Selasa, 26 Agustus 2025

Revisi UU Mahkamah Konstitusi

Mahfud MD: Revisi UU MK Berpotensi Perpanjang Masa Jabatan Anwar Usman sebagai Hakim

Mahfud mengatakan, draf revisi UU MK yang telah disepakati pemerintah tersebut berbeda dengan draf yang pernah ditolaknya saat menjabat sebagai Menko

Penulis: Gita Irawan
Fersianus Waku
Mantan calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengungkap telaahannya atas revisi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang telah disepakati pemerintah dan DPR untuk dibawa ke sidang paripurna beberapa waktu lalu.

Menurut Mahfud, revisi UU MK tersebut berpotensi memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi sekaligus paman dari wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, Anwar Usman.

Mahfud mengatakan, draf revisi UU MK yang telah disepakati pemerintah tersebut berbeda dengan draf yang pernah ditolaknya saat menjabat sebagai Menko Polhukam periode Oktober 2019 sampai Februari 2024.

Ia menjelaskan, dalam draf RUU yang sebelumnya ia tolak, persoalannya ada Pasal 87 di mana hakim yang telah bertugas selama lebih dari 5 tahun tapi belum mencapai 10 tahun harus meminta persetujuan kepada lembaga pengusulnya untuk dapat melanjutkan tugasnya.

Sedangkan hakim yang telah bertugas selama lebih dari 10 tahun akan melaksanakan tugasnya paling lama lima tahun sepanjang tidak mencapai usia pensiun hakim selama 70 tahun.

Baca juga: Revisi UU TNI, Kapuspen Sebut Usulan Perpanjangan Usia Pensiun Sudah Lalui Pembahasan dan Analisa

Mahfud menolak hal tersebut karena berpotensi mengancam independensi hakim yang telah bertugas lebih dari lima tahun namun belum mencapai 10 tahun karena harus meminta persetujuan.

Namun, kata dia, dalam draf revisi yang telah disepakati pemerintah dan DPR belakangan ini ketentuan tersebut diubah.

Dalam ketentuan RUU MK yang telah disepakati sekarang, kata dia, hakim konstitusi yang sudah bekerja lebih dari 10 tahun dinyatakan berhenti atau berakhir masa tugasnya pada saat usia 70 tahun. 

"Artinya apa? Artinya sekarang Pak Anwar Usman itu mendapat tambahan masa jabatan 11 bulan, (atau sekitar) 1 tahun. Seharusnya dia itu kalau 15 tahun sudah habis pada akhir 2025. Tapi dia akan habis nanti 2026," kata Mahfud di kanal Youtube Mahfud MD Official pada Selasa (28/5/2024).

Mahfud menilai, revisi UU MK tersebut adalah praktik rule by law di mana keinginan penguasa dibungus dengan aturan hukum.

Baca juga: Helena Lim dan Suami Sandra Dewi Dijerat TPPU Bersama 4 Tersangka Korupsi Timah, Bakal Dimiskinkan?

Di sana, lanjut dia, hukum menjadi alat untuk melegitimasi keinginan kekuasaan.

"Kalau dalam istilah hukum yang saya pakai dulu dalam disertasi saya, itu positif instrumentalistik. Mempositifkan aturan-aturan yang diinginkan sebagai instrumen penguat keinginan. Jadi apa yang anda inginkan dijadikan hukum positif. Itu ciri-ciri hukum otoriter," kata dia.

Anwar Usman Dicopot

Diberitakan, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mencopot jabatan Hakim Konstitusi Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal itu ditegaskan dalam putusan MKMK terkait laporan dugaan pelanggaran etik mengenai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan," kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam sidang di gedung MK pada Selasa (7/11/2023).

"Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor," sambung Jimly.

Jimly juga memerintahkan Wakil Ketua MK Saldi Isra untuk dalam waktu 2x24 jam sejak Putusan tersebut selesai diucapkan, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ia juga menegaskan, Anwar Usman tidak boleh mencalonkan diri sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.

"Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir," kata Jimly.

"Hakim Terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan," sambung Jimly.

7 Alasan RUU MK Perlu Dikritik

Ilustrasi - Gedung Mahkamah Konstitusi.
Ilustrasi - Gedung Mahkamah Konstitusi. (Kompas.com/Wawan H Prabowo)

Guru besar hukum tata negara Universitas Padjajaran Prof. Susi Dwi Harijanti, SH., LL.M., Ph.D. membeberkan setidaknya tujuh poin alasan mengapa RUU MK tersebut perlu dikritik tajam.

Hal itu disampaikannya dalam webinar bertajuk Sembunyi-Sembunyi Revisi UU MK Lagi yang digelar PSHK, STHI Jentera, dan CALS secara daring pada Kamis (16/5/2024).

"Saya melihat, paling tidak ada beberapa poin mengapa pembahasan RUU perubahan ini harus kita kawal dan juga harus mendapat kritik-kritik yang tajam serta dorongan-dorongan yang kuat dari kalangan akademisi, kemudian masyarakat sipil karena ada beberapa hal," kata Susi.

Asas Kebutuhan Lemah

Salah satu asas utama dalam pembentukan UU atau perubahan UU, kata Susi, adalah asas kebutuhan atau keperluan. 

Susi menjelaskan ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan menyangkut asas kebutuhan atau keperluan.

Pertama, lanjut Susi, bila ada persoalan-persoalan yang tidak dapat diaelesaikan melalui UU yang saat ini ada.

Kedua, kata dia, UU yang ada sudah usang. 

Baca juga: 42 Pengacara Siap Bela Pegi Tersangka Kasus Vina Cirebon, Diyakini Tidak Bersalah

Ketiga, lanjut Susi, UU yang ada mengandung materi-materi atau norma-norma yang multi-interpretasi.

Keempat, kata Susi, kebutuhan-kebutuhan poltik.

"Inilah yang harus digarisbawahi. Bahwa pembentukan UU atau perubahan UU khususnya yang berkaitan dengan MK harus dihindarkan sejauh mungkin atau malah dibatasi tidak boleh kebutuhan itu karena adanya akomodasi politik atau karena adanya kebutuhan-kebutuhan politik," kata Susi.

"Mengapa demikian? Karena itu akan dikaitkan dengan fungsi MK sebagai pihak ketiga netral ketika terjadi persoalan-persoalan atau sengketa antara warga negara dengan negara," sambung dia.

Tak Patut Dilakukan pada Masa Lame Duck

Masa lame duck, kata Susi, yakni masa di mana pihak-pihak yang sedang sedang berkuasa tengah menghadapi akhir-akhir masa jabatan.

Menurut dia, meski kekuasaan tersebut masih mempunyai legitimasi  di masa tersebut, namun di antara mereka akan ada orang-orang yang tidak akan berkuasa lagi pada periode berikutnya di antaranya karena tidak terpilih lagi.

"Maka secara fatsun politik seharusnya mereka tidak mengambil keputusan-keputusan yang akan memberikan dampak yang luas krpada pemerintahan dan juga masyarakat di masa yang akan datang," kata Susi.

Minimnya Partisipasi Bermakna

Menurut Susi tidak ada dokumen yang dapat diakses terkait RUU tersebut.

"Apalagi keterlibatan secara aktif dari masyarakat (dinyatakan) sebagaimana diamanatkan dalam pasal 96 a UU 13/2002 yaitu hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapatkan penjelasan," kata Susi.

Materi Muatan yang Dapat Melemahkan Independensi

Secara substansi, menurut dia RUU tersebut memuat sejumlah hal yang dapat melemahkan independensi MK.

Di antaranya, kata dia, adalah masa jabatan hakim dari 15 tahun menjadi 10 tahun.

Selain itu, pasal 23 A yang dapat ditafsirkan maknanya lembaga pengusul hakim konstitusi (presiden, DPR, dan Mahkamah Agung) dapat melakukan evaluasi terhadap hakim konstitusi.

Lalu, kata dia, ketentuan peralihan tersebut diberlakukan surut.

Kemudian, lanjut dia, juga terkait dengan keterlibatan lembaga pengusul dalam penentuam keanggotaan Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Selain itu, kata Susi, ketentuan di mana hakim konstitusi tetap menjadi anggota MKMK. 

"Persoalannya adalah bagaimana kemudian hakim konstitusi juga diadukan sebagai diduga melakukan pelanggaran etik. Apakah itu lagi-lagi tidak terjadi conflict of interest?" kata dia.

Proses Internal Bermasalah 

Menurut dia dari pemberitaan diketahui bahwa kesepakatan antara pemerintah dan DPR dilakukan di masa anggota DPR reses secara sembunyi-sembunyi.

"Kemudian bagaimana anggota-anggota Komisi III itu juga banyak yang tidak hadir. Oleh karena itu secara internal pembahasan RUU ini pun bermasalah. Dalam arti apa? Tidak semua anggota yang terlibat di dalamnya itu ikut serta dalam pembahasan bahwa RUU ini akan disetujui dibawa pada rapat Paripurna," kata Susi.

Jaminan Masa Jabatan Hakim Konstitusi (security of teneur) Lemah 

Terkait lemahnya jaminan masa jabatan hakim, menurutnya meskipun MK mengatakan bahwa usia jaminan masa jabatan merupakan open legal policy (kewenangan pembentuk Undang-Undang), tetapi menurutnya kewenangan tersebut perlu dibatasi.

"Mengapa security of teneur ini menjadi penting? Karena security of teneur ini menjadi salah satu jaminan dari independensi hakim maupun pengadilan," kata dia.

Susi memandang jaminan terkait masa jabatan hakim tersebut kerap diotak-atik karena jaminan independensi di dalam UUD 1945 adalah jaminan independensi yang bersifat sangat minimal.

"Dan jaminan itu membutuhkan bantuan badan-badan eksternal di luar pengadilan untuk menegakannya," kata Susi.

"Dalam kaitan ini UUD 1945 tidak secara spesifik mengatakan bahwa bagaimana security of teneur itu dijamin, bagaimana syarat-syarat menjadi hakim itu juga dijamin di dalam UUD," sambung Susi.

Potensi Cawe-cawe Politik (court packing plan)

Terkait dengan potensi cawe-cawe politik terhadap independensi hakim, ia mengemukakan sejarah yang mencatat upaya intervensi politik secara terselubung terhadap independensi lembaga kehakiman.

Upaya tersebut, kata Susi, pernah terjadi melalui RUU Reformasi Prosedur Peradilan di Amerika Serikat pada tahun 1937 atau yang lebih dikenal dengan "court packing plan".

Sejarah mencatat strategi court packing tidak dapat dilepaskan dari hasrat Presiden AS saat itu Franklin D Roosevelt untuk melakukan penambahan jumlah hakim di Mahkamah Agung AS guna mendapat persetujuan terhadap serangkaian kebijakan Rooosevelt yang disebut Undang-Undang New Deal.

Namun menurut dia, dalam konteks RUU MK saat ini strategi court packing tersebut harus ditafsirkan lebih luas dari hanya sekadar menambah jumlah hakim.

"Tetapi, juga termasuk setiap usaha memanipulasi keanggotaan hakim untuk tujuan yang bersifat partisan. Ini adalah isu kedua yang juga harus kita perhatikan dengan sangat hati-hati," kata Susi.

"Jangan sampai ketentuan pasal 23(A) itu merupakan court packing yang terselubung dari pembentuk UU. Karena apa? Karena itu merupakan usaha untuk memanipulasi keanggotaan hakim, membership dari hakim di sebuah pengadilan. Untuk tujuan apa? Yaitu untuk tujuan yang bersifat partisan," sambung Susi.

Menurut dia, ketentuan dalam pasal 23A RUU MK dapat ditafsirkan maksudnya adalah agar lembaga pengusul hakim konstitusi (presiden, DPR, dan Mahkamah Agung) dapat mengevaluasi hakim konstitusi yang mereka tunjuk.

Oleh karena itu, Susi khawatir ketentuan pasal 23A dalam RUU MK dapat menjadi praktik court packing terselubung yang dapat dimanfaatkan lembaga pengusul hakim konstitusi.

Lembaga pengusul hakim konstitusi dikhawatirkannya dapat menggunakan ketentuan dalam pasal 23A RUU MK untuk melakukan pembalasan terhadap hakim-hakim konstitusi yang sudah menjatuhkan putusan atau menyatakan dissenting opinion yang tidak disukai oleh pihak-pihak yang mengusulkan.

"Oleh karena itu, ketika akan dilakukan evaluasi maka pertanyaan kita poin-poin, standard, atau ukuran apa yang akan digunakan oleh lembaga pengusul itu dalam rangka melakukan evaluasi. Dalam pandangan saya evaluasi ini tidak dilakukan oleh setiap lembaga pengusul?" kata dia.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan