Selasa, 19 Agustus 2025

Pilpres 2024

4 Fakta Mencolok di Persidangan PHPU Diungkap Tim Hukum Ganjar, Nepotisme hingga Abuse of Power

Tim Hukum Ganjar-Mahfud mengungkap ada 4 fakta mencolok di persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Editor: Dewi Agustina
Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
Persidangan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa hasil Pilpres 2024 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (4/4/2024). Tim hukum pasangan calon (paslon) Nomor Urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD (Ganjar-Mahfud), mengungkap ada 4 fakta mencolok di persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK). 

"Pelanggaran etika yang juga terjadi dan terbukti di dalam persidangan adalah abuse of power yang terjadi di semua lini mulai dari Kementerian atau lembaga TNI-Polri, pemerintah daerah, maupun pemerintah desa di sepanjang proses Pilpres 2024," tutur Luthfi.

Terbuktinya nepotisme dan abuse of power ini, lanjutnya, membuktikan bahwa benar telah terjadi pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) pada Pilpres 2024.

Baca juga: Pakar Sebut 2 Kelemahan Amicus Curiae Megawati untuk Pengaruhi Putusan Hakim soal Sengketa Pilpres

Hal ini tentunya membuat penyelenggaraan Pilpres 2024 beserta dengan hasilnya tidak sesuai dengan amanat pasal 22e ayat 1 UUD 1945.

Dalam perspektif prosedural pun fakta di dalam persidangan telah menunjukkan bahwa Pilpres 2024 dipenuhi dengan pelanggaran prosedur pemilu yang tentunya membuat proses dan hasil dari Pilpres 2024 tidak bisa dipercaya.

"Hampir tidak ada provinsi di Indonesia di mana jumlah surat suara cocok dengan jumlah pemilihnya. Jika pelanggaran prosedur macam ini tidak mendapatkan perhatian yang layak sudah barang tentu pelanggaran prosedur yang lebih besar akan terjadi pada pemilu berikutnya, dan yang terdekat adalah Pemilu kepala daerah di penghujung 2024," ujar Luthfi.

Politik Dinasti

Pada kesempatan itu, Luthfi juga mengutip buku "Man of Contradictions" karya Ben Bland pada Tahun 2020, yang membahas mengenai kontradiksi Presiden Joko Widodo.

Pada satu bagian dalam bukunya, Ben Bland menunjukkan awal dari politik dinasti Presiden Jokowi dengan menyatakan tidak lama setelah terpilih kembali menjadi presiden RI pada 2019, Jokowi menyiapkan dinasti sendiri dengan mencalonkan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai Wali Kota Solo.

Selain itu, suami Kahiyang Ayu, anak kedua Jokowi, yakni Bobby Nasution, juga mencalonkan diri sebagai Wali Kota Medan, sebuah Kota yang berkembang pesat di Sumatra Utara.

Keduanya maju dengan Bendera Partai PDI Perjuangan yang juga menjadi partai pengusung Jokowi.

Dalam bukunya, Ben Blend memberikan analisis mengenai wajah asli Presiden Jokowi yang berubah menjadi otoriter dalam menekan kelompok oposisi Islam di Jakarta.

Akibatnya, Jokowi semakin dekat dengan kaum elit dan semakin jauh dari akar rumput, dan mengadopsi politik transaksional dengan menggunakan kekuasaannya.

"Analisis ini rasanya menampilkan rupa Presiden Jokowi yang sebenarnya yang dapat diumpamakan sebagai Serigala Berbulu Domba. Rasa haus atas kekuasaan membuatnya tak segan untuk mencoba panjang masa jabatannya dengan pelbagai cara. Ketika upaya perpanjangan masa jabatannya gagal, dia pun memaksakan putranya untuk menjadi calon wakil presiden melalui manipulasi terhadap mahkamah konstitusi dan tentunya KPU," kata Luthfi.

Dia mengungkapkan, dalam bukunya Blend kemudian membagikan pandangan mengenai nasib demokrasi Indonesia ke depan yang tidak akan mudah, namun perjuangan harus terus dilakukan, harus terus dimulai, dan harus terus dilanjutkan.

Terkait dengan itu, Luthfi menegaskan permohonan PHPU yang diajukan Paslon 3 adalah bagian dari perjuangan ini.

Tentunya pemohon berharap putusan MK yang menjawab permohonan akan menjadi kelanjutan dari perjuangan tegaknya demokrasi di Indonesia.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan