Hasto Kristiyanto dan Kasusnya
Profil Saeful Bahri, Kader PDIP Sekaligus Saksi Kasus Hasto Penuhi Panggilan KPK usai 2 Kali Mangkir
Kader PDIP Saeful Bahri akhirnya memenuhi panggilan KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan tersangka Hasto.
Penulis:
Rakli Almughni
Editor:
Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Kader PDIP Saeful Bahri akhirnya memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan suap proses Pergantian Antarwaktu (PAW) Anggota DPR RI periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan Harun Masiku untuk tersangka Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.
Saeful Bahri yang mengenakan kemeja putih dibalut jaket berwarna coklat tiba di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada Rabu (15/1/2025).
Tak banyak kata yang terucap dari mulut Saeful Bahri.
Ia hanya menyampaikan terima kasih ketika ditanya agenda pemeriksaan oleh penyidik KPK.
"Makasih ya, nanti ya," kata dia, dikutip dari Kompas.com, Rabu.
Sebelumnya, Saeful Bahri sempat terancam dijemput paksa oleh KPK jika terus-terusan mangkir dari panggilan penyidik.
Saeful Bahri tercatat telah dipanggil KPK sebanyak 2 kali untuk dimintai keterangan pada 8 Januari 2025 dan 14 Januari 2025, tetapi ia terus-terusan tak memenuhi panggilan KPK tersebut.

Baca juga: Usut Kasus Hasto Kristiyanto dan Harun Masiku, KPK Periksa Arief Budiman hingga Saeful Bahri
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika Sugiarto, menegaskan bahwa apabila Saeful Bahri kembali mangkir dari panggilan KPK tanpa keterangan yang jelas, maka lembaga antirasuah ini berpeluang untuk menjemputnya dengan paksa.
"Tentunya, apabila tidak ada karena ini sudah dua kali panggilan maka penyidik dapat melakukan penjemputan menggunakan surat perintah membawa kepada yang bersangkutan," kata Tessa di Gedung Merah Putih, dikutip dari Kompas.com, Rabu (15/1/2025).
Jubir KPK itu juga meminta kepada Saeful Bahri untuk bersikap kooperatif.
"Juga berharap agar yang bersangkutan kooperatif. Untuk tidak melakukan hal-hal terutama yang dapat menghalangi proses penyidikan," tandasnya.
Lantas, seperti apakah sosok Saeful Bahri? Berikut profilnya.
Profil Saeful Bahri
Saeful Bahri adalah politikus yang berasal dari partai besutan Megawati Soekarnoputri, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan alias PDIP.
Di PDIP, Saeful Bahri sempat menjadi anak buah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan menjadi staf sekretariat di DPP PDIP.
Sebagai politikus, Saeful Bahri sempat maju mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) DPR RI dalam Pemilu 2019.
Diusung PDIP, pria kelahiran Rangkasbitung, 8 April 1980, ini bertarung di daerah pemilihan (Dapil) Riau II.
Pada awal tahun 2020, Saeful Bahri terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Ia lalu dinyatakan bersalah karena telah menyuap eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan untuk menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI pergantian antar waktu periode 2019-2024.
Dalam kasus ini, Saeful Bahri didakwa menyuap Wahyu Setiawan sebanyak Rp600 juta.
Uang yang diserahkan Saeful itu terdiri dari 19.000 dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura yang jumlahnya setara dengan Rp600.000.000.
Suap tersebut, diberikan kepada Wahyu agar Harun Masiku dapat dilantik sebagai PAW anggota DPR RI menggantikan Riezky Aprilia.
Baca juga: Soal Kans Panggil Jokowi di Kasus Hasto, KPK Tegaskan Pemeriksaan Dilakukan Jika Ada Kepentingan
Uang tersebut, diberikan melalui orang kepercayaan Wahyu yakni mantan anggota Badan Pengawas Pemilu Agustiani Tio Fridelina.
Terbukti bersalah, Saeful Bahri divonis hukuman penjara selama 1 tahun 8 bulan dan denda Rp150 juta.
Hukuman tersebut, lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntut Saeful Bahri dipidana selama 2,5 tahun penjara.
Saeful dinilai melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Setelah divonis, Saeful Bahri dieksekusi di Lapas Klas i Sukamiskin Bandung berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Nota pembelaan Saeful Bahri
Saeful Bahri sempat membacakan nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada Kamis (14/5/2020).
Ia mengungkap upaya suap terhadap mantan Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan terkait permohonan Pergantian Antar Waktu Anggota DPR RI fraksi PDIP periode 2019-2024 diberikan di bawah tekanan.
Saeful merasa tidak berdaya atas desakan Harun Masiku, anggota PDIP dan sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang mempersulit permohonan DPP PDIP untuk melimpahkan perolehan suara dari Nazaruddin Kiemas kepada Harun Masiku.
Saeful Bahri membacakan nota pembelaan berjudul "Demokrasi Versus Politik Hukum KPU."
Ia meminta bantuan Agustiani Tio Fridelina, anggota PDIP, untuk melakukan lobi-lobi dengan Wahyu Setiawan, Komisioner KPU.
Melalui Agustiani Tio, dia memberikan tawaran uang senilai Rp 750 Juta, di mana tujuh anggota termasuk ketua KPU RI masing-masing mendapatkan Rp 100 juta dan sisanya Rp 50 juta untuk Tio.
"Angka yang menurut saya masih berada dalam tingkatan yang wajar sebagai hadiah ucapan terima kasih," kata Saeful Bahri, saat membacakan nota pembelaan, dikutip dari Tribunnews.
Pada saat Saeful Bahri menawarkan Rp750 juta, kata dia, Wahyu Setiawan meminta dana Rp 1 Miliar.
Jika dikaitkan perkara ini berdasarkan bukti, saksi dan fakta-fakta persidangan telah diketahui munculnya dana operasional Rp 1 miliar itu, kata Saeful, atas dasar permintaan Wahyu Setiawan.
Baca juga: PDIP Ungkap Alasan Hasto Kristiyanto Bungkam Usai Diperiksa KPK: Tiru Strategi Megawati
Dia mengungkapkan apabila Wahyu Setiawan benar tidak meminta dana operasional, maka tawaran pemberian uang akan langsung ditolak.
"Tapi ini malah langsung dipatok Rp 1 miliar. Patokan harga itulah yang membuktikan KPU memang sudah ada niatan terlebih dahulu, namun tidak disampaikan secara langsung, melainkan melalui bahasa tubuh yang kemudian diterjemahkan secara eksplisit oleh Ibu Tio kepada saya. Jadi pihak KPU-lah yang meminta, bukan kami yang memberi," ujar Saeful.
Saeful menilai, suatu perkara dapat dikatakan suap atau gratifikasi apabila uang itu diberikan karena inisiatif yang berkepentingan itu sendiri dengan tujuan agar kepentingannya bisa dilaksanakan atau dipercepat pejabat yang memiliki kewenangan.
Atas dasar itu, selama persidangan berlangsung, dia menilai, perkara itu ini lebih tepat dinyatakan sebagai delik pemerasan oleh Wahyu Setiawan.
Ia menjelaskan, pemerasan terjadi apabila pejabat yang memiliki kewenangan yang meminta imbalan terlebih dahulu kepada pihak yang berkepentingan, jika ingin kepentingannya dipenuhi sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 23e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
"Sejak awal DPP PDIP konsisten menempuh langkah-langkah hukum dalam rangka memperjuangkan pelaksanaan putusan MA. Jika terjadi penyimpangan yang berujung perkara ini, hal itu dikarenakan ada permintaan uang terlebih dahulu dari pihak KPU kepada saya," tambahnya.
(Tribunnews.com/Rakli/Ilham Rian Pratama/Glery Lazuardi) (Kompas.com/Syakirun Ni'am)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.