KPK Tangkap Pejabat Basarnas
KPK Didesak Tuntaskan Kasus Dugaan Korupsi di Basarnas dan Tak Perlu Minta Maaf ke TNI
KPK didesak untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas) melalui peradilan umum alias pengadilan tindak pindana korupsi.
Penulis:
Wahyu Gilang Putranto
Editor:
Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan kasus dugaan korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas) melalui peradilan umum alias pengadilan tindak pindana korupsi.
KPK diketahui awalnya menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut.
Dua di antaranya berlatar belakang militer aktif, yaitu Kepala Basarnas, Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto.
Tetapi, KPK justru meminta maaf atas penetapan tersangka kedua prajurit TNI tersebut dan menyerahkan proses hukum terhadap keduanya kepada Puspom TNI.
Alasannya yurisdiksi hukum keduanya sebagai militer aktif berada di bawah peradilan militer.
"Kami menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah yang keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia," ungkap Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Nasional, Julius Ibrani, Jumat (28/7/2023).
Baca juga: Di Tengah Polemik Kasus Kepala Basarnas, Eks Penyidik KPK Singgung Firli Bahuri Main Badminton
Menurut Julius, sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus (korupsi), KPK seharusnya menggunakan UU KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut.
"KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum)," ungkapnya.
Dengan demikian, lanjut Julius, KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf.
"Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel."
"Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya," ujarnya.

Baca juga: Mahfud MD Minta Polemik KPK Tersangkakan Kabasarnas dalam Kasus Suap Tak Perlu Diperpanjang
3 Poin Desakan
Berikut tiga poin desakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan :
1. KPK untuk mengusut tuntas secara transparan dan akuntabel dugaan korupsi yang melibatkan Kabasarnas dan anak buahnya tersebut.
Pengungkapan kasus ini harus menjadi pintu masuk mengungkap kasus-kasus dugaan korupsi yg melibatkan prajurit TNI lainnya, baik di lingkungan internal maupun external TNI.
KPK harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat dugaan korupsi di Basarnas ini.
KPK sebagai garda terdepan dalam pemberantasan korupsi tidak boleh takut untuk memproses hukum perwira TNI yang terlibat korupsi. Jangan sampai UU peradilan militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara tersebut secara terbuka dan tuntas.
2. Pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer karena selama ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum.
Apalagi agenda revisi UU Peradilan Militer ini menjadi salah satu agenda yang dijanjikan oleh presiden Jokowi pada Nawacita periode pertama kekuasaannya.
3. Pemerintah wajib mengevaluasi keberadaan prajurit TNI aktif di berbagai instansi sipil, terutama pada instansi yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU TNI, karena hanya akan menimbulkan polemik hukum ketika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh prajurit TNI aktif tersebut.
Seperti dugaan korupsi misalnya yang tidak bisa diusut secara cepat dan tuntas karena eksklusifisme hukum yang berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana.
KPK Minta Maaf

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta maaf kepada TNI, mengakui telah melakukan kesalahan prosedur dalam proses penangkapan dan penetapan tersangka pejabat Badan SAR Nasional (Basarnas).
Permintaan maaf tersebut disampaikan setelah adanya pertemuan antara KPK dan TNI di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Jumat (28/7/2023).
Seperti diketahui sebelumnya dalam giat Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK di Jalan Raya Mabes Hankam, Cilangkap, Jakarta Timur, dan di wilayah Jatiraden, Jati Sampoerna, Bekasi pada Selasa (25/7/2023), penyidik mengamankan 11 orang, yakni dari pihak swasta dan penyelenggara negara.
Termasuk Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, selaku Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kepala Basarnas (Kabasarnas).
Permintaan maaf tersebut disampaikan langsung oleh Wakil Ketua KPK Johanis Tanak di depan Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko.
"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu (OTT KPK) tim mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan."
"Bahwasanya manakala ada yang melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani, bukan KPK," kata Johanis Tanak dikutip dari tayangan Facebook Tribunnews.com.
Pihaknya mengatakan hal itu mengacu pada aturan lembaga peradilan, sebagaimana diatur dalam UU nomor 14 tahun 1970, disebutkan ada 4 lembaga peradilan yang menangani proses hukum.
Yakni peradilan umum, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama.
"Dan ketika ada melibatkan militer maka sipil harus menyerahkan kepada militer," lanjutnya lagi.
"Di sini ada kekeliruan dari tim kami yang melakukan penangkapan, oleh karena itu kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI dan sekiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI atas kekhilafan ini kami mohon dapat dimaafkan."
"Ke depan kami akan berupaya bekerja sama yang baik antara TNI dengan KPK dan aparat penegaj hukum yang lain, dalam upaya menangani pemberantasan tindak pidana korupsi," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto, Garudea Prabawati, Gita Irawan)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.