Mahkamah Agung Tolak Permohonan Uji Materiil Peraturan Dewas KPK yang Diajukan Nurul Ghufron
MA menolak permohonan uji materiil Peraturan Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Penulis:
Ilham Rian Pratama
Editor:
Adi Suhendi
"Karena itu, karena baik tindakannya memeriksa saya yang dalam perspektif saya laporan dimaksud telah kedaluwarsa, maupun peraturan yang mendasarinya itu sedang saya uji ke Mahkamah Agung, maka secara hukum saya berharap [sidang etik] itu ditunda," katanya.
Permohonan untuk meminta sidang etiknya di Dewas KPK itu ditunda juga mempertimbangkan pertimbangan hukum pada Pasal 55 UU Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 55 UU MK itu sebelumnya juga sempat digugat di MK.
Berikut bunyi pasal yang dimaksud:
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Gugatan itu diajukan Abda Khair Mufti dan dua Pemohon lainnya selaku pegawai swasta.
MK pun mengabulkan gugatan UU tersebut, yaitu digantinya frasa 'wajib dihentikan' menjadi 'ditunda pemeriksaannya'.
Sehingga, pasal itu berubah bunyinya menjadi:
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung ditunda pemeriksaannya apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
"Mendasari putusan MK tersebut, bahwa ketentuan yang mendasari pemeriksaan sidang etik ini sedang diajukan uji materi ke Mahkamah Agung, oleh karena itu secara hukum semestinya penerapan norma yang sedang diuji tersebut ditunda sampai ada putusan Mahkamah Agung," kata Ghufron.
Adapun kasus etik Ghufron yang diusut Dewas KPK itu yakni terkait dirinya diduga melanggar etik karena penyalahgunaan wewenangnya untuk membantu mutasi pejabat di Kementerian Pertanian (Kementan).
Namun, Ghufron berdalih yang dilakukannya bukan intervensi, melainkan meneruskan keluhan saja terkait mutasi anak kerabatnya itu dari Jakarta ke Malang, yang tak kunjung disetujui.
Akan tetapi, hal ini dianggap Dewas KPK sebagai bentuk penyalahgunaan pengaruh.
Sebab, Ghufron melakukan itu dalam kapasitasnya menjabat sebagai pimpinan KPK.
Bahkan, saat itu Ghufron juga melawan dengan menggugat Dewas KPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Alasannya, Dewas KPK mengusut dugaan pelanggaran etik yang sudah kedaluwarsa.
Menyoal gugatan itu, PTUN mengeluarkan putusan sela yang membuat proses etik terhadap Ghufron dihentikan sementara.
Padahal Dewas KPK hanya tinggal membacakan putusannya saja pada 21 Mei 2024 lalu. Hingga kini, kasusnya masih menggantung.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.