Hakim Ad Hoc Anggap Tak Adil Gajinya Tidak Naik dan Dipotong Pajak, Beda dengan Hakim Karier
Seorang hakim ad hoc bidang tipikor curhat terkait gajinya tidak naik meski adanya PP terbaru. Hal itu tidak terjadi kepada hakim karier.
Penulis:
Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor:
Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Seorang hakim ad hoc tipikor dari Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, Jawa Barat, Lufsiana Abdullah Aman, menyayangkan gajinya tidak mengalami kenaikan, meski adanya pengesahan terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nmor 44 Tahun 2024 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.
Menurutnya, rekan seprofesinya sebagai hakim ad hoc tidak mengalami kenaikan gaji seperti hakim lainnya, hakim karier.
"Melalui PP ini, para hakim di Indonesia menerima kenaikan penghasilan, yang walaupun oleh sejumlah pihak jumlah kenaikannya dinilai belum memadai, tapi setidaknya mampu meningkatkan kesejahteraan hakim."
"Sayangnya, ada 'hakim yang dilupakan' yang tidak turut menerima kenaikan kesejahtraan ini, yakni hakim adhoc," katanya dalam keterangan tertulis kepada Tribunnews.com, Senin (17/2/2025).
Dia menyebut kenaikan gaji berdasarkan PP Nomor 44 Tahun 2024 hanya berlaku untuk hakim karier.
Namun, Lufsiana menyebut gaji untuk hakim ad hoc secara mayoritas masih berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc.
Dia menuturkan untuk saat ini, gaji hakim ad hoc yang mengalami perubahan hanya hakim ad hoc Hak Asasi Manusia saja.
"Perpres ini pernah mengalami perubahan pada tahun 2023 untuk mengakomodasi hakim ad hoc Hak Asasi Manusia, namun bagi hakim ad hoc yang lain (hakim ad hoc tipikor, hakim ad hoc hubungan industrialm dan hakim ad hoc perikanan) tidak ada kenaikan penghasilan sejak tahun 2013," ujarnya.
Tak cuma sampai di situ, Lufsiana juga menyebut penghasilan hakim ad hoc juga masih dipotong pajak.
Baca juga: Populer Nasional: Sosok Dalang SHGB Pagar Laut, Menag Mengeluh Efisiensi, Hakim PN Jakut Viral
Padahal, katanya, gaji yang diterima hakim karier tidak dikenai pajak.
"Sebagai contoh, hakim ad hoc Hubungan Industrial pada tingkat pertama yang berdasarkan Perpres Nomor 5 Tahun 2013 mendapat uang kehormatan sejumlah Rp17.500.000. Pada kenyataannya setelah dipotong pajak menerima kurang lebih Rp15.000.000."
Lufsiana lantas membandingkan hakim karier yang mampu memperoleh gaji hampir Rp30 juta lebih tanpa adanya pemotongan pajak.
Dia menganggap ketimpangan gaji antara hakim karier dan hakim ad hoc lantaran pihaknya seakan dilupakan oleh negara.
"Saat ini, dalam satu majelis, hakim karier yang mengadili perkara Tindak Pidana Korupsi misalnya, menerima penghasilan kurang lebih Rp37.000.000 sedangkan hakim adhoc Tindak Pidana Korupsi menerima penghasilan kurang lebih Rp18.000.000: ketimpangan yang seharusnya tidak terjadi jika negara tidak “melupakan” hakim adhoc," jelasnya.
Bahkan, Lufsiana juga mencontohkan adanya hakim ad hoc yang bertugas di wilayah Indonesia Timur tidak memperoleh tunjangan kemahalan.
Hal tersebut, imbuhnya, tidak terjadi pada hakim karier.
"Bahkan hakim Adhoc yg bertugas di Wilayah Timur Indonesia tidak mendapatkan tunjangan kemahalan, beda dengan hakim karier yg mendapatkan tunjangan kemahalan," ujarnya.
Sebagai informasi, tunjangan kemahalan adalah tunjangan yang diberikan kepada pegawai setiap bulannya ketika harga naik.
Adapun tunjangan kemahalan diberikan kepada seluruh pegawai termasuk ASN, TNI, Polri, serta pensiunan.
Lufsiana menegaskan, secara hakekat, hakim karier dan hakim ad hoc adalah sama, di mana keduanya menjalankan tugas seperti yang diamanatkan oleh undang-undang seperti memeriksa dan memutus perkara hingga soal tata kerja.
Lebih lanjut, Lufsiana berharap agar Presiden Prabowo Subianto yang sempat berjanji akan menyejahterakan hakim untuk memberikan perhatiannya secara menyeluruh.
Pasalnya, menurut Lufsiana, hakim ad hoc seakan dilupakan oleh negara terkait kesejahteraannya.
"Hakim adhoc Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama yang memeriksa dan mengadili perkara Tipikor dengan kerugian keuangan negara ratusan milyar dan bahkan puluhan hingga ratusan triliun, setiap bulannya “hanya” menerima penghasilan satu-satunya kurang lebih Rp18.000.000,00," tuturnya.
Lufsiana menuturkan saat ini, pihak dari Mahkamah Agung (MA) dan pemerintah tengah berdiskusi terkait perubahan Perpres Nomor 5 Tahun 2013.
Namun, dia mengatakan dirinya dan rekan seprofesinya belum mengetahui sampai mana pembahasan tersebut telah berlangsung.
Di sisi lain, dia menyebut MA bakal menggelar sidang istimewa terkait laporan tahunan MA pada Rabu (19/2/2025).
Lufsiana berharap lewat sidang istimewa tersebut dapat memberikan angin segar terhadap kesejahteraan seluruh hakim tanpa terkecuali.
"Semoga momentum Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung yang akan dilaksanakan pada tanggal 19 Februari 2025 mampu memberikan harapan baik membaiknya negara hukum yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia, terjaganya peradilan yang agung serta meningkatnya kesejahteraan aparatur pengadilan tanpa terkecuali (Hakim, Kesekretariatan dan Kepaniteraan serta aparatur pengadilan lainnya), termasuk (tentu saja) hakim adhoc didalamnya," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.