serta penyiksaan yang terjadi menunjukkan bahwa anggota Polri masih menjadi aktor yang berperan dalam pelanggaran hak fundamental warga negara," jelas KontraS.

Menurut KontraS, Polri juga terlibat dalam represi terhadap kebebasan sipil.

Setidaknya, KontraS mencatat adanya 52 kasus kekerasan terhadap aksi demonstrasi hingga mengakibatkan 126 orang luka-luka dan 207 orang ditangkap sepanjang Juni 2022-Juli 2023.

Baca juga: YLBHI Konferensi Pers, KontraS Paparkan 4 Temuan Keterlibatan Anggota Polri dalam Kasus Narkotika

Beberapa kasus besar seperti pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan salah satu terpidananya adalah eks Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo hingga kasus peredaran narkoba dengan terpidana mantan Kapolda Sumbar, Teddy Minahasa turut menjadi sorotan KontraS.

"Kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabrat memperlihatkan secara gamblang kultur kekerasan dalam tubuh Polri yang bahkan menelan korban dari kalangan Korps Bhayangkara sendiri."

"Pada kasus Teddy Minahasa, kewenangan besar yang dimiliki dalam penanganan tindak pidana narkotika nampaknya dengan mudah disalahgunakan demi meraup keuntungan pribadi. Mekanisme pengawasan yang lemah disertai minimnya akuntabilitas turut menjadi faktor penyumbang terjadinya penyelewengan," tulis KontraS.

Rekomendasi KontraS

KontraS pun memberikan beberapa rekomendasi kepada Korps Bhayangkara agar peristiwa kekerasan tidak terjadi dan mewujudkan institusi Polri yang demokratis dan sejalan-sejalan dengan standar-standar HAM.

Rekomendasi tersebut yaitu:

1. Lembaga negara yakni DPR serta Komnas HAM dan Kompolnas memperkuat oversight mechanism khususnya yang berkaitan dengan aspek HAM serta memperkuat kontrol dan pengawasan terhadap fungsi penegakan hukum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

2. Kapolri perlu membuat aturan yang memperketat persyaratan dan pengawasan terhadap anggota Polri yang diberikan izin untuk menggunakan senjata api. Langkah tersebut perlu dilakukan untuk meminimalisasi disalahgunakannya senjata api serta mengurangi jatuhnya korban jiwa akibat penembakan yang dilakukan oleh anggota Polri.

3. Kabaharkam, Kapolda dan Kapolres untuk mengubah paradigma dalam penanganan demonstrasi. Demonstrasi harus dipandang sebagai bentuk pelaksanaan HAM yang dijamin oleh konstitusi bukan sebagai kegiatan yang mengganggu ketertiban dan keamanan.

4. Mabes Polri khususnya Kadiv Propam Polri dan tiap Polda harus berani menindak dan memberikan sanksi yang sesuai kepada anggota yang melakukan pelanggaran melalui mekanisme KKEP. Mekanisme KKEP tidak boleh hanya dijalankan secara prosedural namun harus dapat menyentuh akar permasalahan dan menyelesaikannya.

Mekanisme KKEP yang tegas akan memberikan efek jera kepada anggota Porli yang melakukan pelanggaran sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada institusi Polri.

Baca juga: Tingkat Kepercayaan Publik ke KPK di Bawah Polri, Firli: Kita Tak Pernah Berhenti Berantas Korupsi

5. Tidak melakukan pengamanan terhadap penolakan masyarakat pada sektor sumber daya alam secara berlebihan apalagi hingga menggunakan kekerasan yang tidak perlu. Polri harus berpihak pada masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya dan tidak boleh dijadikan sebagai alat korporasi untuk melanggengkan kepentingan yang eksploitatif dan destruktif terhadap lingkungan hidup.

6. Polri harus mengkaji ulang penerjunan anggota ke Tanah Papua dan memastikan bahwa anggota Polri yang berada di Tanah Papua tidak melanggengkan situasi kekerasan di Tanah Papua.

Pada sisi lain anggota Polri di Papua juga harus menahan diri dari melakukan tindakan yang represif terhadap ekspresi orang asli Papua.

7. Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri harus memperkuat kurikulum dan materi pendidikan yang berkaitan dengan standar-standar HAM pada institusi pendidikan di bawah Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri seperti Akpol dan Sekolah Polisi Negara.

Polri juga perlu melakukan in-service training kepada aparat yang bertugas di lapangan. Hal tersebut dilakukan agar berbagai prinsip-prinsip HAM yang berkaitan dengan tugas-tugas Kepolisian dapat diinternalisasi oleh anggota Polri dalam menjalankan tugas.

(Tribunnnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan